#Mary #Gore 

Boneka


Tempat ini hanya memberiku rasa mual tidak tertahan sejak aku turun dari mobil. Menyadari keterlambatanku, segera aku mempercepat langkah menuju empat orang di sana. Tidak ada wajah baru kali ini, kecuali satu yang memegang senapan laras panjang di hadapanku. Wai, Dee, Jy, dan—

“Aku pemimpin penyelidikan kali ini, Kei,” ucap pria itu memperkenalkan dirinya walau tidak perlu sembari menganggantungkan alat berbahaya itu ke belakang punggungnya.

“Apa yang menunggu kita di balik pintu itu?”

Pria berinisial Kei itu menghela napas, “Gambaran yang kudapat dari tim yang melakukan penangkapan adalah… Neraka.”

“Neraka?”

Ia mengangguk, mata seperti rubah miliknya menatap Wai, “Atau sesuatu yang lebih mengerikan dari itu.”

Aku menelan ludah, kurasa bukan aku sendiri, “Pelakunya?”

Pria dengan badan sedikit lebih kurus dariku itu berjalan menekati pintu besi berkarat di belakangnya, “Ia pria tua biasa. Kamu akan mengenalinya sebagai tetangga ramah yang menghabiskan uang pensiunannya.”

Tawa kecut muncul di antara kami, pelan dan terlalu cepat menghilang. Ia mengetuk pelan pintu menuju “Neraka” itu, bagian dalamnya mengintip kami. Bercak darah, apa yang barusan kulihat adalah bercak darah, tepat di jalan masuk. Kurasa apa yang Kei katakan bukanlah guyonan belaka. Memang benar aku bertugas mendokumentasikan TKP semacam ini, tetapi apa yang sudah menyambutku sudah membuat asam lambungku naik.

“Karena pria ini ada apa tugas kita hanya memeriksa TKP saja?” Dee menepuk pelan bahuku.

“Itu tugas utama kita, tetapi atasan memberikan ‘side quest’ lain, mencari apa saja yang masih bernapas.”

Saat semua telah menghilangkan wajah bingung mereka, Kei membuka menunjukkan sebuah lorong berdekorasi merah darah di dinding-dindingnya. Sungguh jalan yang cocok menuju Neraka, pikirku. Serentak kami membuka peta bangunan yang telah dikirimkan ke telpon genggam masing-masing. Terdiri dari satu lantai saja, lorong ini satu-satunya jalan keluar dan masuk. Ada beberapa kamar di sisi-sisi kamar, menurut info yang diberikan belum satupun yang diperiksa setelah penangkapan dua hari lalu. Alasannya? Entahlah, Kei tidak menjelaskannya dan bisa disimpulkan memang tidak perlu diketahui.

“Terdapat empat kamar, tidak diketahui apa ada ruangan lain di dalamnya,” jelas Kei, “pastikan kamu memotret semuanya.”

Aku mengangguk mengerti.

Kei memimpin barisan, ia tidak dalam posisi mengacungkan senjata. Wai berada paling belakang, aku berjalan di depannya. Pelakunya memanglah sudah tertangkap, tetapi kemungkinan ada jebakan licik di tempat ini tidaklah nol persen.

“Aku masih tidak percaya ini benar-benar darah manusia,” ucap Wai sembari menerangi bagian atap lorong dengan senternya.

“Apa ada laporan soal jumlah korbannya?”

“Dari pengakuan pelaku korban berjumlah enam puluh, semua merupakan gadis dengan kisaran umur tujuh sampai lima belas. Otaknya tidak perlu diragukan lagi sudah hancur.”

Aku menemukan beberapa alat berbahan besi tergeletak di sepanjang sisi lorong, linggis, garpu, gunting taman, rantai, dan beberapa yang aku sendiri tidak tahu. Tentu saja semuanya telah tercelup warna merah. Aku tidak ingin membayangkan apa yang telah terjadi.

“Apa angkanya tidak terlalu besar?”

“Tidak juga, malahan lebih sedikit dari perkiraan berdasarkan laporan anak hilang yang telah terjadi beberapa tahun terakhir. Wilayah kerja si kakek dengan senyum mengerikan itu cukup luas, aku dengar-dengar perkiraannya seratus lebih.”

“Seratus?!”

“Pelankan suaramu!” aku dapat melihat Dee yang ada di depanku memukul kepala Jy dengan senternya.

“Setidaknya kita tidak perlu menghabiskan waktu dengan tes kejiwaan,” ucap pria di belakangku.

“Begitu juga dengan pengadilan.”

Untuk beberapa saat kami semua dalam keadaan diam. Suasana di tempat ini ratusan kali lebih mencekam dari rumah hantu yang minggu kemarin aku kunjungi waktu kencan. Jeritan, tangisan, amarah, putus asa, rasa sakit, penderitaan, aku bersyukur dinding yang mengelilingi kami tidak dapat bersaksi terhadap apa yang sudah mereka saksikan. Aku tidak akan kuat membuka telingaku. Kami akhirnya sampai di sebuah persimpangan, dari peta yang telah kami terima jalan lurus ke depan merupakan tempat tinggal si pelaku. Misi utama kami adalah memeriksa dua kamar yang ada di kiri dan dua yang ada di jalan kanan. Kami membagi grup, Kei dengan Jy bersamaku menuju bagian kiri. Tepat di ujung jalan yang buntu terdapat dua pintu yang berhadapan. Kami terhenti untuk sementara, aku dan Jy menunggu perintah.

“Ingin bertaruh?” aku memang belum mengenal pria ini, tapi apa yang baru saja ia katakan merupakan lelucon sampah di saat seperti ini.

“Kanan kalau begitu,” dan ada yang menanggapi serius candaan seperti itu.

Kei dengan sigap menguatkan kuda-kudanya, ia berencana menggebrak pintu besi itu dengan menendangnya. Refleks aku langsung mengambil satu langkah mundur. Aku tidak akan kaget jika ada anjing kelaparan yang akan menerjangnya sesaat pintu itu lepas dari engselnya. Setidaknya rute kabur kita tidak terhalang, aku harap.

“Satu… dua… TIGA!”

“Letakkan tangan di atas kepala dan jangan melawan!”

Kosong, Jy baru saja memberi perintah kepada bayangannya sendiri. Aku salah, ada sesuatu di sini. Tepatnya sesuatu itu tertutupi selimut lusuh—yang tidak mengejutkan dan mulai membuatku merasa kesal—berwarna merah. Bergerak. Kei mengarahkan senapannya menuju pojok ruangannya, tidak ada di antara kami yang tidak meneteskan keringat.

“Aku akan memeriksanya,” Jy memberiku jalan.

Ketika aku mendekat, aku dapat membayangkan apa yang ada di balik kain tipis itu. Ia bersandar kepada dinding, bagian atasnya membulat, saat aku melihat rantai terjulur tepat di bawah kain itu aku menolak sendiri hasil pemikiranku. Bau besi tercium menyengat, aku dapat mencium bau busuk lainnya dari apa yang ada di hadapanku. Ia memiliki tinggi selututku, ukurannya terlalu kecil, tapi… Aku harus segera membukanya!

“To…long…”

Aku menyingkap kain itu. Jy tidak kuat dengan apa yang ia lihat dan aku bisa mendengar makan siangnya berjatuhan ke lantai, Kei sendiri bergetar hebat hingga senter yang ia arahkan ikut bergetar. Apa yang ada di hadapanku, yang tidak lebih berjarak satu langkah kaki, sedang menatapku dengan mata kosong. Itu bukanlah kiasan, rongga yang seharusnya ditempati bola matanya sudah kosong, dua-duanya. Kulit di pipi dan hidungnya telah tiada, beberapa gigi tanggal, dan mulutnya yang menganga menunjukkan lidah yang telah terpotong, begitu pula dengan kedua daun telinganya. Aku butuh beberapa waktu untuk mengenali kelaminnya, gadis ini dalam keadaan telanjang. Kedua kakinya telah diamputasi hingga pertengahan paha, digantikan oleh semacam plastik dengan rantai diujungnya. Nasib yang sama juga dialami kedua lengan kecilnya. Bau busuk yang kucium berasal dari bagian bawahnya, ia duduk di atas kotorannya sendiri dengan beberapa cairan putih di sekitar kemaluannya. Darah bisa terlihat merembes dari bagian dada hingga perutnya yang dibalut perban kotor, apa yang dibalik perban itu merupakan daging si gadis sendiri.

“Dia masih hidup! Kita harus segera membawanya!” aku segera memberi arahan kepada Kei dan Jy yang masih mematung. Segera aku membuang pikiran soal betapa menjijikannya apa yang ada di hadapanku ini, aku harus menyelematkan nyawa gadis ini. Ketika aku mulai mengangkat tubuhnya, ia mengangkat lengan kirinya dan mengarahkannya ke sisi lain ruangan.

“A…yah…bu…ku…i…tu….”

Karena sumber cahaya yang ada hanyalah senter yang ada di senapan Kei, aku tidak tahu apa yang dimaksud si gadis. “Jy, cari sebuah buku di ruangan ini, aku dan Kei akan langsung menuju rumah sakit.”

Suhu badan si gadis sama sekali tidak hangat untuk seorang manusia, jaket kulitku sudah bercampur dengan darah dan kotoran seketika aku membopongnya. Kei dengan cepat berlari terlebih dahulu, kami meninggalkan Jy dan pergi tanpa memberitahu yang lain. Kami tidak mengharapkan ada korban selamat dari neraka di bumi itu, karenanya tidak ada tenaga medis yang ikut serta. Membutuhkan waktu kurang dari setengah jam hingga ke rumah sakit, selama itu aku memastikan nafas tetap terhembus dari hidung si gadis yang telah patah itu. Kei tidak lagi peduli dengan peraturan lalu lintas, ia berkendara dengan kecepatan penuh sembari memberitahu markas tentang si gadis.

Malam itu, kami menemukan satu korban selamat. Wai dan Dee menemukan sekitar selusin tubuh tanpa lengan, kaki, dan kepala. Mereka juga menemukan kepala-kepala yang digantungkan layaknya daging potong, jumlahnya lebih dari dua puluh. Ruangan itu disebut “Gudang Daging” oleh pelaku, kami juga menemukan potongan kaki dan tangan yang tak terhitung jumlahnya serta beberapa tengkorak anak kecil di ruangan yang sama.

Penyidikan masih berlanjut hingga hari ini, empat bulan setelah penyidikan pertama. Aku masih ikut serta dalam setiap penyidikan, kasus kali ini sudah merebut kepercayaanku kepada kewarasan manusia. Aku akan berterima kasih sedalam-dalamnya apabila diberi kesempatan untuk membunuh kakek bajingan itu.

“Ah, Tuan,”

“Apa dia ada di dalam?”

“Ya, karena beberapa rekan anda datang, mereka baru saja pergi. Aku rasa ia kesepian, sebaiknya anda cepat temui dia.”

“Begitukah, akhir-akhir ini aku cukup sibuk juga.”

Aku mengetuk pintunya, tidak ada jawaban, seperti biasa. Ketika aku berjalan masuk, ia memandang keluar jendela. Taman kecil rumah sakit yang sekarang dipenuhi bunga-bunga indah bermekaran. Aku harap ia dapat melihatnya. Tenaga medis sudah berusaha sebisa mungkin menyembuhkan luka fisiknya, aku juga harus berusaha untuk menjaga mentalnya.

Ia bereaksi terhadap langkah kakiku dan menoleh, senyum kecil tersungging di wajah kecilnya. Sekujur tubuhnya masih dibalut perban, mau bagaimana lagi, apa yang telah ia alami sungguh tidak manusiawi. Aku mengambil kursi di sebelah tempat tidurnya.

“Apa kamu tidak ingin ke taman?”

“Ayah ternyata, akhirnya Ayah datang juga!” tangannya mencari wajahku, aku pun mengarahkan plastik yang telah menjadi bagian tubuhnya itu.

“Iya, maafkan Ayah kemarin tidak menjengukmu.”

Ia menggeleng semangat, “Nggak apa-apa, kok. Maly sudah senang Ayah datang.”

“Begitukah, Mary.”

Aku akan menjaga anak ini, dia yang telah melewati neraka, gadis paling pemberani yang pernah kutemui.