#Psychological #Slice of Life #Changed POV 

Benang Hitam


“Apa aku mengganggu?”

Ia berbalik dengan cepat, kakinya gemetar tuk sesaat, matanya membelalak menatapku, “Bagaimana ada orang di sini” itulah pandangan yang ia berikan. Reaksi yang wajar. Kedua tangan kecil itu mencengkeram erat kerah baju sekolahnya, napasnya tidak beraturan, matanya mulai membuat tetesan air.

Pintu yang seharusnya tertutup terbuka, tepat saat melihatnya seharusnya aku sudah mengambil langkah mundur. Ini bukanlah waktu yang tepat. Bodohnya, aku melangkahi sisa anak tangga yang kotor itu. Berbusana hitam, rambut pendeknya terkibas angin musim gugur, ia berdiri di tepi menatap cakrawala. Tanpa bertanya aku tahu. Tujuan kami sama. Kami terhubung oleh keputusasaan. Tidak ada yang mengharapkan terjadi kontak mata di tempat semacam ini.

“Ingin duduk sebentar?”

Kami, tidak, aku menatap langit jingga. Terlihat dekat namun tangan ini tidak dapat menggapainya. Bersandar pada dinding yang sama, ia duduk beberapa meter dariku. Ia memeluk kakinya yang tertekuk, layaknya bola hitam raksasa. Aku mengambil sebuah kotak kecil dari kantung celana, mengeluarkan satu batang tembakau, dan membakarnya. Asap menyengat hilang sekejap setelah keluar dari mulutku, si gadis melihatku dengan matanya yang sedikit lebam itu.

“Mau?”

Aku tidak keberatan berbagi, melakukan tindakan tercela bersama lebih baik daripada sendiri. Lagipula, tidak ada yang melihatnya. Ia mendekat, aku tidak menyangka ia menerima tawaranku. Dengan senang hati aku menyalakannya dengan api kecil dari korek, memberikannya, dan melihatnya menghisap dengan canggung. Terbatuk, asap keluar secara tidak beratur dari mulut dan hidungnya. Aku seharusnya tersenyum di saat seperti ini.

“Aku kira gak ada orang di jam segini,” kembali aku menghisap benda yang membunuhku secara perlahan ini.

“Ma…maaf,” dirinya, dengan kikuknya, ikut menghembuskan asap beracun.

“Setelah ini habis aku akan melakukannya,” aku memperlihatkan isi kotak itu kepada si gadis. Tersisa dua batang yang menahanku di dunia ini.

“Be… begitukah…”

“Kamu ingin duluan?” sedari tadi aku mencoba tuk menatap matanya, apa ia tidak terganggu dengan poni itu? “Ti…tidak. Aku masih belum berani, lagi…”

“Ingin bercerita?” aku memanglah pecundang, memanfaatkan orang yang gak kukenal untuk mempermudah diriku. Tidak ada jawaban.

“Aku menghancurkan orang di sekitarku, singkatnya seperti itu. Yang orang lain sebut bakat ini merupakan kutukan sialan bagiku. Minggu pertama mereka mengatakan aku hebat, minggu kedua mereka tidak lagi memandang mataku, minggu ketiga mereka mulai menyalahkan diri sendiri, dan aku tidak lagi melihat mereka sebulan kemudian. Mereka membuang mimpi, karenaku, mereka meninggalkan mimpi. Aku menghancurkan orang di sekitarku, seperti itulah. Aku tidak ingin menghancurkan lebih banyak mimpi, dan disinilah aku tuk mengakhiri cerita,” kumenoleh kepada si gadis yang akhirnya memperlihatkan mata berwarna ungu gelap indah miliknya, “bagaimana denganmu.”

“…Aku membebani orang di sekitarku, itu yang mereka katakan. Aku tidak memiiki bakat apa-apa, dan tidak bisa melakukan sesuatu dengan benar. Mereka menganggapku sebagai manusia tidak berguna, lebih rendah daripada sampah, menjahiliku, membuatku jadi mainan mereka, dan berbagai macam hal. Menyedihkan, bukan… mereka bilang bahwa aku sebaiknya menghilang, dan di sinilah aku, menuruti perkataan mereka. Menyedihkan… bukan… aku sudah hancur… mau bagaimana… lagi…”

Ironis. Permainan sialan apa yang sedang dimainkan Tuhan hingga kami bisa bertemu. Laki-laki penghancur, dan wanita yang telah hancur, tidak ada pasangan yang lebih buruk dari itu. Apa ini rencana-Nya tuk mengurungkan niat kami? Persetan dengan itu. Aku muak dengan rumah kosong itu! Aku muak dengan ruang kelas penuh akan bisikan itu! Aku muak dengan tatapan kesal mereka! Aku tidak ingin melihat wajah menyedihkan itu lagi!

Pria itu berdiri, tangannya mengepal keras hingga beberapa serbuk tembakau keluar dari isi kotak itu. Apa ia kesal dengan perkataanku? Pasti seperti itu, aku selalu membuat orang marah dengan apa yang keluar dari mulut ini. Tiba-tiba saja berdiri dan berjalan menuju tepi yang tempat aku berdiri tadi. Entah kenapa aku mengikuti langkah yang ia buat, punggungnya menghalangi matahari yang terbenam. Apa pria ini akan benar-benar melakukannya?

“Ingin melihatku? Atau ingin melakukannya bersama-sama? Aku tidak keberatan,” ia memberiku sebuah senyuman yang tidak pernah kuterima, senyum lembut dari keputusasaan dan amarah.

Tanganku mencoba tuk menggapainya, perlahan kaki ini melangkah mendekatinya. Tanpa kusadari aku berada di sisinya. Cakrawala terlihat jauh, dan pemandangan di bawahku terlihat mengerikan. Namaku akan diucapkan tuk terakhir kalinya di esok yang akan datang, entah oleh pembawa berita pagi atau orang tua yang selalu memukulku itu. Sekali lagi aku menoleh, mata kami bertemu. Ia kembali memberiku sebuah senyuman, namun kali ini rasa takutlah yang ada di baliknya. Aku membalas senyum itu.

“Pada hitungan ketiga?”

Aku mengangguk.

“Satu,”

Keringat mengalir deras dari dahiku, badanku gemetar hebat, jantungku berpacu tidak beraturan. Memastikan dapat merasakan setiap tarikan napas, kelembutan yang diberikan oleh angin musim gugur terakhirku.

“Dua,”

Apa yang akan kulihat nantinya? Apa aku akan dihukum lagi? Apa penderitaan dan rasa sakitku bertemu akhir? Jika aku lahir kembali aku harap bisa hidup tenang, jika aku masuk ke Neraka aku harap tidak terlalu menyakitkan. Tidak ada ingatan yang terlintas di kepalaku saat ini, mungkin karena tidak ada yang berharga sama sekali. Ah… akhirnya aku bisa bebas, setidkanya dari iblis berkulit manusia itu… dengan ini…. Aku benar-benar bebas.

“Tiga—”

Aku menutup mata.

“Aku pulang,”

“Selamat datang, sayang.”