#Psychological 

Kita


Di balik senyuman, sebuah kemalangan merangsang dan menjalar.

Di balik tawa, sebuah jeritan menggema di luar nalar.

Di balik kebahagiaan, kesedihan yang gelap mulai merembes keluar.

Kusadar hanya dirikulah yang bisa melihat kebenaran dibaliknya. Kusadar hanya dirikulah yang bisa melihat kebohongan yang menyelimutinya. Sungguh lucu, namun aku tak punya hak untuk menertawakannya. Sungguh menyedihkan, namun aku tak punya kewajiban untuk meneteskan air mata kepadanya. Kita sama, kita sadar bahwa kita sama. Kita sama, kita sadar bahwa persamaan yang menghubungkan kita sangat menyedihkan.

Tangisan, rasa senang yang tak tertahankan.

Rintihan, suara hati yang tak dapat lagi dibungkam.

Kesedihan, kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan itu sendiri.

Dia mengetahuinya, dia sudah merasakannya, namun dia belum menyadarinya. Dia membuatku mengetahuinya, dia membuatku merasakannya, namun dia tak membuatku menyadarinya. Egois, aku tak tahu harus mengatakan apa lagi untuk mendefinisikan dirinya. Bodohnya diriku. Ah… kenapa aku bisa jadi sebodoh ini…?

Beritahu aku, kepadamu aku bertanya.

Katakan padaku, kepadamu aku meminta.

Percayalah padaku, kepadamu aku berjanji.

Di saat kita berpapasan, kita menyadarinya, retakan pada topeng yang kita kenakan. Terlalu sering, terlalu lama, hingga tanpa kita sadari itu menjadi bagian dari diri kita. Sesuatu yang sebenarnya buah dari sebuah keterpaksaan, mempertemukan kita untuk menjilat luka satu sama lain. Hanya disaat kita bersama aku bisa melepaskan topeng itu, hanya disaat kita bersama aku dapat berbicara dengan lidahku sendiri. Sangat menyenangkan, kuakui itu. Bersamamu sesuatu yang hilang dariku mulai samar-samar terlihat, namun sampai sekarang masihlah samar-samar.

Sekali lagi, beritahu aku. Suara langkahmu mulai menghilang.

Sekali lagi, katakan padaku. Punggungmu semakin mengecil dan terus mengecil.

Sekali lagi, percayalah padaku. Suara itu, tak lagi dapat kudengar.

Tak lagi kukenakan topeng itu, tak lagi kurasakan pedih dari luka itu. Begitu pula denganmu, senyum itu memberitahuku segalanya. Aku sudah tak memerlukannya, sesuatu yang menyembunyikan jati diriku. Jika kubuang maka aku akan kehilangan, namun aku belum menyadarinya. Jika ia buang maka ia akan kehilangan, namun ia belum menyadarinya. Itulah kebodohan kami, kebodohan diriku. Kami membuangnya, dan kami pun kehilangannya. Sesuatu yang mempersatukan kami, kami membuangnya.

Dia mengetahuinya, dia membuatku mengetahuinya.

Dia merasakannya, dia membuatku merasakannya.

Dia tak menyadarinya, dia membuatku tak menyadarinya.

Aku sudah menyadarinya, namun entah dengan dirinya.

Sampailah diriku di titik terakhir dari garis hidupku. Tak ada lagi bagi kaki ini melangkah, tak ada lagi yang bisa dipandang mata ini. Bagaimana dengan dirinya, apa dia juga berada di posisi sepertiku? Atau dia sudah berada di posisi seperti ini? Entahlah, tak ada jawaban dari sebuah pertanyaan yang belum pernah ditanyakan. Aku tak bisa melangkah mundur, tak ada percabangan yang bisa kujadikan jalan lain, menolak menerima kenyataan bahwa aku hanya bisa berjalan maju sekarang. Jika dirinya sama sepertiku sekarang, apa dia akan melakukannya? Ah… dia pasti akan melakukannya. Dia sudah melakukannya. Sekarang, tinggal aku sendiri dan langkah inilah yang akan membawaku untuk bertemu dengannya.

“Jika” kau memberitahuku, tinggallah di sini dan genggamlah tanganku selalu.

“Jika” kau mengatakannya padaku, tangan dan dekapan ini tak kan melepaskanmu.

“Jika” kau percaya padaku, kuyakin kita akan hidup dalam kebahagiaan yang tak pernah berlalu.

“Jika”, dan hanya “Jika” yang bisa kukatakan. Karena semua itu hanyalah masa lalu dan harapan hampa belaka.