#Mary #Romance #Slice of life 

Kewajiban Kasih


“KENAPA?!”

Semua pasang mata tertuju kepada wanita itu, ia yang telah menghempas meja hingga kopi di cangkirnya tertumpah beberapa tetes. Didorong rasa malu seseorang yang duduk di hadapannya berdiri dan menundukkan kepalanya tuk meminta maaf kepada pengunjung lain. Tatapan itu tidak salah ditujukan kepadaku, sepenuhnya rasa marah tercermin. Aku memintanya tuk kembali duduk tapi bara api masihlah menyala panas. Yang salah? Jelas pria yang tidak bertanggung jawab di depannya, aku.

“Kita mungkin harus menundanya,” ucapku.

“Tapi kenapa kamu bilang bakal membatalkannya?! Aku kira kamu benar-benar serius!” aku bersiap menerima tumpahan cairan cokelat itu ketika jarinya melingkar di cangkir, tapi tidak, ia hanya meneguknya.

“Maafkan aku,” aku tahu hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut ini sejak kita masuk ke kafe ini, “tetapi aku sudah memutuskannya.”

“Membatalkan pernikahan kita?!”

“Bukan soal itu… tapi tentang Mary.”

Matanya yang sedari tadi membelalak galak sedikit melembut, ia menghembuskan napas panjang. Otot-otot di sekitar bahu dan pergelangan tangannya melemas, matanya beralih pandang keluar jendela. Hal ini selalu terjadi, aku suka dengan bagian dirinya yang mengerti pekerjaanku. Meminta maafnya saja sudah keterlaluan egois, aku tidak berhak menahan tangannya tuk masih berpagut padaku. Itu terlalu egois.

“Kasus itu benar-benar mengerikan, bahkan berita lengkapnya hanya diangkat berita malam.”

Aku meneguk kopi yang telah dingin di depanku. Lupa gula.

“Dan ada yang selamat dari iblis di muka bumi itu. Aku tidak bisa berkata apa-apa.”

Entah bagaimana amarah itu telah lenyap di hitam bola matanya. Dari saku celana aku mengeluarkan sebuah kertas. Aku baru menerimanya beberapa hari lalu, dan kepada wanita inilah aku memberitahukannya pertama kali. Aku tidak ingin menyembunyikan sesuatu, aku tidak berhak menyembunyikannya, dia berhak tahu. Jari kurusnya membukanya perlahan, tidak ada yang berubah di raut wajahnya.

“Kamu tahu kita bisa membicarakan ini, kan?” tanyanya dengan nada kecewa.

“Aku tahu,” aku menelan ludah, “tapi setelah mendengar orang tua bajingan itu tidak menerimanya, aku sudah tidak tahan.”

“Apa maksudmu?”

“Gadis itu masih memiliki orang tua, tetapi sudah cerai. Saat mereka tahu kondisinya, si ibu tidak menyembunyikan rasa jijiknya dan menganggapnya telah mati, sedangkan pria kurang ajar itu berpaling wajah dan menyerahkannya kepada kami. Siapa yang bisa menerima itu!”

Aku sadar tanganku telah mengepal dan siap menghantam meja, segera aku menaruhnya di wajah meja dan menarik napas dalam. Aku harap bisa memberikan satu bogem mentah lagi di wajah pria pemabuk itu. Pembicaraan ini membuat tidak satupun dari kami menikmati minuman yang sudah dipesan, rasa pahit yang diberikan telah menjadi asam. Masih tersisa setengah, kurasa itu tegukan terakhirnya.

“Sebenarnya aku tidak ingin kehilangan harapan dengan hubungan kita,” aku tahu apa yang ia maksud, aku sudah siap menerimanya.

“Maafkan aku karena telah mem—”

“Aku ingin bertemu dengannya, Mary.”

Seketika aku menengadahkan kepala, ia memperlihatkan senyum simpul, “Apa maksudmu?”

“Aku ingin tahu anak yang akan kamu, tidak, kita adopsi.”

“Tunggu, yakin?”

“Apa kamu ingin aku mundur?”

Aku menggeleng sekuat tenaga, “Tentu saja tidak!”

“Kalau begitu bagilah beban di pundak itu kepada tunangamu ini,” memang benar simpul seorang wanita yang jarang tersenyum terlalu mempesona, “sekiranya kapan aku bisa mengunjunginya?” Dengan cepat mataku melirik pergelangan tangan, “Sekarang bisa, tapi…”

“Tapi apa lagi?”

“Aku benar-benar ingin kamu bersiap. Aku serius.”

Ini pertama kalinya aku berkunjung ke bangunan serba putih dan menakutkan bagi beberapa orang. Mengikuti langkah kaki dari pria yang sudah memintaku tuk mempersiapkan diri sekurangnya empat kali ini, aku berakhir di penghujung lorong. Karena pekerjaannya, aku mau tidak mau harus mengikuti berita terkini dan sedikit menyelidiknya. Satu-satunya korban selamat dari kasus pembunuhan tersadis negeri ini, aku tidak mengharapkan gadis riang akan berlari memelukku ketika melangkah masuk. Nama, usia, dan kondisinya tidak boleh dipublikasikan kepada publik, mungkin saja aku akan menyesali apa yang di balik pintu ini. Aku menelan ludah.

“Kamu bisa mengurungkan niat itu sekarang,” ucap seorang pengecut yang aku sendiri terkadang malu menyebutnya kekasih.

“Apa kamu sebegitunya ingin putus dariku?”

“Ia mungkin sedang memandang keluar sekarang…” pria itu tiba-tiba menggumamkan sesuatu.

Pintu kamarnya bergeser, setengah badannya telah berada di dalam kamar. Ia memintaku tuk menunggu sebentar, aku menyadari telapak tanganku lebih berkeringat daripada biasanya. Syarat aku bisa masuk telah diberikan, mungkin ini langkah paling berat yang pernah kubuat setelah kencan pertamaku. Kasurnya tetutupi oleh tirai di segala sisi, sebulan di tempat ini aku akan keluar dengan kebencian akan warna putih. Pria itu sudah duduk di salah satu kursi yang ada, dan—tersenyum.

“Ibu?”

Air mata menetes turun, seluruh badanku gemetar hebat, aku mencoba tuk menahan suaraku dengan menutup mulut yang mengigil ini. Tidak ada cerminan diriku di bola matanya, ia tidak pula bisa melihatku, hanya memandang. Jahitan baru yang membekas disekujur wajah mungilnya, warna kulit yang tidak kontras, tiadanya daun telinga di samping kepalanya. Perban membalut sekujur tubuhnya, tangannya tidaklah buntung di sendi melainkan di pertengahan lengan atasnya, kurasa tiada pula yang terbujur di atas kasur selain bagian paha atasnya. Dan ia tersenyum, tersenyum… melihatku… dengan senyuman…

Aku dapat merasakan kehangatan dari punggungku, lelaki itu mencoba tuk menenangkanku. Si gadis memiringkan kepalanya, aku bersyukur tidak mengenakan banyak kosmetik saat ini. Aku berpaling ke lelaki yang telah melihat kondisi lebih buruk si gadis, ia memberikan tatapan iba yang tak perlu lagi dipertanyakan. Kepala yang awalnya menengadah itu turut turun seiring aku mengambil duduk di kursi yang tersisa. Dengan lengan kirinya ia mencoba tuk menggapaiku, aku mendapat syarat dari pria di sebelahku tuk memegangnya.

“Apa ini Ibu, Ayah?”

“Ya, Mary, dia Ibumu.”

Senyum itu semakin merekah, aku dapat mendengar napas yang tidak teratur karena rasa senang itu. Aku dapat merasakan kehangatan darinya, gadis ini masih hidup. Dengan kondisi yang menyedihkan seperti ini, ia masih hidup, jantungnya masih berdetak, darahnya terus mengalir, napasnya saling berganti. Jujur, aku tidak tahu apabila jiwa ini bertukar tubuh dengannya. Aku akan tiada berdaya tuk mengakhiri hidup, menikmati hidup, dan terus hidup. Tidak mungkin aku akan membuat senyum seperti yang dibuat gadis ini sekarang. “Dirinya adalah gadis paling pemberi yang pernah kutemui,” memang benar perkataanmu.

“Apa Ibu menangis? Apa Ibu sedih?”

Segera aku mengusap air mata yang tersisa dengan tangan kiriku, “Tidak, Mary, Ibu senang, kok, terlalu senang sampai menangis.”

Badan kecilnya sedikit melompat, “Aku senang Ibu senang!”

Kulepaskan genggamanku, berdiri dari kursi, mencondongkan badan, dan mendekap gadis kecil ini dengan erat. Ia memiliki rambut pirang yang indah, warna penuh harapan. Badannya yang kecil dan terlihat lemah, sebenarnya jauh lebih kuat dari pria berotot manapun. Aku dapat merasakan deru napas, kehangatan tubuh, detak jantung, dari anak yang telah memanggilku “Ibu” ini. Ia menengadahkan kepala, ia tidak tahu raut wajahku sekarang dan memberikan wajah bingung, aku mengelus pelan rambut halusnya.

“Ibu… tidak akan pergi… lagi, kan…?”

Kembali, aku tidak bisa membendung derasnya air yang mengalir dari mata ini, “Ibu akan di sini, tetap di sini, di sisi Mary.”

“Ibu…”

Aku tidak tahu ia telah terlelap beberapa saat setelahnya, bahkan kelopak matanya tidak lagi ada. Membaringkan tubuh kecilnya dengan penuh kehatian, kakiku telah menyerah dan menjatuhkan tubuhku ke atas kursi. Aku berbalik menghadap pria yang sedari tadi diam, melemparkan badanku padanya, memendam suara tangisanku pada dadanya agar tak membangunkan si gadis. Tangan besarnya mengelus pelan punggungku, tidak menghentikanku tuk meneteskan air mata, memintaku tuk mengeluarkan segalanya. Aku adalah wanita yang egois. Gadis itu tersenyum, tapi aku menangis untuknya. Gadis itu bahagia, namun aku bersedih karenanya. Nalar anak-anaknya masih belum tahu apa yang telah dilakukan seseorang pada tubuh kecilnya itu.

Hari itu aku menangis lebih banyak ketimbang tahun-tahun yang telah kulewati.

“Untuk biaya perawatannya akan ditanggung pemerintah, begitu juga kebutuhannya tuk beberapa tahun ke depan. Tetapi setelah itu aku yang harus merawatnya, mungkin selama aku masih bernapas. Aku hanya ingin Mary menikmati hidupnya, setidaknya tidak mengalami hal menyakitkan lagi. Ia sudah melewati neraka dan kembali, penderitaan yang ia rasakan berlipat kali lebih banyak dariku. Dia berhak untuk bahagia.”

“Kalau begitu mari beri dia kebahagiaan. Aku akan menjadi Ibunya.”

“Apa kamu yakin? Merawatnya akan sangat berat.”

“Apa orang yang selalu makan mie instan berhak berkata seperti itu?”

“Geh,”

“Saat ia memanggilku Ibu ada perasaan aneh yang muncul. Aku ingin melindunginya, melihat senyumnya lagi, melihatnya tumbuh menjadi gadis yang kuat nan menawan. Masalah biaya aku akan kembali bekerja, aku juga meluangkan waktu yang banyak untuknya. Gadis itu sudah memanggilku Ibu, mana mungkin aku bisa menolaknya, kan?”

“Dasar wanita keras kepala. Memang benar Mary akan lebih bahagia dengan adanya kamu, Ibu.”

“Ayah juga harus semangat kerjanya kalau gitu.”