#Romance #Changed POV 

Menjadi Diriku


“Maaf… apa kamu bisa mengulanginya?”

“Hah?! Kamu benar-benar meminta seorang gadis untuk mengulang pernyataan cintanya?!”

“Bukan itu,” tanganku menyembunyikan wajahku yang mulai memanas, “aku masih belum percaya. Itu saja.”

Bola matanya berkaca-kaca, apa yang ada di genggaman kedua tangan kecilnya mulai remuk karena perasaan yang meluap. Tidak salah lagi aku adalah laki-laki kurang ajar, menyuruh seorang gadis yang sudah mengeluarkan seluruh keberaniannya tuk mengatakan hal memalukan itu sekali lagi. Sebenarnya aku tidak secara langsung memintanya mereka ulang adegan sebelumnya, hanya saja aku butuh waktu untuk mencerna semua ini. Tentang apa yang sudah dikeluarkan mulut kecilnya, tentang siapa dirinya, dan apa yang ia rasakan.

Aku masih ingat dengan jelas wajahnya, sosok yang termenung sendiri di taman kecil rumah sakit. Berpakain putih polos, rambut kecokelatan yang dulu panjang miliknya terkibas lembut diterpa angin. Nama, nomor kamar, atau alasannya berada di sana, aku tidak tahu. Hari pertengahan minggu aku menyapanya, mengambil duduk di sebelahnya, membuka pembicaraan. Awal mula kami bertukar kalimat adalah dari kumpulan kertas yang ada di tangannya waktu pertama kali aku ke tempat dengan bau obat-obatan yang pekat itu. “Aku baru mulai membacanya,” jawabnya sembari melempar senyum hangat, sejak saat itu, di hari pertengahan minggu, setidaknya satu jam waktu hidup kami diisi keberadaan sosok masing-masing.

Dan gadis itu—yang telah memotong pendek rambut lembutnya—berada di hadapanku, telah menyatakan perasaannya yang tidak kutahu, dan sepertinya akan menyatakannya lagi karena kebodohanku. Rupa wajahnya tetaplah sama, tentu saja, hanya saja atmosfer yang ia berikan cukup terasa perbedaannya. Bagai bulan purnama dengan matahari senja. Apa karena ia telah sembuh? Mungkin begitu, ia tampak lebih hidup, rona merah pada pipinya, sedikit tetes keringat di keningnya, sesuatu yang tidak pernah kulihat dari gadis di bangku taman itu. Mayat hidup, jujur itulah gambaran yang bisa kuberikan kepadanya.

“Aku akan mengulangnya…” gumam gadis itu memberiku kesadaran.

“Tunggu sebentar, lupakan soal itu! Maafkan aku!” sedikit membungkukkan badanku sebagai rasa bersalah.

“Te-terima kasih. Jadi… apa kamu bisa menjawabnya?”

Aku tidak memiliki alasan tuk menerimanya, begitu pula tuk menolaknya. Tidak ada larangan yang diberikan padaku tuk menjalin hubungan dengan lawan jenis, tapi tidak ada keuntungannya pula. Aku tidak memiliki sesuatu untuk membalas perasaan si gadis, tapi aku tidak bisa semudah itu menghancurkannya. Kami menuntut ilmu di tempat yang sama, tapi tidak duduk di ruangan yang sama. Akan canggung jika bertemu dengannya di kantin atau aula. Pipinya bagai tomat matang, bola matanya bergerak tak tentu, entah bagaimana aku paham rasa gugup itu. Aku tidak percaya dengan namanya cinta pada pandangan pertama, perasaan itu akan muncul dan tumbuh seiring waktu yang dihabiskan. Itulah yang kupercaya.

“Kalau kamu tidak masalah dengan laki-laki sepertiku.”

Gadis itu membuat suara tertahan dan berbalik dengan cepat, “Aku berhasil, kakak…” gumamnya yang hampir tak terdengar di lorong sepi ini.

Kami tidak berjalan berdampingan, ia tertinggal beberapa langkah, aku sudah mengurangi kecepatan langkahku. Entah ia memang sengaja menjaga jarak atau jalannya lambat, ada ruang kosong cukup besar untuk sepasang muda-mudi dengan status pacaran. Sesekali aku melirik dari ekor mata, jari-jari kurusnya masih menggenggam kertas itu. Semacam jimat? Atau ditujukan untukku? Akan sangat susah untuk membacanya jika ia terus menggenggam erat kertas itu. Langkahku berhenti, aku menahan tubuhnya sebelum menabrakku, jelas sekali gadis ini melamun sedari tadi.

“Baik-baik saja?”

Ia mengangguk, “Maafkan aku karena melamun.”

Aku menunjuk ke sesuatu yang selalu mengganggu pikiranku, “Surat itu?”

“Astaga, aku merusaknya… ini sebenarnya untukmu,” ia mencoba menghilangkan kerutan pada kertas itu sebisa mungkin dan memberikannya.

Aku mengambilnya dan menaruhnya ke dalam saku celana, “Aku akan membacanya malam ini, tidak apa, kan?” “Tentu saja, lagipula surat itu ditulis untukmu.”

Ditulis? Apa maksudnya? Apa mungkin dia masih gugup? Aku rasa aku tidak perlu membahas ini lebih lanjut. Kami kembali berjalan, tetapi kali ini ia mengejar dan kami berdampingan. Sesekali aku menangkapnya sedang melirik ke arahku, di saat itu mata kami saling bertemu dan wajah masing-masing segera berpaling karena malu. Aku tidak mengharapkan dia sebagai gadis yang energik atau semacamnya, tetapi ketika dua diam bertemu maka hanya hening yang tercipta. Aku harus mengatakan sesuatu, mungkin soal pembicaraan terakhir kami.

“Apa kamu sudah menyelesaikan buku itu?”

“Buku itu… ah, buku itu. Ya, aku sudah menyelesaikannya.”

“Bagaimana menurutmu soal akhirnya?”

Gadis itu tidak segera menjawab, kepalanya sedikit menunduk, ia seperti sedang menyusun kata-kata, “Aku tidak tahu harus mengatakannya bagaimana, ironis?”

“Saat seseorang yang telah kamu selamatkan ternyata adalah malaikat mautmu, tidak salah kata itu yang keluar.”

“Apa itu benar-benar akhirnya? Aku merasa ada yang kurang.”

“Aku sempat mencari tahu soal nama pena penulisnya, Shyna, tapi aku tidak menemukan lanjutan dari buku itu.”

“Begitukah, sayang sekali,” ia tersenyum lembut, senyum yang sama seperti pertemuan pertama kita.

Aku sempat ragu ia bukanlah gadis itu, ternyat keraguanku tidaklah bermakna. Gadis yang tidak sengaja kutemui di rumah sakit sedang melangkahkan kaki berdampingan denganku. Dengan wajah yang hidup, dengan senyum lembutnya, berbicara soal kesenangan kami berdua. Ia gadis yang sama. Tetapi, jika entah bagaimana caranya, gadis yang sedang berbicara denganku ini bukanlah gadis yang sama dengan ia yang di rumah sakit, aku rasa tidak apa. Kenyataannya sesuatu semacam itu tidak akan terjadi, setidaknya di kehidupanku yang biasa ini. Aku harus segera membuang pemikiran itu.

Hari ini kembali ia berbicara soal pria itu, aku dapat melihat sedikit cahaya di matanya, rona di wajah pucatnya, dan senang di nada suaranya. Tanpa mengetahui nama, hanya berbicara mengenai buku yang telah menghubungkan mereka. Selama ini hanya diriku yang ada untuknya. Aku senang ada orang lain yang akan mengenang keberadaannya selain diriku, keberadaan si gadis yang sebentar lagi tiada. Setidaknya ada seseorang selain diriku yang mengingat senyumnya.

Di hari keempat setiap minggu lelaki itu akan menghampirinya, menanyakan kesehatan dirinya sebagai bentuk kesopanan, dan mereka akan mulai mengobrol. Seorang kerabatnya sedang dirawat, karenanya lelaki itu menjenguknya setiap minggu, dan suatu hari tanpa sengaja bertemu dengan si gadis. Takdir sedang bermain dengan mereka berdua, itulah yang ada di pikiranku setiap kali mendengar cerita asik si gadis. Dari lubuk hatiku terdalam aku berbahagia, tetapi aku juga merasa berduka. Baik kepada si gadis maupun lelaki itu. Tubuh kecil nan kurus miliknya telah digerogoti penyakit, saat ini ia hanyalah mayat hidup. Gadis di hadapanku ini adalah kakakku.

“Aku senang memiliki orang lain untuk bertukar pendapat,” ucapnya pelan.

“Maafkan aku karena tidak bisa diajak berbicara soal buku.”

Ia menggeleng, “Tidak apa, lagipula kamu hebat dalam hal lain. Dan, bagiku buku hanyalah cara untuk menghabiskan waktu di ruangan putih ini.”

“Jadi kapan kakak akan bertemu dengannya lagi? Minggu depan?”

Ia menggeleng, namun kali ini matanya berkaca-kaca, “Aku tidak akan bisa bertemu dengannya lagi. Baik minggu depan, atau minggu setelahnya.”

“APA MAK—”

“Karenanya, kumohon kamu berjanji satu hal padaku. Sampaikan perasaan ini kepadanya, dan… tetaplah berada di sisinya. Menjadi diriku.”