#Romance 

Riot


“Bagaimana aku bisa berakhir di sini.”

“Percepat langkahmu, dasar pemalas!”

“Tunggu sebentar! Aku ke sini bukan karena keinginanku sendiri!”

Pria itu menghentikan langkahnya dan berbalik, aku hampir tidak bisa melihat matanya karena rambut panjang tidak karuan itu. Ia berjalan mendekat dan menepuk bahuku dengan pelan, “Begitu juga denganku, tapi mau bagaimana lagi. Ini semua kit—”

“Apa? Keadilan? Ayolah, kamu ke sini gara-gara senior cantik itu memintamu, kan? Omong kosong!”

“Hey, itu memang benar aku ke sini supaya dia bisa melihatku sebagai cowok yang keren, tapi alasan sebenarnya ada—”

“Membela rakyat? Kuliahmu sendiri belum beres dan kamu bahkan tidak paham tujuan dari kegaduhan ini, kan?”

“Kau sendiri bagaimana? Apa kamu tidak enek membaca seribu halaman isinya tulisan semua?”

“Enek, sih… cuma itu beda urusan! Aku berakhir kayak gini gara-gara kamu memaksaku! Aku pulang!”

“Tunggu dulu, hey! Apa kau dengar?!”

Ia tidak mengejarku, lebih baik seperti itu. Berkumpul sejak pagi-pagi buta, berdiri layaknya jemuran saat matahari tepat di atas, dan masih lanjut dengan perut kosong hingga sekarang. Dari awal aku memang tidak ada niatan untuk ikut kegiatan tidak jelas seperti ini, tetapi entah bagaimana makhluk sialan itu bisa membujukku. Ocehan yang keluar dari senior dengan semangat kelewat tinggi itu tidak masuk akal, walau begitu semua menjawab “Setuju!” dengan suara yang bisa membuat gendang telingaku pecah.

Memang benar mereka sedang mengambil hak mereka dapat menyampaikan pendapat, hanya saja dari ribuan orang di situ yang tau betul masalanya bisa dihitung jari. Sisanya? Entahlah, masing-masing punya tujuan. Ada yang ingin sekedar bolos kelas, meningkatkan popularitas di dunia maya, ada juga yang memperjuangkan pendapat mereka dengan sungguh-sungguh.

“Aku benar-benar tidak suka keramaian ini….”

Aku bukanlah tipe orang yang penyendiri, malahan cukup senang bersosial. Hanya saja kumpulan massa seperti ini selalu berhasil memberi rasa bahaya. Bagaimana mengatakannya… sesuatu yang buruk dapat terjadi? Begitulah, aku tidak kaget jika mendengar suara letusan menggelegar dari arah berlawanan. Karenanya aku pulang, berjalan, dan memikirkan apa yang sudah kutinggalkan untuk masalah bodoh seperti ini.

“Hari ini mie instan lagi, hore…”

Lebih sedikit orang di tempat ini, sedari tadi aku berjalan melawan arus dan menyenggol bahu satu ke bahu yang lain hingga sampai titik ini. Akhirnya aku bisa mengambil napas. Aku melupakan sesuatu, tidak, kami melupakan sesuatu, aku baru bisa mengingatnya ketika menendengnya tanpa sengaja. Sebuah botol plastik kosong, sampah. Aku melangkahinya, seakan-akan itu bukanlah milikku, kenyataannya memanglah seperti itu. Tetapi, aku tinggal di planet ini. Berbalik, aku melirik ke sekitar. Sekali lagi aku menghela napas.

Di tengah-tengah kegiatan sukarelawan yang kulakukan, sesuatu serba hitam tergeletak di dekat lampu penerang jalan, orang. Ia memakai sebuah jaket berwarna hitam dengan celana jeans hitam pula, sarung tangan hitam serta sepatu hitam, helm hitam bertutup kaca hitam. Serba hitam. Ia duduk dengan melurus satu kaki dan menekuk kaki satunya, kedua tangannya mencengkeram erat pergelangan kakinya yang menekuk. Aku membiarkan orang misterius itu dengan urusannya, hingga aku mendengar erangan samar bersumber darinya.

“Baik-baik aja?”

Ia menyadari tatapanku dan mengangguk, tanpa pikir panjang aku kembali memetik selembaran-selembaran ‘penyemangat’ yang masih banyak berserakan. Ia tersungkur, karena suasana yang cukup hening aku bisa mendengar suara yang ia buat. Aku berjalan menuju orang itu, ia yang tadinya dalam keadaan berlutut kemudian terduduk dan erangan tadi kembali terdengar. Kurendahkan badanku dan menggenggam pergelangan kaki kirinya, ia menggertakkan gigi.

“Terkilir?”

Diam. Kukencangkan genggamanku. Ia mengangguk.

“Ada uang?”

Sebuah gelengan kuterima.

“Motormu?”

Ia menunjuk arah menuju parkiran.

“Kuncinya? Aku ak—”

Sebelum aku selesai, ia melambaikan kedua tangannya, memberi isyarat tidak.

“Tunggu dulu, apa kamu bisa atau semacamnya? Ngomong.”

Ia menunduk, entah bagaimana aku bisa tahu ia menunduk, “Hi…lang….”

“Hi? Hilang?” aku segera berdiri, “Kalau gitu tunggulah yang lain, minta salah satu dari merek—”

Orang itu menarik ujung jasku hingga aku hampir tersungkur ke tanah, tanpa pikir panjang aku menepis tangan itu. “Aku nggak punya uang untuk kupinjamkan, karena rumahku dekat sini. Kalau mau tunggu di sini, aku pulang dulu ambil uang.”

Entah kenapa aku malah menyusahkan diriku sendiri.

Ia kembali menarikku, “Bawa aku… ke rumahmu….”

“Hah?”

“Aku gak mau… ngerepotin.”

Bukannya kalau kamu ikut malah ngerepotin? Apa aku harus membopong orang ini? Memang benar aku tidak perlu balik lagi kalau membawa dia.

“Aku gak senang tempat ini…”

“Lah, terus kenapa ke sini?”

“Ditarik semena-mena sama orang lain.”

Aku melemparkan senyum kecut, “Sama kayak aku ternyata.”

Aku segera menarik lengannya dan mengalungkannya ke leherku, ia sedikit merintih saat aku mulai mengangkat badannya. Kalau kuperhatikan benar-benar, suaranya sangat lembut untuk seorang cowok. Lengannya juga kurus, dan ketika aku mengalungkan tangan ke pinggangnya, aku bisa tahu dari balik kaca helm itu ia menunjukkan sebuah tatapan tajam. Aku tidak salah di sini, mau bagaimana lagi aku harus membawanya, membopongnya seperti seorang puteri? Yang benar saja!

“Enggh!”

“Ada apa? Apa kakimu sakit?”

Ia menggeleng, aku pun mengencangkan peganganku pada pinggangnya.

Dengan pelan, benar-benar pelan, aku membawa orang menyusahkan ini ke rumahku. Akan lebih mudah kalau aku mengambil motor si sialan yang sudah membawaku ke sini.