#Romance 

Sendiri


Di sekelilingku, di sekitarku, di hadapanku maupun belakangku, semua tampak sama. Udara kering yang berhembus melewatiku, membawa bau bubuk mesiu dan bau karat yang menyengat. Tetapi bau karat yang kucium bukanlah dari besi tua yang ada di dekatku, melainkan dari tumpukan jasad berdarah yang mengelilingiku. Apakah hanya aku yang melihat ini? Apa hanya diriku seorang?

Aku tahu bahwa cahaya yang kulihat sebelum hal ini terjadi bukanlah cahaya harapan, melainkan cahaya yang menghasilkan bayangan keputusasaan. Aku tahu itu, dan aku takut akan itu. Inilah kenyataan, genangan darah merah yang ada di depanku inilah kenyataan. Tubuh yang tak lagi bisa berbicara, tak sanggup untuk mengucapkan kata-kata terakhirnya. Tangan kaku yang tergelatak di atas tanah, layaknya kayu kering yang bisa patah dengan mudahnya. Kenapa? Kenapa hanya aku yang melihat ini?

Sang waktu terhenti di sekitarku, mengunciku dari berpaling dan berjalan pergi. Perisai keangkuhan yang tadinya meneduhiku dari gelapnya awan, sekarang tercerai berai tanpa sisa dan tanpa makna. Sia-sia saja memanggil mereka, membangunkan mereka, ataupun membawa mereka. Mereka sudah mati, tak bernyawa. Hanya jantung inilah yang dapat berdetak, hanya kaki inilah yang dapat berjalan, dan hanya mata inilah yang dapat mengeluarkan tangisan. Berapapun tetesan penuh haru yang kukeluarkan, tak akan pernah bisa menjernihkan genangan darah ini.

Langit hitam kelam dan dataran kering nan gersang. Pedang tanpa tuan yang menancap dalam ke tanah, menembus kerak-kerak bumi yang keras. Senapan tanpa peluru, bergeletakkan disamping tangan yang terbujur kaku. Semua itulah yang kulihat, semua itulah yang ada di depanku, semua itulah yang tersisa dari diriku. Mereka sungguh egois, meninggalkanku sendiri disini. Kenapa aku harus menjadi satu-satunya orang yang bisa menangisi mereka? Kenapa aku harus menjadi satu-satunya orang yang bisa mengingat mereka? Kenapa aku harus menjadi satu-satunya orang yang hidup?

Kulangkahkan kaki ini dengan berat, menggetarkan genangan darah yang tadinya tenang. Melangkahi mereka yang terbaring lemas, dan mencoba untuk tak berpaling lagi. Aku tak ingin terus menyiksa kedua mata ini dengan pandangan keji itu, aku tak ingin. Kulewati segala pemandangan yang tepat berlalu di depan mataku.

Kemanapun aku pergi, semua terus saja berulang. Pemandangan di sekitarku belum berubah, tak ada yang berubah. Walau luka lecet pada kaki kiri ini bisa kututupi, masih saja ada satu luka yang tak bisa kututupi. Luka itu menyiksaku, namun aku harus bisa menahannya. Jejakku membekas setiap kali aku melangkahkan kaki di atas dataran berpasir ini, bukti bahwa diriku masih hidup dan masih bertahan.

Aku tak tahu sudah berapa lama aku berjalan, waktu terasa begitu lambat dengan luka yang ada di kakiku dan beban yang ada di pikiranku. Kuberpaling ke belakang, semua jasad-jasad yang tadi mengelilingiku sekarang tampak kecil semakin jauh kupergi. Walau begitu, tetesan darah masih setia di dekatku. Semakin banyak dan terus mengalir keluar dari luka pada kakiku, darah merah yang masih segar dan berbau karat. Ah… seberapa lama lagi aku harus berjalan…

Malam yang tak kunjung reda, awan yang tak kunjung memutih, matahari yang tak kunjung terbit. Dalam sepi yang membisu ini, jawaban yang kudapat tetaplah sama. Kenyataan bahwa hidupku berasal dari dosa besar, dosa yang mengakibatkan ratusan nyawa pergi dari raganya. Aku terus saja menyalahkan diriku, kenapa aku masih hidup, kenapa aku masih bernapas, kenapa aku masih berjalan, kenapa aku masih menitiskan air mata. Katakanlah padaku, beritahu aku. Apa aku benar atau justru sebaliknya?

Dari kejauhan, aku dapat melihat sebuah gua dengan sebuah pohon tepat disampingnya. Kaki ini terus melangkah menuju arah tempat itu, berjalan lurus kearah jam 12. Tiba-tiba aku mendengar suara dari arah langit, suara itu tepat berada diatasku. Kicauan burung yang membentuk nada-nada yang berurutan, layaknya lagu yang pernah disenandungkan seseorang untukku. Alunan nada yang begitu lembut dan membuai, tetapi juga begitu menyakitkan.

Seorang gadis yang selalu ingin kulindungi, seorang gadis yang selalu bisa membuatku tertawa dalam kebahagiaan, seorang gadis yang selalu menungguku pulang dengan senyuman diwajahnya. Gadis itulah alasanku berada di sini, tempat penuh penderitaan dan kekejaman ini, dialah satu-satunya alasanku disini. ia adalah cintaku, Violet.

Lagu yang sering kau senandungkan, kau titipkan kepada burung-burung yang tak akan pernah kembali lagi. Lagu itu memberiku harapan, alasan, dan semangat. Semuanya, untuk hidup dan berjuang lagi. Aku tak akan menjadikan hari ini hari terakhirku, aku tak akan menjadi tempat ini tempat terakhirku, aku tak akan menjadikan matahari ini cahaya terakhirku, aku tak akan membiarkan semua itu berakhir begitu saja.

Semakin dekat, semakin jelas kegelapan yang ada di dalam mulut gua itu. Aku akan menjadi cahaya yang berjuang untuk bersinar, aku tak akan redup sebegitu mudahnya. Masa bodoh dengan semua keputusasaan yang terus menghentikan langkahku, masa bodoh dengan semua penyesalan yang terus menyeretku, masa bodoh dengan luka yang ada disekujur tubuhku ini. Aku harus bisa hidup dan melihat senyum itu lagi, melihatnya dan terus mempertahankannya.

Kuistirahatkan tubuhku kepada dinding batu yang dingin, kubiarkan tanganku tergeletak lemas diatas tanah yang hitam. Dingin, tanah yang ada dibawahku terasa sangat dingin. Kasar, batu yang kujadikan sandaran terasa sangat kasar hingga menembus kulitku. Dengan luka ini, tanah yang tadinya hitam mulai berwarna merah gelap. Terus mengalir, mungkin saja luka ini telah menembus pembuluh yang ada di pahaku saat ini. Namun aku tak merasakan rasa sakit dari luka itu, karena aku sendiri sudah tak bisa merasakan apa-apa.

Kulihat ujung jari tanganku, terlihat sangat pucat dan menyedihkan. Nafasku mulai tak teratur kembali, terkadang terhenti dan kemudian kembali berderu dengan kencang. Jantung yang tadinya berdegup kencang, sekarang terasa seperti hanya ada sebuah lubang kosong di rongga dadaku. Seluruh tubuhku merasakan kedinginan. Tanganku mulai terasa kaku dan mati rasa, begitu pula kedua kakiku. Perlahan namun pasti, pandanganku mulai memudar dan cahaya pun seakan pergi meninggalkanku sendiri di dalam gua ini. Ah… mungkin saja inilah akhir dari perjalananku.

“Maafkan aku, Violet. Aku tak bisa menepati janjiku padamu, aku tak bisa lagi bertemu denganmu. Bahkan aku tak bisa mengucapkan permohonan maafku ini kepadamu, di depan kedua matamu yang indah itu. Banyak hal yang ingin kulakukan bersamamu, banyak hal yang ingin kukenang bersamamu, banyak hal yang ingin kusampaikan kepadamu, banyak hal yang harus kulakukan untukmu, banyak sekali, terlalu banyak dengan waktu yang sedikit ini. Ingin sekali aku sarapan berdua denganmu, melihat senyum indahmu di pagi hari dan berbicara banyak hal denganmu. Ingin sekali aku berkeliling kota denganmu, membeli banyak hal yang tak kita perlukan dan melupakan sejenak beban kehidupan kita. Duduk berdua denganmu melihat mentari jingga di sore hari, menggenggam tangan satu sama lain dan berbagi cerita yang sama. Ah, terlalu banyak hal yang ingin kulakukan denganmu.”

Alunan melodi pilu yang dimainkan dengan sendu, menyatu dengan senandungmu yang berirama di dalam kepalaku. Menciptakan syair pengantar kegelapan bagiku, menarik cahaya kecil itu pergi menjauhiku. Dari kenangan yang jauh di dalam, kumencoba tuk mengingat kembali wajahmu sebaik mungkin. Membayangkan senyummu yang menyapaku saat pertama kali kita bertemu. Rambut panjangmu menjutai bebas dengan indahnya saat diterpa angin. Indahnya matamu yang menatapku dan betapa manisnya tutur katamu saat berbicara padaku. Bulu matamu yang lentik dan tanganmu yang lembut, membuat tetesan air mata ini terus mengalir deras.

Untuk terakhir kalinya, wajahmu lah yang ingin kuingat. Bukan dataran penuh mayat itu, bukan jua gua gelap ini. Kuingin wajahmu lah yang menemaniku hingga saat terakhir, mengucapkan salam perpisahan padaku dan menghantarkan kepergianku. Kuucapkan “terima kasih” padamu dari tempatku berada, berharap agar kau dapat mendengarnya meski kau tak dapat membalasnya. Kuucapkan “aku mencintaimu” dengan nada lirih dari tempatku berada, berharap agar rasa kasih sayangku dapat tersampaikan padamu dan mampu menyelimutimu dari dinginnya hujan disana. Terakhir, kuucapkan “selamat tinggal” padamu yang sedang menitikkan air mata di bawah payung hitam dan di depan rangkaian bunga-bunga putih. Dan aku hanya bisa terbaring lemas melihatnya.