#Slice of life 

Mari Bertemu di Perkumpulan Penyihir


“Apa anda yakin tidak diberikan alamat yang salah?”

“Meragukanku?”

“Tentu saja tidak, tidak pernah sekalipun perasaan itu muncul di hati saya. Hanya saja…”

Wanita itu menyingkap kerudung hitamnya, rambutnya tak lagi tergerai seperti waktu itu, tetapi hitamnya tidaklah memudar. Aku tidak tahu alasan sebenarnya ketika ia memintaku tuk memotongnya, “Aku ingin berganti suasana,” itulah jawaban singkatnya. Walau begitu paras cantik nan memesonanya tetap menakjubkan dan tidak akan pernah berubah. Ya, baik waktupun tidak berdaya di hadapannya.

Sebuah pohon tua raksasa dengan rongga di tengahnya, tak lagi berdaun, sekedar menunggu hari ia tumbang. Berjalan perlahan mendekati rongga setinggi dirinya, dengan tenang dan lemah ia mulai merapal. Sebuah pintu muncul, aku baru paham maksud dari perkataannya beberapa saat kemudian. Karena apa yang kulihat berbeda, aku tidak dapat mengetahui keberadaan pintu yang sudah ada sejak tadi itu. Ia menoleh, sepasang mata amethyst itu memberi syarat untuk mempersempit jarakku dengannya. Kuberikan tongkat yang telah ditugaskan kepadaku tuk menjaganya kepada wanita itu, ia mengambilnya dan mengetuk pelan pintu dengan tongkat tuanya.

Terbuka. Suara yang seharusnya tidak terdengar di tengah-tengah hutan bermunculan. Tawa anak-anak, cangkir yang beresonansi waktu bersulang, puluhan langkah kaki, bentuk keramaian dari sebuah pesta. Cahaya menyelimuti tubuh langsingnya yang berada di ambang pintu. Aku mengikuti langkahnya sebagaimana anjing mengikuti tuannya lakukan, melintasi ruang lain, berpindah dari hutan tiada kehidupan ke ruangan luas nan ramai. Tanpa kusadari sebuah mantel dan kerudung telah dilemparkan padaku, aku menangkapnya dengan perasaan terkejut dan melipat seadanya, kembali wanita itu berjalan di atas putihnya keramik.

Pertemuan Penyihir, namanya sudah menjelaskan maksud acara ini. Diadakan setiap seratus tahun, para penyihir dari penjuru tempat berkumpul di lokasi tertentu untuk saling berbagi cerita atau hanya bersenang-senang. Tuanku, wanita yang sedang mengobrol santai dengan seorang Harpy, mendapatkan undangannya tujuh hari lalu. Dengan hormat aku membungkukkan badan, menolaknya, tetapi dengan kuasanya wanita itu memaksaku untuk ikut. “Kamu akan belajar banyak di sana, dan siapa tahu kamu bisa menggantikanku.”, aku bisa mengerti soal pengalaman, tetapi masalah menggantikannya dalam acara seabad sekali, rasku tidak memiliki umur sepanjang itu.

“Jadi, yang mana pemilikmu? Harpy? Succubus?”

Aku menoleh dan menemukan seorang pria paruh baya dengan janggut putih tipisnya, “Yang kedua.”

“Aku turut berduka. Pasti melalahkan bersamanya,” ucap pria itu sembari meneguk segelas gin berwarna merah.

Aku menggeleng, “Tidak juga, hanya seminggu sekali.”

“Heh?!” wajar jika ia terkejut, “Kukira keturunan dari Lilith bakal sangat ganas, enam jam sekali sekiranya.”

“Dapat dipastikan saya akan kering,” ucapku sembari tertawa kecil.

Tentang siapa pria yang sedang tertawa sembari menikmati minumannya ini aku sendiri tidak tahu, walau begitu aku merasa baik-baik saja berbicara dengannya. Apa karena kami berada di garis nasib yang serupa? Menjadi keturunan dari makhluk yang disebut “manusia” tetapi dikucilkan dan berlindung di bawah makhluk berbahaya yang mereka panggil “penyihir”. Aku bukan sendiri di tempat ini, yang dibuang, diinjak, dipukul, dilempar batu hingga meneteskan darah segar oleh mereka. Mereka memiliki cerita mereka sendiri, bagaimana mereka bertemu penyelamat mereka, tuan mereka, guru mereka, dan bahkan serpihan hati mereka. Hal ini cukup menggelikan, tetapi Tuan memang pernah mengatakan soal salah satu kenalannya yang menjalin kasih dengan manusia. Sungguh bodoh.

“Bagaimana dengan anda sendiri?” aku menoleh ke arah pria yang telah mengisi gelasnya kembali.

“Pemilikku adalah wanita di sana,” seorang Cambion, tetapi aku tidak melihat adanya ciri khas iblis darinya. “Yang berbeda hanyalah umur, sisanya sama seperti manusia biasa,” jelasnya.

Aku mengambil seteguk minuman yang telah kupesan. Memang benar kata Tuan, aku tidak cocok dengan minuman keras. Yang ada hanyalah rasa pahit dan pedas, padahal aku sudah meminta yang paling ringan. Walau tidak sopan, aku rasa aku tidak akan mengambil tegukan lagi. Langkah kaki terdengar mendekat, seseorang itu mengambil duduk di sisiku yang kosong. Aku menyapanya dengan senyuman tetapi ia memberiku wajah terkejut. Rambut pirang panjang nan indah, mengenakan gaun hitam polos, biru bola matanya memancarkan kesedihan.

“Apa kamu bisa melihatku?” tanya penyihir itu.

Aku mengangguk, “Kurang lebih.”

Sebenarnya tidak, aku tidak bisa melihat. Itulah alasanku dibuang, itulah alasanku berada di hutan itu, seorang bocah dengan luka disekujur tubuhnya. Satu hal yang kuharap, kematian. Kematian yang tidak menyakitkan untuk seorang anak kecil, kematian yang tenang. Aku tidak tahu siapa saja yang telah melemparkan batu padaku, siapa yang telah mencambuk punggung kecilku, siapa yang telah meludah wajahku, aku tidak bisa melihat wajah mereka. Waktu itu aku hanyalah seorang anak kecil, yang dapat melihat kekejaman manusia tapi tidak dengan indahnya dunia. Hingga, tangan dingin miliknya memeluk tubuh kotorku.

Dengan suara merdunya ia memberiku nama, memberiku perintah, memberiku tujuan hidup. Dirinya lah yang disebut kejahatan oleh manusia, tapi bagiku sosoknya adalah bukti kebaikan itu sendiri. Sayapnya telah melindungiku, tangannya telah merawatku, aku ada karenanya. Dan, kepada diriku yang sudah dibebani oleh ketidakmampuan dalam membalas semua perbuatannya, ia memberikan pengelihatan. Aku bisa melihat, tangan kurusnya, lekuk tubuhnya, rambut hitamnya, ungu bola matanya, dan senyum yang ia berikan waktu kumenangis haru dalam peluk hangatnya.

“Begitukah, jadi bagaimana cara kerjanya cincin itu?”

“Semua yang dia lihat adalah ilusi dunia kita, benda itu akan terus memperlihat ilusi kepadanya dengan menyerap energinya. Manusia biasa pasti akan lelah jika terus menggunakannya, tapi tidak dengan bocah itu. Membuat alat itu benar-benar melelahkan, kau tahu?”

Wanita bersayap burung itu tertawa terbahak-bahak, “Tapi memang yang diharapkan dari keturunan langsung Lilith, seorang Succubus jenius. Aku tidak menyangka kamu bisa membuat orang buta melihat.”

“Berhentilah menyebut nama wanita itu,” aku menepis tangannya yang ingin menyentuh jubahku.

Tawa wanita itu berhenti, wajahnya tampak lebih serius sekarang, “Tapi ada efek sampingnya, kan?”

“Dia adalah sasaran empuk dari sihir ilusi dan dia tidak bisa belajar sihir. Entah bagaimana cincin itu menyerap semua energi yang ia keluarkan untuk merapal, bisa dibilang ia hanya manusia biasa sekarang.”

“Selain sebagai alat untukmu bertahan hidup, aku tidak melihat keuntungan dari memelihara bocah itu.”

“Awalnya aku juga berpikir seperti itu, tetapi…” aku melirik ke arah bocah yang sedang berbicara seru dengan penyihir lain itu, “ia cukup terampil dalam pekerjaan rumah.”

“Begitukah,” ia meneguk alkohol dalam gelas kaca di tangannya, “tetapi aku dengan kamu hanya melakukannya seminggu sekali, kenapa?”

“Geh, dari mana coba kamu tahu itu?!”

“Bocah itu mengatakannya,” ucapnya sembari menunjuk peliharaanku.

“Aku harus memberi pelajaran kepada anjing sialan itu, jadi sampai nanti.”

Tidak salah lagi, aku benci acara perkumpulan penyihir ini.