#Slice of life 

Tetangga


“Sudah makan?”

Sembari menggaruk belakang kepala aku menggeleng canggung.

“Sudah kuduga. Apa pekerjaanmu sudah selesai?”

Aku mengambil wajan yang ia bawa dan mengantarnya menuju ruang tamu sekaligus kamarku, “Sedikit lagi, kurasa.”

Tanpa menghentikan tawa ia mengambil dua mangkuk dan menaruhnya di atas meja. Tempat ini memang diperuntukan untuk satu orang, akan sangat susah mencari napas jika ada tiga orang atau lebih di sini. Kami duduk berhadapan dan dengan cekatan tangan itu menyendok kuah hangat di dalam wajan yang ia bawa dan menuangkannya ke mangkukku. Seharusnya waktu bunga bermekaran segera tiba, tapi angin dingin masih terasa. Penghangat ruangan yang berada di dekat punggungku, sup nikmat yang memanaskan bagian dalam tubuhku. Sekarang aku baru merasakan efek samping terlalu lama di depan layar. Bagai ranting musim dingin, aku merasa akan ada tulang yang patah jika aku bergerak tiba-tiba. Kondisi ini berbeda dengan orang di seberang ku, yang telah meninggalkan mangkuknya demi mencari benda yang bisa menghidupkan televisi kecil di dekatnya.

Aku rasa ada saja orang yang tidak dipengaruhi musim, baik yang selalu galau bagai daun musim gugur, atau yang ceria bak matahari musim panas. Orang ini adalah yang kedua, bisa dihitung jari momen aku tidak melihat senyumnya. Itu bukanlah bagian dari dirinya, tetapi juga bagian dari dirinya. Tiada “Kabuki” tanpa adanya topeng, semacam itulah. Suara wanita penyiar pagi terdengar dan tangan itu kembali menyuap cairan panas penuh cita rasa ke dalam mulut kecilnya. Ternyata pagi, ya.

Tiada lagi tersisa, dan kami bersandar kepada ranjang sembari melihat seorang pria dengan micnya. Masih acara berita, wartawan itu sedang berada di terminal yang berhenti dikarenakan salju, ia mewawancarai seorang siswa yang gelisah dikarenakan ujian. Shyna, nama yang enak diingat. Aku mengambil beberapa bungkus cokelat dari atas meja dan memberikan dua untuk orang di sebelahku. Tanpa sungkan tangan itu membukanya dan melahapnya dalam satu gigitan. Aku beri tahu ini cokelat batangan, bukan begitu cara makannya.

“Bagaimana dengan kegiatanmu? Lancar?”

“Ayolah, musim dingin seperti ini jarang orang bakal datang. Apa kamu merasa terganggu?”

“Aku sudah mengatakannya, tidak. Lagipula aku punya itu,” aku menunjuk ke arah alat berbentuk dua gelas yang terhubung satu sama lain dan dapat mengeluarkan suara yang ada di atas mejaku.

“Tetap saja aku merasa bersalah sebagai tetanggamu,” ucapnya sembari menepuk kedua belah tangan selayaknya menyembah.

“Tidak perlu, kalau gitu aku juga merasa bersalah karena selalu direpotkan soal makanan.”

Senyum lebar itu kembali terukir di wajahnya. Aku kembali melihatnya dari ujung jari kaki hingga helai rambut terakhir, “Habis kerja?”

Ia mengangguk, “Setelah selesai aku langsung memanaskan sup itu dan membawanya ke sini.”

“Gak lelah? Istirahat aja dulu.”

Ia menggeleng, “Hari ini lebih sedikit daripada biasanya, aku masih punya banyak tenaga!”

Aku mengambil sesuatu dari bawah kasur dan menaruhnya tepat di hadapan orang itu, senyum lebar di wajahnya semakin melebar. Mungkin tidak ada yang menyangka orang sepertinya senang dengan permainan semacam catur yang kupunya ini, awalnya aku juga begitu. Kami sudah bersandar pada dinding yang berlawanan cukup lama, tidak aneh jika mengetahui satu atau dua kesenangan masing-masing.

“Aku akan membereskan itu dulu,” jari telunjuknya mengarah kepada sepasang mangkuk kosong.

Aku mengangguk.

Kami seri, dari empat permainan. Orang ini tidak bercanda soal ia memiliki tenaga dan waktu luang. Tangan kurus miliknya menggerakkan sebuah bidak, tentu aku sudah memiliki rencana untuk menanganinya. Tidak ada satupun di antara kami yang bisa dibilang sebagai “juara kampung” dalam olahraga yang membutuhkan kinerja otak lebih banyak ini. Untuk menghabiskan waktu, kami akan berbicara hal lain pula.

“Masih kuliah?”

“Tentu saja! Kau pikir untuk apa aku masih tinggal di tempat ini?”

Ia tertawa pelan, “Kamu sudah dapat pekerjaan yang bagus, kan?”

“Tetap saja mereka bersikeras meminta kertas itu,” aku menggerakkan Kuda.

“Mereka? Aku paham, keras kepala seperti biasa.”

“Begitulah, masih tidak ada yang berubah sejak terakhir kali mereka datang ke sini.”

“Waktu itu benar-benar bikin kaget, untung tidak ada siapa-siapa,” ia mengorbankan pion, “aku tidak menyangka mereka akan menggendor pintuku tuk menyapa saja.”

“Atas nama orang tuaku, aku minta maaf.”

“Mereka memberiku oleh-oleh, jadi tidak apa. Oh, hap!” Kuda miliknya melompat dan memakan pionku.

“Soal itu…”

“Kamu sudah tahu jawabanku, kan?”

“Tapi, apa kamu yakin? Gajinya cukup memuaskan dan lebih aman ketimbang sekarang.”

“Benar juga, kenapa ya aku menolaknya? Tidak ada yang menahanku padahal. Aku tidak menggunakannya, aku selalu menjaga hubungan agar tidak terlalu dekat, seperti aku sengaja melakukannya agar bisa keluar kapan saja.”

“Kalau begitu-”

“Tapi aku rasa tidak sekarang, maaf. Aku senang kamu selalu menawariku.”

Aku tahu bagaimana dia bekerja, tetapi tidak dengan alasannya. Bukan karena uang, bukan pula karena nafsu. Jadi apa? Entahlah, aku masih belum menemukan jawabannya. Apa yang sebenarnya dia cari, sejak kapan ia mencarinya, dan sampai mana? Senyum itu muncul dibarengi jawaban, “Entahlah, mungkin memang benar aku wanita bodoh.”

Permainan kami berakhir remis.

“Kapan orang itu akan datang?”

“Masih cukup lama, enam jam lagi kayaknya.”

“Apa kamu luang?” aku menaruh kembali papan catur ke bawah meja dan mengambil dompet yang ada di atas meja kerjaku. Ia mengangguk, “Ingin diskon?”

“Walau aku bilang iya kamu gak akan memberikannya, kan?”

Ia tertawa, “Mungkin saja, loh.”

“Beneran?”

“Tapi kupotong waktunya,” ia berjalan menuju pintu.

“Ya sama aja kalau gitu,” aku mengikutinya keluar dari apartemenku.

Tujuan kami adalah apartemen sebelahku.