#Gore 

Pesta Sendiri


“Lagi?” aku langsung kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celana tanpa membukanya.

Melirik ke kalender yang ada di atas meja, tidak salah lagi seharusnya besok malam. Aku tidak menyangka mahasiswa memiliki semangat yang lebih membara ketimbang anak kecil di hari itu. Mereka hanya ingin menghabiskan malam dengan meneguk minuman keras dan seks di sembarang tempat, semua ditutup dengan rasa mual hangover. Aku tidak akan mengatakan kehidupanku menyedihkan karena tidak diisi oleh cinta semalam atau imajinasi melayang.

Aroma kopi memenuhi ruang tamu ini, tiada suara selain langkah kakiku, sudah berapa lama sejak aku mendapatkan keheningan surgawi ini. Bepergian selama tiga hari tiga malam, dengan senang hati aku akan menjaga rumah demi kalian hingga kembali. Membuat malam bertukar dengan siang, memanaskan segala makanan beku yang ada, dan menghabiskan waktu berdua dengan konsol yang sudah lama tidak kusentuh. Aku berterima kasih kepada acara yang mereka sebut Halloween ini, setelah sekian lama aku akhirnya bisa melepaskan hasrat menjadi seorang pemalas tulen. Untuk sekarang menyelesaikan semua tugas adalah pilihan yang tepat, aku ingin dua hari sisanya bebas dengan hal yang berbau kampus.

“Aku harus mengisinya,” gumamku waktu melihat ke cangkir yang kosong.

Bangkit dengan punggung layaknya pria paruh baya di umur dua puluhanku, berjalan menuju kabinet dan menuangkan cairan hitam pekat dari teko ke cangkir kecilku. Suara yang tidak kuharapkan tiba-tiba muncul. Aku mempercepat langkah seiring suara ketukan itu semakin menggila.

“Kalau ingin permen datang bes—” sesuatu menghantam tubuhku seketika membuka pintu.

Seorang gadis kecil, ia melemparkan tubuhnya hingga membuatku kehilangan keseimbangan. Dengan cepat aku mendorong bahunya dan gemetar menjalar dari kedua tanganku, sepasang mata miliknya membelalak seakan-akan ingin melompat keluar, ia mengeluarkan keringat dingin yang aneh, dan… tangannya. Putih dari tulang lengan atasnya terpampang dengan jelas, darah merah dan sedikit potongan daging jatuh mewarnai kayu lantai rumahku. Seperti seekor anjing besar mengoyak tangannya tepat di persendian. Aku segera berlari mengambil perban, meninggalkan gadis yang tidak kutahu siapa mematung di depan pintu.

Pendarahannya tidak terhenti, putih perban berubah menjadi merah darahnya, aku yakin sudah mengikatnya cukup kuat. Wajah kecilnya pucat kesi, aku tidak yakin apa karena kehilangan banyak darah atau karena rasa takut yang luar biasa. Mata lelahnya memandang kosong dinding, sebuah kain yang kuambil telah menyelimuti tubuhnya yang menggigill, apa yang sebenarnya terjadi…

“Kenapa kamu bisa seperti ini?”

Diam bergeming, tidak satupun kata keluar dari bibirnya yang mulai membiru.

“Kakak akan membantumu jadi tolong kasih tau kakak apa yang sudah terjadi,” kataku sembari memohon dengan lembut. Dengan pelan dan sedikit menakutkan gadis itu menggerakkan lehernya, mata yang penuh horor menatap langsung padaku, “Pi…sau…be…sar…di…sa…na…”

Ia mengangkat telnjuk tangan kirinya ke arah barat rumahku. Matanya terasa berat, setelah berkali-kali melawan kelopaknya pun menutup. Pelan tapi masih ada, ia hanya kelelahan. Perlahan aku membaringkan tubuhnya yang bersimbah darah di atas sofa ruang tamu. Berjalan mengambil kunci rumah yang berada di bawah televisi, membuat memo di atas meja berisi kontakku dan pesan singkat, aku mulai berpikir mengingat kembali acara yang diadakan di sekitaran sini. Sesuatu terlintas di kepalaku ketika sampai di lantai dua. Aku bisa mengingatnya cukup mudah karena hal ini cukup aneh, pesta yang diadakan sehari lebih cepat, berjarak beberapa rumah dari tempat ini. Tidak salah lagi itu yang dimaksud gadis berkostum sebagai tawanan itu.

“Untuk berjaga-jaga saja,” aku mengambil sesuatu dari laci meja kamar dan membawanya bersamaku, menaruhnya di saku belakang.

Memastikan gadis itu masih bernapas dan berjalan menuju pintu keluar, aku sudah memberikan alamat rumah ini dan memberi izin untuk masuk begitu saja ke dalam. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi di sana, tetapi untuk seukuran pesta tidak ada suara musik yang terdengar padahal sudah sedekat ini. Kembali aku melihat isi benda yang kubawa, terisi penuh, aku juga membawa satu magasin yang seharusnya tidak perlu. Benar saja, ada yang salah dengan rumah ini. Dari undangan yang kuterima seharusnya banyak suara anak-anak bergema, tetapi tidak satupun terdengar, satu manusia pun. Lampunya menyala terang, mataku tidak berkedip sedetikpun dari salah satu jendela ketika memperpendek jarak. Tidak ada suara, aktivitas, hanya keheningan yang mencekam.

Dengan kaki gemetaran aku berdiri beberapa langkah dari pintu masuk yang anehnya tertutup. Sekali lagi aku melirik ke arah jendela, tidak ada bayangan orang, terdapat sedikit noda aneh yang di bagian dalam kacanya. Setiap kali mengambil langkah detak jantungku berpacu lebih kencang, keringat bertetesan lebih deras, kakiku gemetar lebih hebat. Firasatku mengatakan mengetuk pintu bukanlah hal yang benar sekarang, dan aku selalu mempercayai diriku sendiri. Memutar knop, menekannya, perlahan mendorongnya. Bau besi memenuhi hidungku sebelum mataku menangkap apa yang ada di baliknya. Saat setengah terbuka, sesuatu mengganjal bagian belakang pintu, terpaksa aku harus memasukkan kepalaku dan menemukan sesuatu itu menggelinding menjauh.

Matanya masih membuka, rasa ngeri menatapku, asam lambungku mulai meningkat hingga pangkal leherku, kepala seorang lelaki seumuran denganku sedang bertukar pandang dari lantai. Karena rasa syok aku pun membuka pintu sepenuhnya dan menyapu pemandangan yang dipenuhi satu warna. Merah gelap. Kakiku tidak lagi gemetar, hanya diam layaknya tersemen dengan lantai kayu rumah ini. Hidungku tidak ingin mengambil napas panjang karena dapat memenuhi paru-paruku dengan bau besi dan busuk menyengat ini. Tangan kiriku tidak menempel pada knop pintu, dan tangan satunya sudah memegang senapan di saku belakangku.

Ada sebuah potongan tubuh tanpa kepala, tangan, dan kaki di atas kursi, aku tidak dapat mengetahui kelaminnya karena bagian dadanya telah terkoyak. Darah segar membentuk kolam kecil di bawah kaki sebuah meja, asalnya dari beberapa potongan kepala yang bertumpuk satu sama lain. Entah itu jari yang mana, tangan yang mana, kaki yang mana, semua terhambur di penjuru ruang tamu yang luas ini, tidak lagi ada yang tahu pemiliknya. Terdapat sebuah tubuh tanpa kulit yang masih lengkap, tergantung di atas punggung sofa dengan tulang punggung yang telah dicabut paksa bagai daging filet yang dulu pernah kumakan. Bercak darah telah bersatu dengan hiasan dinding dan lantai ruangan ini, dan dekorasi lainnya telah ditambah oleh potongan daging dan tubuh manusia. Aku tidak bisa menghitungnya, tidak mungkin aku bisa, semua terpisah dan ada beberapa kepala yang telah mengeluarkan isinya berceceran di lantai. Tidak ada suara, tidak ada yang masih bernapas di ruangan ini kecuali diriku yang masih di ambang pintu.

Menelan ludah, aku mengambil langkah dan berjalan melangkahi beberapa potong daging yang ku tak tahu bagian tubuh mana pemiliknya. Melihat pemandangan bak rumah potong ini hanya satu hal yang terus kudoakan dalam hati. Semoga pelaku itu telah pergi dari sini. Memang benar aku sudah menelpon polisi, tetapi aku tidak menyangka kejadiannya akan semengenaskan ini. Tidak, tidak akan ada yang bisa menyangkanya. Aku tahu betul apabila pelakunya sudah melarikan diri akan sangat berbahaya bagiku nantinya, tetapi jika aku bertemu dengannya di sini akan lebih berbahaya. Perutku sudah tidak kuat menahan asam lambung yang semakin meningkat, mentalku sudah mau runtuh karena terus melihat warna menjijikan ini. Akhirnya aku berada di tengah ruangan, dimana seonggok daging tanpa kulit dan tulang punggung berada dan badan tanpa sisanya terbaring.

Di saat aku sudah muak dengan pemandangan ini, sesuatu terdengar, karena keheningan yang mencekam ini telingaku dapat mendengar suara samar itu. Langkah kaki, dari arah tangga di ujung ruangan, yang semakin lama memberi suara berat di setiap gerakannya. Tanpa pikir panjang aku mengambil langkah mundur dengan cepat dan menodongkan senjata yang hanya kugunakan waktu latihan ke sudut ruangan suara itu berasal. Sepatu bot yang tidak luput dari simbahan darah, dan sesuatu semacam tulang panjang berwarna putih bercorak merah di genggaman tangannya yang besar. Sebuah topeng polos tanpa lubang menutupi wajahnya, putihnya telah berubah merah gelap karena darah. Dan di tangan satunya, sebuah pisau daging besar, seperti yang dikatakan gadis malang itu. Aku menarik pelatuk.

Peluru itu membuat sebuah lubang di pahanya, badan besar miliknya berlutut di tanah menahan rasa sakit yang kubuat. Tanpa berbalik aku berlari keluar dari rumah itu dan membuat panggilan darurat lagi, kali ini aku meminta personil polisi yang lebih banyak. Pria berbadan raksasa itu tidak mengejarku. Sebuah mobil putih dengan sirene yang menyala terparkir di depan rumahku, aku dapat melihat gadis itu terbaring lemas di atas tandu.

Esoknya, semua acara Halloween yang kuterima telah dibatalkan, tidak ada satupun yang keluar dari rumah mereka, hal yang sama berlaku bagi mahasiswa-mahasiswa penggila pesta itu. Hujan turun ketika aku kembali dari interogasi yang panjang. Hak kepemilikanku senjata apiku tidak dicabut dan aku akan diminta sebagai saksi kunci untuk pengadilan nanti. Untuk si gadis, ia harus kehilangan seluruh bagian tangan kirinya, tetapi nyawanya tidak terancam. Bagaimana dia bisa selamat masih belum diketahui karena trauma berat yang dia alami masih membungkam mulutnya.

Untuk sekarang aku bisa kembali menikmati keheninganku.

Selamat Halloween, dan bersenang-senanglah.