#Slice of life 

Sebuah Meja Kayu


Tak ada suara yang terdengar, hanya kesunyian menjelang senja yang mengisi kekosongan ruang. Sesekali gesekan antara kulit yang membalik halaman buku terdengar, dari arah ujung ruangan yang bermandikan cahaya jingga. Ia memandang kosong, entah apa yang dilihat oleh kedua mata itu dengan sedikit sayu. Di luar jendela, masih ada beberapa orang yang belum meninggalkan tempat ini. Tawa sayup terdengar di antara mereka, dan ia tersenyum tanpa alasan yang pasti. Suara kertas kembali terdengar, jari-jari lentiknya membalik halaman yang telah ia baca.

Alasan apa yang tetap menahannya berada di sini, entah itu hanya karena keinginan bodoh semata atau hanya sebuah kebiasaaan yang susah tuk dihilangkan. Derit dari meja kayu terdengar, namun tak ada tanda-tanda ia akan segera beranjak dari tempatnya. Langit masihlah jingga, dan ia masih terpaku pada bacaan yang membosankan itu. Baginya—hanya bagi dirinya saja—buku itu lebih menarik daripada kehidupan yang ia jalani, karena itulah jari-jari itu masih membalik halaman demi halaman tanpa telat.

Aku sendiri pernah mencoba membaca buku itu, dan seperti sampul hitam kusamnya aku sama sekali tidak tertarik tuk meneruskannya. Bahkan tak sampai seperempat bagian, aku berhenti. Ia tertawa dan berkata, “Sudah kuduga.” sembari memberi senyum kecil seperti biasa. Entah sudah berapa kali ia membaca ulang buku itu, rasa jenuh tak terlihat di wajahnya sedikitpun. Kali ini, aku ingin membaca buku itu, aku ingin tahu apa yang ia tahu dan belum kutahu.

Sejenaknya ia berpaling dari buku yang ada di genggaman, matanya memandang ke arah meja yang ada di hadapannya. Sebuah meja kayu yang tak jauh berbeda dari yang menopang kedua belah lengannya sekarang. Ekspresinya tak berubah, sedikitpun tak berubah, mata yang memandang tanpa maksud tertentu. Benar-benar wajah itu, aku sangat kesal dengan wajahnya itu. Beberapa saat kemudian ia kembali ke bukunya, membaca kembali sebuah cerita dari seseorang yang sendirian di dunia ini.

Jingga mulai hilang, cahaya mulai redup, dan langit mulai menggelap. Gadis itu masih tidak beranjak dari tempatnya. Tas yang menggantung di samping mejanya tak tergerak sedikitpun, bahkan matanya saja tak pernah meliriknya. Aku tahu kapan ia akan pulang, tidak akan lama lagi suara gesekan antara kertas dan kulit itu akan menyatu dengan keheningan. Senyum kecil muncul di wajahnya, apa dia baru saja membaca sesuatu yang lucu? Tidak, bukan karena buku itu. Ia pasti baru saja mengingat sesuatu, sesuatu yang bisa mengubah ekspresi datarnya itu.

Tak lama ia kembali melirik ke meja yang ada di hadapannya, sekarang pandangannya mencoba tuk menyampaikan sesuatu yang ia rasakan. Kenangan, kebahagiaan, perpisahan? Entahlah, aku tidak tahu sejauh itu. Apa yang ia rasakan hanya dia seorang yang paling tahu. Bola mata hitam dari gadis itu sedikit berkaca-kaca, samar namun aku dapat menyadarinya. Sekarang aku tahu apa yang sedang ia ingat, sesuatu itu membuatku tertawa dalam keheningan ini. Sepertinya waktunya dia pergi telah datang.

Ia menutup sampul buku tua itu dan memasukkannya ke dalam tas yang ada di dekatnya. Rambut panjang yang tergerai bebas menutupi wajahnya saat ia memastikan tak ada yang tertinggal di laci mejanya. Mengeratkan genggaman tasnya, suara telapak kakinya menggema ke seluruh penjuru ruangan. Namun, tak sampai lima langkah ia kembali berhenti, memandang apa yang ada di sebelah kirinya. Pandangannya melembut dan seakan-akan mulai menutup, jari-jari lentiknya mengelus lembut bagian tepi kayu yang telah lapuk dimakan usia. Ia memandang meja itu bukan sebagai sebuah benda, namun sebagai sebuah peninggalan.

Aku berdiri dari tempat aku mengawasinya, menunggunya di dekat pintu masuk. Saat suara langkah kaki kembali terdengar, aku tak tahu apa sebuah senyuman sudah muncul di wajahku. Jingga telah tiada, dan bintang telah menemani bulan menerangi malam. Ruangan ini kembali diisi oleh keheningan semata, namun tidak dengan langkah kaki darinya. Jarak kami semakin mengecil, namun mata itu masih memandang menembusku. Hingga tak lagi ada jarak di antara kami aku pun mengucapkan sesuatu, “Terima kasih.”. Seperti biasa, gadis itu, tidak membalas perkataanku dan berlalu begitu saja. Bukan karena tidak mendengarnya, namun karena tidak bisa mendengarnya. Itulah mengapa terima kasihku tak akan pernah dikembalikan.