#Slice of Life 

Penunggu Rumah Kosong


Di seberang sana, sebuah rumah tua bersemayam sendiri. Dinding kayunya yang mulai lapuk termakan waktu, pagar-pagar tuanya yang diselimuti lumut hijau. Banyak yang mengatakan rumah itu kosong. Banyak yang mempercepat langkah ketika melewatinya. Dari balik jendela kamar ini, aku dapat melihat mereka bergidik saat mendekati rumah itu. Terkadang aku tertawa, terkadang aku merasa sedih. Cerita ini bukanlah tentang diriku, kisah tentang seseorang yang mendiami rumah itu, penantian seorang wanita.

Pagi yang mendung, angin sejuk menghembus dari padang rumput yang berada di dekat rumahku. Walau masih berada di kawasan kota tempat ini tidak tersentuh oleh keramaian peradaban yang sedang berkembang pesat. Seakan-akan waktu berhenti di saat manusia mendapat kedamaian setelah perang, seperti itulah bagiku. Setelah enam bulan, mau tidak mau aku sudah bertukar senyum dengan semua yang tinggal di sini, namun di pagi yang mendung itu aku sadar bahwa belum semua. Dengan langkah kecil dan pelan ia melangkah, matanya menatap sayu tempat tujuannya, sebuah kaleng penyiram tanaman menggantung di tangan kanannya. Seorang wanita dengan badan yang sedikit kurus, sudah melewati tiga puluh tahun kehidupan, menyiram kebun kecilnya di pagi tanpa mentari.

Setelah melihat sosoknya, aku mulai bertanya kepada beberapa orang tentangnya. Ada yang hanya membalasku dengan senyum tanpa makna, adapula yang berlekas pergi setelah mendengar pertanyaanku. Akhirnya, untuk beberapa hari aku pun hanya bisa mengawasi wanita itu. Dari balik jendela kamar ini, di waktu yang sama, ia menatap sayu bunga-bunga yang ia rawat tanpa lepas sehari. Entah karena dorongan rasa penasaran atau bosan, aku melangkahkan kaki, berhenti tidak jauh dari sosok wanita yang membuatku tampak seperti penguntit tuk beberapa hari ini. Ekspresinya berubah. Matanya sedikit melebar, mulutnya yang kecil sedikit terbuka. Kami pun memperkenalkan diri masing-masing, di pagi yang cerah aku melihat senyum simpulnya tuk pertama kali.

Tanpa sungkan dan dengan suara ramah ia mengajakku mampir ke rumahnya. Bersih dan rapi, tetapi juga terlihat sepi dan suram. Itulah yang kurasakan saat memasuki ruang tamu rumah si wanita. Menawariku secangkir teh, ia lebih murah senyum dari yang kuduga. Aku tidak menyangka akan bisa sejauh ini, dan sekarang aku berada di titik ketidaktahuan harus berbicara tentang apa.

“Sebaiknya saya harus mulai darimana, ya.”

Desira Lumiere, seorang wanita yang menghabiskan masa kecilnya di sebuah desa kecil. Hingga ia mencapai masa akhir remajanya, seorang pria membawanya menuju ke sebuah kota. Mereka tinggal bersama sebagai seorang penjahit dan pemanggang roti, hidup sederhana, tetapi keduanya bahagia. Tangannya yang terampil dapat menyulam berbagai macam pakaian indah dengan cepat, sang suami di lain sisi membuat roti dengan cita rasa yang belum ada di kota itu dan namanya menjalar ke seluruh bagian kota bak api di hutan. Mereka pun memutuskan tuk menabung uang hasil kerja keras mereka untuk membeli sebuah rumah yang dapat mereka tinggali di masa tua, ya, itulah rumah ini.

Mereka sadar bahwa semuanya berjalan terlalu mulus, dan apa yang mereka takutkan benar-benar terjadi. Cepat atau lambat, perang akan terjadi untuk ke sekian kalinya. Sebuah tragedi yang sama sekali tidak ada gunanya itu memaksa Garder untuk kembali memegang senapan dan bertarung di garis depan. Kali ini berbeda, ia mempertaruhkan nyawa tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kekasih yang menunggunya pula. Asap hitam dan serbuk amunisi yang bertebangan dapat terlihat dari pinggiran kota, tanda bagi Desira untuk segera menyelamatkan diri. Dari kejauhan, dengan perasaan kesal dan sedih yang bercampur aduk, ia dapat melihat buah hasil kerja keras mereka luluh lantah karena ledakan. Rata dengan tanah, hancur menjadi puing-puing bebatuan. Kekejaman dari perang. Ia yang tidak lagi memiliki tempat tinggal memuntuskan tuk mendiami rumah ini, sendiri, tanpa kekasih yang seharusnya mendampingi dirinya. Wanita ini menunggu, menunggu hingga tragedi itu berakhir, menunggu kepulang sang tercinta. Hingga hari ini, detik ini, ia masih menunggu.

Kenyataannya, perang sudah berakhir. Dua tahun lalu, negara ini meraih kemanangan yang dibayarkan dengan darah prajuritnya. Dua tahun lalu, seharusnya penantiannya telah berakhir. Tapi tidak, ia masih menunggu. Untuk satu hari besoknya aku hanya menghabiskan waktu terbaring di atas kasur. Dihadapkan pada pilihan yang mungkin saja tidak akan terjadi jika aku tidak mencoba berbicara dengan wanita itu. Dilema, frustasi, simpati, kesal, marah, satu hari terberat dalam hidupku. Alasan kenapa mereka menghindari rumah itu, alasan kenapa tidak ada yang berbicara dengannya, apakah benar ini yang terbaik? Membeberkan kenyataan dan harus menanggung resikonya, atau membiarkannya tetap menunggu sesuatu yang tidak akan datang. Aku tidak bisa melihatnya dengan cara yang sama lagi, aku tahu itu. Waktu terus berjalan, rambut hitam nan panjangnya akan memutih, sepasang kaki itu akan melemah, senyum itu akan memudar. Namun penantian dan harapan itu akan tetap ada. Aku tahu itu. Aku tidak bisa terus seperti ini. Esoknya, aku memutuskan tuk menyapanya, tersenyum, dan tidak menghentikan penantiannya. Ya, aku seorang pengecut, bertindak sama seperti mereka, membiarkan wanita ini terus larut dalam harapan yang mungkin sudah lama sirna.

Anak-anak berlari saat lewat, yang tua menganggapnya tidak ada. Setiap pagi ia selalu di sana, dengan payung saat hujan, memakai pakaian tebal waktu tanah memutih, berkeringat karena teriknya matahari. Dari dalam kamar ini aku mengawasinya, dari sisi lain jendela, terkeadang senyum itu sampai kepadaku. Hari-hari berat itu terus berjalan, setiap detik semakin menyesakkan, malamku tidak lagi tenang, siangku tidak lagi senang, aku bisa menyelamatkan waktunya, namun aku diam. Untuk setengah tahun aku menghabiskan detik dengan berbohong kepada diriku, “Ia baik-baik saja.”, “Memang itu yang dia inginkan, bukan?”, “Aku tidak punya kewajiban memberitahunya.”. Untuk setengah tahun aku menulis, bukan tentang diriku, tentu saja tentang penantian wanita itu. Dua buku habis untuk pelampiasanku, hanya kepada kertas-kertas itu aku bisa menyampaikan kebenarannya. Tidak dengan si wanita. Aku tidak memiliki keberanian, pena di tangan ini hanya sebagai pelarian.

“Apa kamu tidak sakit hati dengan perlakuan mereka?” aku sama sekali tidak berhak mengatakan hal itu.

Ia menggeleng pelan, kembali simpul itu ia lemparkan, “Mereka sebenarnya ramah, kok. Hanya saja aku yang tidak berani berbicara duluan.”

“Apa sejak kamu pindah ke sini?”

“Tidak, mungkin mulai dari satu setengah tahun lalu.”

“Jadi… selama itu…”

Ia mengangguk, “Kamu orang pertama yang mengajakku berbicara seperti ini.”

Tentu saja, mereka telah memutuskan tuk diam. Membuatmu tetap menunggu.

“Apa kamu senang membaca?”

Butuh sesaat hingga aku dapat memproses pertanyaan yang ia lontarkan, “I-iya, aku mulai senang waktu pindah ke tempat ini.”

Ia menepuk kedua tangan kurusnya itu, senyum lebar muncul di wajah tirusnya, “Apa kamu ingin meminjam beberapa buku? Aku tidak terlalu suka membaca, tapi tidak dengannya. Daripada diam hingga berdebu, aku rasa lebih baik berada di tanganmu tuk sekarang.”

Aku mengangguk sungkan, “Apa kamu benar-benar tidak keberatan? Kau tahu…”

Ia yang telah berdiri dari duduknya pun berbalik, “Sebagai gantinya beritahu aku pendapatmu.”

Romansa, tragedi, komedi, pria itu memiliki selera yang benar-benar acak. Mungkin kesialan kembali menuntunku. Tepat di akhir kisah, ditutup dengan pasangan sang antagonis mati demi dirinya, sebuah foto terselip di antara halaman terakhir dan bagian terluar buku. Ia duduk di sebuah kursi, menyunggingkan senyum kecil di wajah gadis belianya, gaun yang ia kenakan memiliki motif yang rumit dan mempesona, rambutnya lebih panjang, seorang pria gagah berdiri mendampinginya. Ini foto mereka berdua, tercatat tanggal beberapa bulan sebelum perpisahan mereka, salah satu bukti hidup keduanya. Seragam yang sama dengan yang menggantung di ruangan ini, ia berdiri dengan dada membusung di sebelah istrinya, sebuah foto formal yang belum pernah kulakukan. Apa ia tahu tentang ini? Jawabannya tertulis tepat di belakang kertas ini.

“Kamu tidak perlu menunggu.”

“Apa maksudmu?”

Kukeluarkan potret mereka dari saku, “Itulah yang tertulis di sini.”

Jari-jari kurus itu mulai gemetar, tatapannya membelalak melihat sosok muda dirinya. Aku sudah menduganya. Ujung matanya mulai basah, pipinya merona merah padam, suara yang ia keluarkan tertahan, ia memeluk foto itu hingga sedikit remuk. Tidak ada satupuu bingkai yang terpajang di tempat ini, selama ini, di hari-hari penantiannya, sosok yang ia tunggu hanya ada di dalam benaknya saja. Dan penantian itu, aku telah menghentikannya. Aku sudah siap menanggung rasa sakitnya, amarahnya, rindunya, kesepian yang telah menumpuk. Aku sudah siap dengan semua itu. Tetapi…

“Terima kasih… aku mengira telah kehilangan ini… terima kasih….”

Aku hanya mengangguk melihat senyum gemetar yang ia tunjukkan, “Jadi…”

“Aku akan tetap menunggu.”

“Kenapa?!”

Ia tidak segera menjawabku, ia tidak menjawabku. Sepasang mata itu menatapku dengan sayu, sedikit bengkak dan berkaca-kaca. Tatapan itu bukanlah tatapan yang sudah kuduga. Tidak ada amarah yang tercermin, tidak pula rasa kesal atau kesedihan. Ia tampak sudah menerimanya, ia tampak sudah mengetahuinya.

“Apa kamu…”

Ia mengangguk, “Aku akan tetap menunggu.”