#Slice of life 

Long Way Down


Aku membuka pintu, “Apa aku menganggu?”

Yang ada di tangannya merupakan sebuah botol berukuran besar, aku pernah melihatnya di suatu tempat tapi itu sudah cukup lama. Waktu tidak memudarkan senyum pemuda ini, aku harap bukan itu saja yang waktu tidak kuasa lakukan. Tanpa perlu bertanya aku tahu ia cukup kelelahan, kami memang jarang kedatangan tamu tetapi menyiapkan kursi lebih memanglah suatu kewajiban. Aku rasa umur memang mengubah kita, ia tidak lagi melompat kecil waktu mengambil duduk. Entah kenapa aku ingin melihatnya sekarang.

“Bocah itu bagaimana?”

“Aku meminta Maya menidurkannya, aku rasa ia ikut juga bersama mereka. Malam ini hanya kita.”

“Tidak sia-sia aku membawa ini,” ia mengangkat tinggi botol kaca berisi cairan warna cokelat keemasan itu dengan bangga.

Aku tertawa kecil. Memang benar ia paling muda, tetapi mempertahankan semangat itu di usianya aku rasa cukup sulit. Kusandarkan punggungku kepada sofa, kami duduk berhadapan di antara sebuah meja kayu. Untuk sesaat ia melihat ke arah jam tangannya kemudian berjalan menuju pintu masuk. Ia berbalik melihatku dan memberikan aba-aba dengan jarinya, aku sama sekali tidak memahami maksud anak ini. Saat jari manis tangan kanannya terangkat, ia membuka pintu dan terlihatlah mata hijau laut itu membelalak. Tangannya melayang dalam bentuk kepalan, mulutnya sedikit terbuka, ia benar-benar membuat wajah bodoh.

“Sesuai perkiraanku!”

“Hebat juga,”

Pemuda itu berjalan kembali menuju sofanya sembari melompat-lompat kecil, aku menepuk tangannya saat ia melewatiku. Pria itu? Ia masih bengong di depan pintu, butuh beberapa detik hingga ia menurunkan tangan itu. Setelah sadar ia berjalan dengan langkah cepat menuju satu-satunya orang yang masih tertawa di dalam ruangan ini.

“Bagaimana kamu bisa tahu aku di depan sana?”

“Tepat waktu. Kamu benar-benar tidak berubah.”

Pria berbadan paling pendek di antara kami itu berjalan menuju sofa panjang yang masih kosong, ia melempar pelan sebuah bungkusan bersamaan ia menghempaskan badan. Tidak pakai lama aku segera memeriksa bungkusan itu, kedua pasang mata itu hanya melihatku menggeledahnya. Satu sisir pisang, dua batang cokelat, dan ayam dari Nandos. Aku melirik pria yang membawa barang-barang ini.

“Cokelat rasa cokelat, favoritmu kan?” tanyanya menjawab lirikanku.

Aku tersenyum kecil dan mengambil pemberiannya, “Benar-benar rasa cokelat, kan?”

“Apa aku pernah bilang suka pisang?” tanya pria di seberangku sembari mengambil buah berwarna kuning itu dan segera membuka kulit salah satunya.

“Tidak, cuma kamu pernah memakai kostum buah itu sambil menari.”

Ia melahap habis satu buah dalam tiga gigitan, “Begitukah?” katanya dengan mulut yang masih penuh.

Ketika suara ketukan terdengar, orang terakhir pun datang. Sebagai tuan rumah, berbeda saat yang sebelumnya datang, aku menyambut temanku. Awalnya aku ingin menyambutnya sendiri, tetapi setelah melihat wajahnya tertutupi tumpukan kotak aku pun meminta bantuan yang paling punya banyak tenaga di antara kami. Yang satu ini benar-benar membuat meja ini penuh, pizza dan berbagai macam makanan berbahan dasar tepung terhidang di depan kami. Cuaca di luar bisa dibilang dingin, tetapi orang yang membawa semua ini meneteskan keringat.

“Kenapa tidak ada yang membantuku membawa ini?”

“Kamu tidak memintanya,” ucap kami bertiga serentak.

Ia pun segera menjatuhkan badan di tempat yang tersisa. Matanya melirik ke arah bungkusan cokelat tadi dan tanpa ragu merogoh dalamnya, ia berpaling ke pria di sebelahnya, senyum lebar muncul di wajahnya.

“Kenapa? Jarang makan itu lagi?”

Ia mengangguk, “Ini tidak benar-benar sehat untuk badanku.”

“Apa yang kamu katakan?! Masa bodoh dengan itu!” aku sudah menduga ia akan lompat dari duduknya cepat atau lambat, “Aku sudah membawa botol besar ini bersamaku dan kamu membawa semua makanan ini juga, malam ini kita akan berpesta!”

Kedua orang itu mencoba mencari jawaban dariku, yang kulakukan tuk menjawb mereka hanyalah mengangkat bahu. Tidak ada yang bisa menghentikan bocah itu. Dari dulu, dari awal kami bertemu, memang dialah yang menghidupkan suasana. Itu juga tidak berubah.

Aku mengambil sepotong roti dan melahapnya, kemampuan orang ini benar-benar meningkat. Aku tahu ia senang dengan memanggang, tapi rasa gurih yang bertolak belakang dengan lembutnya bagian putih di dalamnya sangat menakjubkan. Aku menatap orang yang membuatnya, entah wajah apa yang kubuat sekarang tapi ia kembali tersenyum lebar.

“Bukannya akan laris keras kalau kamu membuka toko?”

“Aku sudah membukanya, yah tanggapan yang kuterima memang luar biasa.”

“Heh? Aku kira kamu bakal mulai kalau sudah punya pasangan?” pria di sebelahnya menatap dengan bingung, begitu juga dengan kami berdua.

“Sebenarnya pernikahannya minggu depan, jadi—”

Bukan hanya pemuda itu yang melompat dari kursinya, aku pula dalam keadaan setengah berdiri karena kaget luar biasa yang diberikan perkataannya. Ini benar-benar menyeramkan, aku tidak bermaksud buruk, hanya saja ia tidak pernah bercerita apa-apa dan kami diberi kabar acara sekali seumur hidupnya dilaksanakan tujuh hari lagi. Aku kembali terduduk dengan kaki yang sedikit merasa lemas.

“Ah, maaf kalau aku lambat kabarin. Aku memang ingin mengatakannya hari ini.”

“Apa yang harus kukatakan? Selamat?”

“Aku tidak menerima ini. Aku yang paling tua di sini tetapi kisah asmaraku masih belum berkembang juga,” ucap seseorang layaknya ia sedang curhat.

“Karenanya aku membawakan pizza, rasanya gak kalah sama yang biasa kamu beli,” kata sahabat di sebalahnya sembari menyodorkan seloyang makanan khas italia itu.

Laki-laki itu menurut dan mengambil satu potong.

“Jadi kamu akan menikah, ya….” kataku sembari menatap langit-langit.

“Kami bertemu di taman kota, entah bagaimana kami cocok dan tukaran kontak. Sisanya sekarang sudah jadi sejarah.”

“Sejak saat itu kita sudah ambil jalan masing-masing, sampai sekarang beberapa di antara kita masih lanjut di dunia musik beberapa menemukan yang lain.”

“Dan kita kembali bertemu di hari itu.”

“Ya,” ingatan itu terlintas di kepalaku, tidak, kurasa di kepala setiap orang yang ada di ruangan ini.

Tidak ada yang menduganya. Ketika aku tanpa sengaja melihat ke berita yang ditayangkan di televisi, segera aku menghubungi nomor yang selalu ada di kantongku dan meninggalkan segala yang kuurus. Mereka berdua tewas di tempat dalam kecelakaan, ada satu korban selamat dan sekarang ia sedang terlelap dalam mimpi bersama istriku. Bertahun-tahun kami tidak berkumpul di satu tempat, dan yang menyatukan kami adalah pemakamannya. Memang dialah yang pertama berjalan dengan kakinya sendiri, tapi aku tidak menyangka ia pula yang pertama meninggalkan kami. Sungguh reuni yang menyedihkan, aku bisa mengatakannya seperti itu.

“Cukup soal masalah yang berat-berat, malam ini kita akan melupakan semuanya!” pemuda itu memecahkan keheningan dan berlari menuju kabinet dapur.

Ia membawa empat gelas dan menuangkan cairan dari dalam botol itu hingga penuh. Aku sudah lama berhenti mabuk, tetapi seperti yang ia katakan, malam ini kami akan melupakan segalanya.

“Jalan yang kita lalui masihlah panjang, karenanya—”

“Eh, keminum. Kukira kamu bakal selesai di ‘panjang’.”

“Bodohlah, minum!”