#Slice of life 

Bodoh Hanya Bersenang-senang


“Apa yang ingin kamu lakukan, Bodoh?”

“Ternyata Nona Rembulan dan Nona Bintang, daku menunggu kedatangan kalian,” pria dengan badan kurus itu membungkuk dengan lemah gemulai.

“Pertapa meminta kami untuk menemanimu. Jadi?”

Senyum lebar kembali muncul di wajahnya, seperti biasa itu tidak pernah gagal membuat merasa ngeri dan tenang disaat yang bersamaan. Aku melirik, kurasa ia tidak akan mengatakan apapun seperti biasa. Lelaki itu berbalik membelakangi kami, tidak ada yang bisa membaca pikiran Si Bodoh, bahkan untuk seorang Pertapa. Orang itu ingin memastikan agar tali kekang pria jangkung ini tetap terjaga di lehernya.

“Apa nona-nona tahu tentang kejadian 8 tahun lalu?”

“Tentu saja kami tahu, karena itu kita semua berada di bawah kaki wanita itu,” aku mendengus sedikit kesal, sebuah pertanyaan bodoh dari Si Bodoh.

Tawa kecil terdengar, tidak ada sedikitpun rasa senang di suara itu, “Anda benar, sungguh pertanyaan yang konyol. Kalau begitu daku akan bertanya kembali, bagaimaan dengan tempat yang pertama kali diserang?”

“Tristan?” aku tahu sekali bukan itu jawaban yang diinginkan lelaki itu, namun aku tetap mengatakannya.

Tatapan yang selalu kulihat bersamaan dengan hujan darah tertuju kepada kami. Kuakui orang lain akan jatuh gemetar melihatnya, tetapi tidak dengan rekan di bawah kaki majikan yang sama. Suasana hatinya selalu berubah tak menentu. Kedua tangannya terlipat di balik punggung kecilnya, ia menutup mata dan kembali menyengir.

“Bukan itu jawabannya, nona manis,” ia kembali memunggungi kami, “sebelum Tristan, ada sebuah desa yang tak jauh dari perbatan. Tanpa adanya nama tuk dikenang, wajar bila terlupakan. Sebuah kisah tertinggal, hanya itu yang tersisa selain saksi bisu reruntuhan.”

Pria itu mulai berjalan, tidak biasanya kaki-kaki seperti ranting kayu itu tidak melompat kecil layaknya penari balet. Kami mengikutinya, menulusuri jalan setapak dari tanah tanpa rumput ini.

“Kisah tentang seorang pria yang bagaikan pungguk merindukan bulan. Keberadaan yang menjadi berharga setelah kau kehilangannya. Sungguh menyedihkan melihat pria itu menyesali kelemahannya. Ada gerangan apa yang membuat sang pria menjadi melara? Jawaban dari pertanyaan itulah yang diceritakan dalam kisah ini.”

“Aku cukup tertarik. Apa kamu bisa menceritakannya, Bodoh?”

Ia menoleh ke belakang seraya tersenyum, “Sungguh sebuah kehormatan bagi saya, nona manis.”

“Aku merasa ini akan membuang-buang waktu saja, Kak,” gadis di sebelahku akhirnya mengeluarkan suara lembutnya Aku menghela napas, “Tak apa. Kesempatan sekali seumur hidup kita bisa melihat Si Bodoh terbuka seperti ini.” Sembari berjalan menuju suatu tempat yang hanya Si Bodoh tahu, ia bercerita layaknya penyair hebat.

“Melebihi cerahnya mentari, senyum itu menyapa pria itu dengan hangat. Ini bukanlah sesuatu yang spesial, bahkan ia merasa jenuh melihat senyum simpul gadis dengan rambut secerah bunga matahari itu. Mereka hanyalah teman masa kecil, itulah yang ada di benak sang pria. Dia hanyalah teman masa kecil, itulah yang ada di benak sang pria. Hari-hari biasa yang dipenuhi tawa sang gadis, hari-hari biasa yang dipenuhi canda sang gadis, hari-hari biasa yang diwarnai suara bahagia sang gadis. Semua itu biasa, itulah yang ada di benak sang pria. Hingga malam itu datang kepada desa ia lahir dan besar, kepulan asap merah menyala di langit, keributan dari hentakan kaki yang saling kejar-mengejar. Wajah-wajah panik pria dan wanita mulai bermunculan, rasa kantuk mereka seketika sirna digantikan ketakutan. Lonceng berbunyi dengan lantang dan berisik, teriakan yang menyebut berbagai nama menyebar di langit desa, saat itulah mereka sadar.”

“Perang telah dimulai…”

“Betul sekali, nona manis. ‘Perang telah dimulai, aku harus menyelamatkan diriku dan keluargaku.’, itulah yang ada di benak setiap warga desa. Sang pria? Ia berlari sekuat tenaga hingga udara di paru-parunya habis untuk mencari gadis itu. “Dimana dia?”, “Kenapa dia tidak ada di rumahnya?”, “Apa yang sebenarnya terjadi”, sembari berlari tanpa henti pikirannya penuh akan pertanyaan. Hingga menggema di langit, sebuah suara tembakan, sang pria tak henti memaksakan otot di kakinya tuk terus berlari mencari. Sebuah lumbung padi, tidak jauh dari pintu masuk desa, gemetar seluruh tubuh si gadis yang meringkuk di antara jerami-jerami kering. Dalam hatinya, ia berdoa dengan keras kepada Tuhan yang belum pernah ia temui, berdoa agar tidak ada yang menemukannya. Takdir berkata lain, doanya tidak terjawab, seseorang membuka pintu lumbung dan masuk ke dalam. Meninggalkan si gadis dengan orang tersebut.”

“Apakah si Pria?”

Kepalanya menggeleng, “Sayang sekali, jawabannya adalah tidak. Si gadis, tanpa ia ketahui, berada di ruangan yang sama dengan seorang tentara musuh. Kayu yang berderit setiap ia melangkah, suara senapan yang dikokang membuat si gadis menjerit dalam hati. Ia akan mati, itulah yang memenuhi benaknya. Kembali si gadis berdoa, agar tentara itu tidak menyadari keberadaannya dan pergi. Sekali lagi, keberadaan yang ia anggap Tuhan itu tidak menjawab harapan putus asanya. Dengan mata yang melotot, pria itu berdiri di hadapan si gadis yang meringkuk gemetar. Si gadis memejamkan matanya dan memeluk dirinya sendiri dengan diselimuti rasa takut, hingga terdengar seseorang berteriak “Berhenti!” dari arah masuk lumbung. Secercah harapan muncul di hati si gadis. Senapan yang sudah ditodong kepadanya beralih ke seseorang dengan suara yang familiar baginya. Ia ingat sesuatu, dan digerakkan oleh semangat yang misterius si gadis menerjang tentara itu dan menjatuhkannya. Dengan sekuat tenaga, gadis itu menahan tangan pria yang lebih tua dan kuat darinya. Ia menoleh, dan apa yang dipikiran si gadis benar. “Larilah…”, setelah itu gadis itu tumbang bersamaan dengan ditariknya pelatuk pistol kecil. Doanya tidak terjawab, namun senyum simpul yang selalu yang tunjukkan menghiasi wajahnya yang bersimbah darah dari lubah di dahinya. Sang pria, di sana, menyaksikan hari-hari biasanya runtuh oleh suara tembakan. Dengan demikian, kisah ini berakhir.” Langkahnya berhenti, ia menatap ke arah langit abu-abu di atasnya. Tatapannya hampa, seperti biasa.

“Apa yang terjadi dengan si pria?”

“Dia melarikan diri bagaikan pengecut dan menyesali tindakannya hingga detik ini, nona manis,” ia menjawabnya dibarengi senyum menyengirnya.

Beberapa saat kemudian kami kembali berjalan, “Dia berbohong.”

Napas berat keluar saat aku menghela, “Aku tahu itu. Baginya, berbohong itu semudah bernapas, yang ingin kutanyakan kepada ia hanya berbohong di bagian akhirnya.”

Mungkin kisah ini berakhir di situ, mungkin juga bahwa kisah itu hanyalah permulaan saja. Si Bodoh, pemegang kartu pertama. Kami hanya tahu sedikit tentangnya, setidaknya setelah mendengar kisah ini aku mendapatkan serpihan kecil dari teka-teki kehidupan pria itu. Kota yang pertama kali diserang ialah Tristan, namun kota itu tidak jatuh ke tangan musuh. Sang Pertapa mungkin sudah tahu tentang ini, orang itu selalu bisa menyembunyikan sesuatu seperti tidak ada apa-apa. Baik diriku maupun Bintang, untuk melawan Si Bodoh adalah tindakan konyol. Kematian, mungkin ia bisa menumbangkan pria yang bagaikan pohon kering berjalan di hadapanku ini dengan kehilangan satu tangan atau satu kaki.

Dari kejauhan, sebuah tanah lapang kosong dengan beberapa tonggak kayu yang masih berdiri dapat terlihat. Saksi bisu, ya? Kami juga sering melihatnya, dan akan terus melihatnya setelah bulan ini berakhir.

Tiba-tiba pria itu berhenti dan menoleh ke arah kami, “Nona Rembulan, apakah anda bisa membuatkan bunga Hyacinth ungu untuk daku ini? Maaf apabila daku membuat permintaan yang menyusahkan.”

Apa sampai sekarang ia masih meminta maaf? Benar-benar, Si Bodoh sangat cocok untuk pria menyedihkan ini, “Tidak apa, anggap saja ini bayaran dariku karena sudah menceritakan kisah itu.”