#Mary #Slice of life 

Hak Bahagia


Tidak masuk. Aku memungut kaleng itu dan membuangnya seperti orang pada umumnya. Terlalu cepat untuk dibilang malam, walau begitu matahari telah menghilang. Jelas sekali aku pulang telat. Semua berkat kecerobohan seseorang dan kesalahan orang lainnya, menyusun dokuemn anggaran klub kecil seharusnya tidak susah. Jalan ini adalah yang terpendek, karenanya jarang kulewati. Melalui taman yang seharusnya sudah sepi akan suara anak kecil, dua ayunan berantai karat yang seharusnya sudah kosong. Seharusnya, tapi tidak. Masih ada seorang bocah, salah satu ayunan tidak pula kosong. Mempercepat langkah, aku menghampiri anak yang telah melemparkan sesuatu dari tangan kanannya.

Darah segar mengalir dari keningnya, batu kecil tergeletak tak jauh dari kakinya menapak. Tanpa pikir panjang aku menarik tangan bocah nakal di hadapanku. Matanya membesar, keringat dingin menetes turun ke pipinya, kekuatan bocah seperti dia tentu tidak bisa melepaskan genggaman tanganku yang semakin kencang.

“Minta maaf atau kupanggil ibumu,” aku mengeluarkan sesuatu dari saku celanaku dan bocah itu semakin meronta-ronta. Setelah beberapa saat ia pun menyerah, kepalanya menunduk, aku menepuk punggung kecilnya dengan agak keras hingga termaju selangkah, “Maaf….”

Korbannya mengangguk dan memberikan sebuah senyuman penuh kelembutan, namun bocah tidak tahu diri itu sudah melarikan diri sebelum melihatnya. Mengeluarkan sapu tangan dari kantong celana, aku memperpendek jarak antarku dan dirinya. Ia bergeming, aku sama sekali tidak bisa menembus kaca mata hitam itu, sebuah tongkat bertumpu di dudukan ayunannya, aku cukup telat menyadarinya.

“Apa kamu tidak keberatan?”

Sebuah anggukan tanpa suara.

Dengan lembut aku mengusap tetesan darah dari keningnya. Lukanya tidak terlalu parah, akan lebih baik jika aku membawa desinfektan bersamaku. Sedikit noda merah membekas di dahinya. Aku menundukkan kepala, walau aku tahu itu tidak perlu aku tetap melakukannya.

“Maafkan bocah nakal itu, aku akan memarahinya setelah ini.”

Akhirnya suara selain diriku terdengar, tawa kecil samar-samar, kembali ia menyunggingkan bibir, “Tidak apa….” Suara yang kecil, terdengar samar di huruf-huruf awal kalimat yang ia ucapkan. Aku kembali mengantungkan sapu tanganku dan mengambil tas yang kugeletakkan. Untuk terakhir kalinya aku memperhatikan lagi orang yang bergeming di hadapanku. Pakaiannya sangat tertutup, kain hitam menyelimuti seluruh tangan hingga jarinya, kaus kaki sama warna juga menutupi setiap jengkal kulit kakinya. Kemeja putih polos dengan rok hitam selutut, tongkat kayu yang bersandar, kacamata yang tak tembus. Rambut hitam panjangnya tergerai begitu saja, aku memiliki perasaan warna itu tidaklah alami. Semua tampak normal, hingga aku menyadari bekas jahitan di sekitar pipinya, samar namun aku rasa bocah itu menyadari keanehan itu.

Aku menghela napas, sudah terlalu lama aku di sini. Berbalik, dan yang menyapaku adalah sebuah bogem mentah tepat mengarah wajahku. Aku berhasil menghindarinya dengan bayaran tersungkur di atas tanah yang keras. Aku tidak mengenal pria paruh baya itu, tetapi tatapan mata tajam itu mengatakan dengan jelas amarah yang meledak-ledak. Dengan cepat tangan besarnya menarik kerah bajuku hingga membuatku melayang beberapa senti dari tanah, aku masih dalam posisi duduk. Rantai yang tersentak menimbulkan suara bising, gadis itu berdiri dan berlari pelan menuju pria yang sedang menyiapkan jotosan selanjutnya ke arah wajahku.

“Apa yang kamu lakukan pada Mary?!”

“Tidak ada! Aku gak ngelakuin apa-apa!”

“Ayah, hentikan!” gadis itu melemparkan badan kecilnya ke si pria dan akhirnya aku bisa bernapas dengan benar.

Dengan cepat aku berdiri dan mengambil beberapa langkah mundur. Pria itu melihat ke arah kening si gadis dan mata membelalak itu menatapku, aku sudah siap lari kapan saja. Aku kembali mengambil langkah mundur hingga suara gadis itu kembali terdengar.

“Aku tadi terbentur tiang dan laki-laki di sana membantuku.”

Pria itu memastikan ucapan si gadis dengan wajah menakutkannya, tanpa perlu pikir panjang aku mengangguk berkali-kali mengiyakannya. Aku dapat tahu napas berat telah ia hembuskan, refleks membuatku melangkah mundur disaat ia berjalan mendekat. Tidak diduga, pria dengan sedikit corak putih pada rambutnya itu bisa membuat senyum yang ramah. Apa-apaan ini, beberapa saat sebelumnya lelaki yang mengulurkan tangannya tuk berjabat tangan ini tampak seperti iblis.

“Maafkan aku dan terima kasih sudah membantu Mary,” ia terdengar sungguh merasa bersalah.

Aku membalasnya dengan sebuah senyum canggung.

Pria itu kemudian berbalik dan berjalan mengambil tongkat si gadis yang tergeletak di atas tanah. “Sudah aku bilang tunggu aku di rumah,” ucapnya sembari menyerahkan pemandu jalan satu-satunya bagi gadis itu. Seharusnya itulah terakhir kalinya aku bertemu dengannya.

Tiga hari setelahnya, seminggu setelahnya, sepuluh hari setelahnya, dua minggu setelahnya, sebulan. Di tempat yang sama, di waktu aku berjalan pulang. Hanya meliriknya, memandangnya, aku tidak pernah menyapanya. Entah kenapa, kakiku berjalan menghampirinya, mengeluarkan suaraku, dan kepalanya menengadah.

“Apa kamu masih diganggu sama anak itu?”

Ia menggeleng.

“Aku kira orang tua itu akan melarangmu ke sini lagi.”

Ia mengangguk.

“Jadi?”

Sepasang kaki itu mengangkat tubuhnya dan kepalanya menuduk, “Maaf soal Ayahku kemarin.”

Hanya itu yang ingin disampaikan gadis ini? Dia menungguku hanya untuk mengatakan itu? Tanpa kusadari aku sudah membuat suara tawa, mulut gadis itu sedikit terbuka dan ia bingung harus melakukan apa. Setelah aku benar-benar puas tertawa, ayunan kosong yang tersisa kujadikan tempat istirahat. Ia menoleh ke arahku yang sedang berayun kecil memuaskan rasa nostalgia. Seseorang berjalan kemari, kali ini ia tidak terlihat marah atau menyiapkan tinju.

“Apa kamu sudah mengatakannya?” ucap pria itu.

Anggukan si gadis terlihat lebih bersemangat ketimbang sebelum-sebelumnya. Pria itu beralih memandangku. Ia tampak ingin memastikan sesuatu, apa pria ini semacam peramal? Aku menghampirinya dan tanpa sepatah kata keluar dari mulutku pria itu mulai bertindak. Ia menepuk pelan bahu si gadis dan membisikkan sesuatu pada telinganya. Aku rasa ia tampak bingung dengan perkataan pria itu namun tetap menurutinya. Dipandu oleh tongkat miliknya, gadis itu berjalan pelan keluar taman, meninggalkan aku bersama ayahnya.

“Aku sarankan untuk mengurungkan niat itu.”

Menelan ludah, ia memberiku pilihan, aku rasa ia memang orang yang baik. Sebenarnya aku berbohong, aku tidak mengharapkan malam itu menjadi pertemuan terakhir. Sebulan ini aku mencari latar belakang gadis malang itu. Siapa dia, apa yang terjadi padanya, dan siapa orang ini. Tidak banyak yang kudapatkan, aku masih berada di depan pintunya saja. Bagi seorang penyelidik ulung menyadari bahwa anaknya diselidiki oleh bocah SMA amatir sangatlah mudah. Pria itu mengeluarkan satu kotak dari kantong jasnya, mengambil sebatang, dan membakarnya.

“Terima kasih, tapi aku tidak bisa mundur sekarang.”

“Bocah nekat,” ucapnya sembari menghisap dan mengeluarkannya, “apa kamu punya banyak waktu? Ceritanya akan sangat panjang.”

Aku mengangguk.

Di taman yang sepi, lelaki itu mulai bercerita. Itu bukanlah kisah hantu tapi membuatku merinding berkeringat dingin. Siapa dia, bagaimana ia bertemu dengan si gadis yang sekarang anaknya, dan kehidupan mereka setelah itu. Seharusnya aku melangkah mundur, menghilangkan niatku, tidak pernah menghampirinya atau berbicara dengannya. Seharusnya, tapi tidak. Perutku mual, keringat dingin mengucur deras, tanganku tidak berhenti gemetar, perasaan aneh mulai bergejolak dalam diriku. Pria itu menyadari keanehan yang kurasakan dan menepuk pelan bahuku, “Sudah kubilang kamu akan menyesalinya,” gumamnya pelan hampir tak terdengar.

“Kalau kamu ingin pergi sekaranglah waktunya. Aku tidak ingin dia berharap dan tersakiti lagi. Gadis itu sudah merasakan terlalu banyak rasa sakit daripada yang kita rasakan.”

“Ia memiliki hak untuk bahagia,”

“Begitulah.”

Aku sudah menetapkan hati.