#Psychological #Slice of Life 

Seratus Hari


Hari 1

Aku akan mati sebentar lagi, lebih tepatnya seratus hari lagi, itulah yang wanita berjubah putih itu katakan di depan kedua orang tuaku. Tidak satupun di antara kami yang menerima perkataannya mentah-mentah. Tetapi sepasang bola mata biru miliknya tetap menatapku dengan iba. Seratus hari lagi, ya… apa benar umurku bisa dihitung seperti itu. Hasil pastinya masih belum keluar, walau begitu kemungkinan aku selamat tidak lebih dari satu persen. Dalam seratus hari ini, apa yang harus kulakukan?

Hari 2

Hari demi hari aku akan melupakan sesuatu, mulai dari hal kecil, hingga cara berbicara atau bernapas. Sepertinya harapanku untuk mati dengan cepat tidak dikabulkan. Melupakan nama dan wajah kedua orang yang telah merawatku sejak kecil, aku tidak menyangka hari itu akan datang. Pasti berat bagi mereka. Perawatan akan segera dilakukan untuk memperlambat prosesnya, walau begitu… sejujurnya aku tidak ingin lebih lama di dunia ini.

Hari 3

Belum ada perubahaan yang kurasakan, kecuali gejala awal seperti hilang keseimbangan dan kurang fokus yang sudah berlangsung beberapa minggu. Aku masih menghadiri kelas di pagi hari, makan siang bersama dengan teman, dan pulang saat matahari mulai tenggelam. Kehidupanku belum berubah di titik ini, tidak mungkin berubah secepat itu, kuharap. Tertawa, kesal, dan terkadang melamun. Aku masih bisa melakukannya. Tetangga bahkan tidak tahu tentang penyakit yang kuderita, dan ini memberiku rasa nyaman yang aneh.

Hari 4

Kembali aku bertemu dengan wanita peramal umur hidupku itu. Obat yang ia berikan di taruh di sebuah tas kecil yang lebih besar daripada kotak pensilku waktu sekolah dasar. Aku tidak bisa menghapal satu per satu barang hasil rekayasa kimia itu, terlalu banyak. Membawanya setiap saat bersamaku, dikekang jadwal yang ketat, tablet-tablet kecil itu adalah rantai pengekang penyakit ini dan kebebasanku. Rasanya tidak terlalu buruk, strawberry?

Hari 5

Aku terjatuh dari tangga sekolah, tidak terlalu serius dan membuat beberapa temanku tertawa. Mereka mengatakan aku bukan tipe orang yang ceroboh, tetapi kurasa mereka akan sering melihatku tersungkur ke tanah lebih sering mulai sekarang. Sedikit lecet di lutut, menghabiskan jam pelajaran kedua di UKS. Anehnya tidak seorang diri, bukan karena ada petugas penjaganya, tetapi karena siswa lainnya. Berbaring bisu di kasur balik tirai pembatas kami.

Hari 6

Memantine, dari yang kutahu aku tidak memiliki penyakit itu, hanya saja memang efek yang diberikan sama. Aku masih belum mengetahui nama penyakit yang telah menggerogoti tubuhku selama 2 minggu ini. Aku tidak berencana menjadi dokter dadakan, tetapi tidak dengan kedua orang tuaku. Terus berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang ada di kota ini, semua berkata sama, dan mereka juga menyarankan hal yang sama. Temuilah seorang dokter wanita yang ahli dalam bidang neurologi, orang yang telah meramal hidupku.

Hari 7

Aku tidak tahu apa yang sudah dijabarkan pria tua waktu jam pelajarannya. Aku sama sekali tidak bisa mengingatnya. Ini bukan karena sengaja tidak mendengarkannya, aku yakin telah fokus dengan setiap kata yang keluar dari mulut itu. Tetapi kertas di bawah tanganku masih putih, tinta tidak berkurang dari tabungnya. Hal itu hanya terjadi di jam pelajaran pertama, untuk sisanya aku bisa mengambil kesadaranku lagi.

Hari 8

Sejak dua minggu lalu meja makan hanya diisi dua orang, Ayah menambah jam kerjanya demi pengobatanku. Wanita yang selalu ada untukku tetap bekerja di waktu siang, hanya saja ia mulai pulang lebih awal. Sejak awal mereka bukanlah pengejar uang abadi, mereka selalu menyisakan waktu untuk bertanya soal keseharianku, hanya saja akhir-akhir ini waktu yang mereka berikan lebih banyak. Aku tidak senang dengan ini, aku sudah menyusahkan mereka, aku sudah sangat menyusahkan mereka, penyakit ini memburuk segalanya. Matilah.

Hari 9

Tanganku sempat terhenti waktu mengikat tali sepatu, tidak lama, sepersekian detik, hanya saja benar-benar terhenti. Aku seperti harus mengingatnya.

Hari 10

Aku pergi menuju gudang sekolah untuk pertama kalinya, itulah yang kurasakan, tetapi tidak dengan yang temanku katakan. Kaki kami pernah menapak di lantai kayu usang bangunan kecil di ujung sekolah itu, tepatnya waktu minggu awal dua tahun lalu, waktu kami masih murid baru.

Hari 11

Bola menghantam wajahku saat praktik bermain bola voli, aku berakhir menghabiskan sisa jam pelajaran di UKS. Ada seseorang di kasur sebelahku, lelaki yang sama seperti minggu lalu, hanya saja kali ini kami saling bertukar pandang dan kata. Seangkatan denganku, berbeda kelas. Aku tidak sempat menanyakan alasan dia di UKS.

Hari 12

“Kehilangan kemampuan motorik, kesulitan penglihatan, dan kemampuan berbicara yang menurun drastis. Disertai ingatan yang sudah mulai hilang,” itulah yang dikatakan wanita itu sembari melihat hasil MRI. Penyakit langka, benar-benar langka, dan karena nasib sial atau kutukan akulah yang menderita penyakit itu. Tidak ada obat, hanya bisa diperlambat. Semakin banyak aku tahu soal penyakit sialan ini membuat kutukan yang kutujukan pada diriku bertambah. Kenapa aku harus menderita seperti ini?!

Hari 13

Hari libur. Lupa berhenti di halaman berapa aku pun mengulang membacanya. Salahku sendiri karena tidak memberi tanda, hal semacam ini biasa, kan?

Hari 14

Delapan puluh enam hari lagi, aku rasa aku masih punya banyak waktu. Ah, aku baru sadar ternyata masih banyak yang ingin kulakukan.

Hari 15

Aku kehilangan pulpenku. Aku tidak yakin ada yang mengambilnya, mungkin saja terjatuh di suatu tempat dan aku tidak menyadarinya.

Hari 16

Wanita itu memintaku untuk terus menulis seperti ini, “Aku bisa melihat perkembanganmu dari tulisan tanganmu,” katanya. Aku tidak keberatan, lagipula hal yang kutulis tidak terlalu bersifat personal. Itulah yang kupikirkan, walau kenyataannya aku merasa sedikit malu.

Hari 17

Ujung jari telunjukku mengeluarkan tetes darah, aku tidak sengaja menyayatnya ketika memotong sayuran. Ibu mengatakan bahwa ia tidak butuh bantuan, tetapi aku tetap ingin memasak bersamanya. Hal ini sudah kulakukan sejak di sekolah dasar, sebuah kebiasaan, dan menghilangkan kebiasaan adalah hal yang sulit. Beliau hanya memberi senyum lembut.

Hari 19

Aku tidak sempat menulis kemaren karena tugas, selesai dengan diriku yang tertidur di atasnya. Aku bukanlah tipe yang kuat begadang, dan badanku serasa hancur sejak aku merangkak keluar dari kasur. Aku masih belum lupa, ya, belum lupa. Tenanglah.

Hari 20

Ayah memutuskan untuk pergi bersama ke kebun binatang. Sudah lama aku tidak mengunjungi tempat itu, sejak… kapan? Aku tidak bisa mengingatnya. Tempat itu tidaklah ramai, tapi tanpa sengaja aku menyenggol seorang anak kecil ketika berjalan. Aku benar-benar tidak melihat bocah itu hingga badannya menabrak kakiku.

Hari 21

Ayah berbicara soal salah satu kuda yang ada di kebun binatang kemarin, aku masih mengingatnya, putih ekornya benar-benar indah. Tawanya menggelegar di seluruh ruang makan ketika ia mengingat kembali soal topiku yang dibawa pergi oleh kuda itu waktu TK. Aku tidak mengingatnya walau begitu tetap mencoba tuk tertawa.

Hari 22

Lelaki itu menyapaku, orang yang sudah kutemui dua kali di UKS, mengajakku berbicara di kantin. Tidak ada hal yang penting, dia hanya menanyakan soal kelasku. Dan, sebuah pertanyaan aneh, “Apa kamu sering terjatuh akhir-akhir ini?”

Hari 23

Entah karena ucapan lelaki itu, aku terjatuh ketika menuruni tangga menuju ruang tamu. Tidak sampai membuat kakiku terkilir, hanya memberikan sedikit rasa nyeri setiap kali melangkah. Ibu meminta Ayah mengantarkanku sekolah, pertama kalinya aku berangkat tidak berjalan kaki.

Hari 24

Aku mengatakan kepada wanita berjubah lab itu bahwa kecepatan mencatatku mulai melambat saat pelajaran. Beberapa kali aku meminjam catatan temanku yang belum kutulis. Ia hanya tersenyum lembut dan ketika kumenyerahkan kembali buku catatannya.

Hari 27

Aku sengaja tidak menulis selama dua hari ini. Alasannya? Aku sendiri tidak tahu. Tidak ada yang terjadi juga selama dua hari terakhir, setidaknya sesuatu yang penting. Sebenarnya aku sendiri enggan sisa waktu hidupku tidak tercatat, hanya saja, tanganku bergeming. Aku terus memikirkan apa yang akan terjadi padaku, di hari kelima puluh, ke tujuh puluh, atau sepuluh hari terakhir. Apa aku akan baik-baik saja? Apa mentalku berakhir runtuh dan hancur lebur? Apa aku masih bisa hidup? Tolong, seseorang, beri aku jawaban.

Hari 28

Aku membawa buku yang salah dan berakhir berbagi meja dengan sebelahku. Sepertinya aku tidak bisa percaya lagi dengan ingatanku, wanita itu juga mengatakan hal yang sama. Aku kembali berpapasan dengan lelaki itu di lorong, kami tidak berbicara, tidak pula bertukar pandang.

Hari 29

Kakiku tidak bisa digerakkan pagi ini ketika aku membuka mata. Aku sama sekali tidak bisa menggerakannya sedikitpun, serasa bukan milikku. Hal itu hanya berlangsung beberapa menit saja, tetapi berhasil membuat keringat dingin menetes deras dari dahiku. Rasanya benar-benar buruk, aku sudah diperingati tentang ini, tidak lama lagi, aku akan lumpuh.

Hari 30

Sebulan sejak aku mengkonsumsi obat-obatan, bertemu dokter itu, dan sisa waktuku adalah tujuh puluh hari lagi. Seharusnya aku bisa meminta lebih banyak hal kepada orang tuaku, lagipula sebentar lagi aku akan mati, tetapi tidak. Aku merasa kosong, tidak ada yang kuinginkan selain hilangnya penyakit ini. Lama-kelamaan aku merasa tubuh ini bukan tubuhku. Aku benci ini.

Hari 31

Aku mengalami kesulitan saat berbicara soal acara televisi semalam bersama teman-temanku. Tatapan itu, tatapan yang menunjukkan rasa iba dan kasihan, aku tidak senang. Aku tidak ingin dikasihani, aku hanya ingin hidup seperti kalian. Penyakit ini, penyakit ini, semua salah penyakit sialan ini!

Hari 32

Hidungku berdarah, wajahku mencium lantai dingin sekolah waktu terjatuh dari tangga. Kembali aku ke ruangan ini, dan kembali aku menemui lelaki itu. Sesekali aku mendegar suara tawa sangat kecil darinya, sesaat setelah mata itu memandang tisu yang menyumbat lubang hidungku. Merasa terganggu aku pun menanyakan alasan dia tertawa, wajahnya berubah serius, “Tetaplah menulis, itu akan membantumu, aku rasa.” Aku sama sekali tidak bisa memahami maksud perkataan lelaki itu. Apa yang keluar dari mulutnya, seakan-akan ia tahu penyakitku.

Hari 33

Aku menginjakkan kaki di kelas yang kosong, kelasku. Aku berkeliling sekolah dan seorang guru memanggilku, wisata ke luar kota. Aku melupakannya. Bagaimana bisa?! Aku sudah diberitahu soal hal itu minggu lalu, bagaimana aku bisa lupa?! Aku pulang dan ketika Ibu datang aku mengatakannya. Mulai hari ini, segala macam acara akan dilaporkan kepada kedua orang tuaku.

Hari 34

Ibu tidak bekerja hari ini, rasa khawatirnya masih belum hilang walau aku mengatakan bahwa aku sudah bisa menggerakkan kakiku lagi. Kali ini lebih lama ketimbang sebelumnya. Setelah bisa menggerakkan jari kakiku, butuh beberapa menit hingga aku bisa berjalan normal. Berjalan normal, ya… tinggal berapa lama lagi aku bisa melakukannya.

Hari 37

Wisata yang tidak kuhadiri berakhir kemarin dan kelas dimulai seperti biasa. “Aku kesiangan,” itulah jawabanku kepada mereka yang bertanya. Aku ketinggalan alur pembicaraan, mereka terus membahas apa yang sudah mereka nikmati. Itu hal wajar, lagipula sejak awal aku tidak bisa mengikuti pembicaraan ini dengan benar. Aku selalu berhenti tiba-tiba, kesusahan mencari kata-kata.

Hari 38

Tangan kananku terasa tidak bertenaga sejak aku bangun, bahkan aku meminta Ibu membantu memakaikan seragam. Tidak menulis selama pelajaran, memakan roti dengan tangan kiri secara aneh, aku kesusahan mengangkat tanganku sendiri. APA-APAAN INI! JANGAN BERCANDA!

Hari 39

Aku mulai menjauhkan diri dari teman-temanku, dan mereka tidak berbuat apa-apa, syukurlah. Beberapa kata yang keluar dari mulutku mulai sulit dimengerti orang lain, walau aku yakin sudah mengucapkannya dengan benar. Apa yang wanita itu katakan menjadi kenyataan, aku sudah mulai kehilangan kemampuan berbicara.

Hari 44

Aku menghabiskan lima hari di rumah sakit yang sering kukunjungi. Kakiku terkilir, aku kembali terjatuh dari tangga ketika ingin pergi ke kamar mandi. Tiba-tiba saja kaki yang menjadi tumpuan utamaku hilang keseimbangan ketika melangkah, membuat pergelangan kaki kananku hampir patah. Ibu memintaku untuk tidur di lantai bawah mulai hari ini, aku menerimanya.

Hari 45

Aku tidak bisa menyebut nama salah satu teman sekelasku ketika akan memanggilnya. Jadi aku hanya meng-“hey”-kan orang itu dan mengatakan bahwa ada guru yang mencarinya. Akhirnya aku sudah sampai di tahap ini, yah, lagipula aku tidak terlalu sering berbicara dengan orang itu, aku rasa wajar sesekali melupakan nama seseorang, kan?

Hari 46

Sejak kejadian jatuh kemarin, aku selalu berpegangan dengan bagian sisi tangga sekolah ketika berpindah lantai. Tidak lagi sekedar ingatan, aku sudah tidak bisa mempercayai daging tubuhku sendiri. Apa sebenarnya diriku sekarang, siapa diriku. Pertanyaan itu sudah sering berputar di kepalaku, aku membiarkannya, aku tidak bisa menjawabnya.

Hari 47

Akhirnya aku sampai di titik dimana tidak bisa lagi berlari. Aku terjatuh cukup keras ketika mencoba mempercepat langkah waktu melihat gerbang sekolah hampir tertutup. Kali ini aku merasakan pelukan dari aspal jalan. Guru yang menjaga gerbang membantuku berdiri dan membawaku ke UKS. Dimana aku kembali bertemu dengan lelaki itu. Kami membisu, ia duduk di atas kasur spesialnya, dan aku memegang bagian pipi kanan yang lecet. Hingga, lelaki itu menyebutkan nama penyakitku.

Hari 50

Beberapa hari belakangan ini kami lebih sering berbicara, tidak hanya di ruangan biasanya aku terluka, tetapi juga di kantin dan lorong sekolah. Aku bisa lebih terbuka soal nasibku kepadanya, yang tahu soal kutukan yang kuderita. Ia mendengar pembicaraan seorang guru dengan Ibuku dan mulai mencari-cari informasi sendiri. Alasan dia sering berada di UKS karena dia bertugas di sana, tetapi dari yang kulihat lelaki itu sama sekali tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Ia juga berbicara dengan wanita itu.

Hari 51

Langkahku mulai gemetar dan seakan-akan aku menapak di atas kapas. Aku masih bisa berjalan, hanya saja lambat, sangat lambat, aku harus memperhatikan langkahku. Ketika melangkah, aku melebarkan tanganku untuk menyeimbangkan tubuh ini, entah kenapa itu berhasil. Membuatku terlihat seperti seekor penguin raksasa.

Hari 52

Aku tidak lagi berangkat ke sekolah jalan kaki. Aku tidak bisa. Tidak bisa!

Hari 53

Aku hanya membawa catatan kosong sejak minggu lalu, aku tidak bisa mengikuti tempo dari yang lain. Aku tidak bisa mencatat yang ada di papan tulis walau guru tersebut sudah melambatkan tulisannya dan menambah waktu mencatat kami. Aku mengatakan untuk tidak usah memperdulikanku setelah kelas selesai dan ia mengerti. Aku juga tidak paham dengan apa yang ia jelaskan, aku rasa sekolah percuma sekarang.

Hari 60

Banyak hal yang terjadi, ya, banyak. Sekarang aku duduk di kursi roda. Kakiku tidak benar-benar lumpuh, aku masih bisa mengangkatnya dan menggerakkannya. Tetapi, lututku mulai tertekuk, betisku gemetar hebat, melangkah sangat lambat, butuh pegangan agar aku tidak menyongsor tanah dengan wajahku. Akhirnya aku duduk di kursi roda. Aku tidak tahu lagi… apa yang akan terjadi…

Hari 61

Mulai hari ini aku tidak akan berangkat ke sekolah. Kedua orang tuaku mengatakan aku masih bisa belajar di sana, tapi aku berteriak menolaknya, maafkan aku. Aku tidak ingin menyusahkan teman sekelasku, aku tidak bisa ke kamar mandi dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa apa-apa! Aku manusia yang tidak berguna, karena penyakit kutukan ini, KARENA PENYAKIT SIALAN INI!

Hari 62

Ibu berhenti bekerja sepenuhnya, ia menghabiskan waktunya tuk merawatku di rumah. Aku sudah mengatakan bahwa aku masih bisa berjalan, tetapi ia menolaknya dengan lembut. Pelukannya menghangatkan hatiku yang sudah membeku karena penyakit ini. Walau begitu aku masih tidak bisa menerimanya, dan aku tidak akan pernah menerimanya.

Hari 63

Karena tidak bersekolah aku mulai belajar mandiri di rumah, membaca beberapa buku pelajaran dan mempelajarinya sendiri. Tetap saja seberapa banyak kali aku membaca ulang, apa yang kubaca tidak bisa masuk dan tertanam di kepalaku dengan lama. Aku akan melupakannya ketika membuka mata keesokan harinya.

Hari 64

Lelaki itu datang berkunjung, suatu hal yang tidak kusangka akan ia lakukan. Ia bercerita soal apa yang terjadi di sekolah dan bagaimana keadaan kelas setelah kepergianku. Tanpa mengucap sebuah kebohongan manis, ia berkata. “Tidak ada. Semua berjalan seperti biasa.”

Hari 65

Aku mulai takut membuka mata ketika pagi menyingsing. Aku tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada tubuhku nantinya. Aku sudah hancur. Hancur.

Hari 66

Wanita itu mengatakan bahwa aku harus dirawat inap di rumah sakit agar ia bisa mengawasiku secara penuh, tetapi baik aku dan Ibu menentang. Aku tidak ingin berada di tempat memuakkan ini selama sisa hidupku. Wanita itu hanya menerimanya, dia berkata akan siap sedia jika aku memang akan dirawat di sini. Aku tidak mempermasalahkan kebaikan hati miliknya. Lagipula, itulah pekerjaannya.

Hari 67

Tanganku mulai susah menulis, jariku terasa kaku dan lengaku terasa berat. Aku tidak terlalu yakin bakal bisa mengisi catatan ini lagi.

Hari 68

Aku mendengar tangisan Ayah dan Ibu di ruang tamu.

Hari 70

Ayah memutuskan tuk mengambil cuti selama sebulan, selama sisa waktu yang tersisa hingga degup jantung terakhirku. Kami tertawa bersama ketika menonton acara komedi. Kebahagiaan sesaat nan kecil.

Hari 71

Aku dibawa ke rumah sakit ketika tersedak waktu makan.

Hari 72

Ibu memutuskan tuk merawatku sepenuhnya di rumah sakit. Aku mulai kesusahan berbicara dan bernapas, kakiku bagai sudah beku, setidaknya tanganku masih bisa menulis. Hanya catatan ini yang kumiliki… tolong… jangan ambil…

Hari 74

Aku membasahi celanaku. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku ingin ini segera berakhir…

Hari 75

Aku tidak pula membaik. Tidak ada kemajuan.

Hari 76

Mencoba rehabilitasi. Kakiku sekarang bagai besi berpuluh kilo, tidak membiarkanku tuk melangkah sedikitpun. Aku juga diberikan alat untuk melatih pernapasan.

Hari 77

Aku senang aroma bunga yang Ibu bawa. Ia tersenyum ketika aku mengatakannya.

Hari 78

Dua puluh dua hari, tidak ada perpanjangan.

Hari 79

Rehabilitasi tidak membuahkan hasil. Aku sudah mulai lupa beberapa kata. Aku tidak ingat tanggal ulang tahunku sendiri.

Hari 80

Seorang lelaki datang ke kamarku hari ini. Dia tidak berbicara dan hanya memandangku, seragam sekolah. Aku tidak mengenalnya.

Hari 81

Ibu mengatakan aku sering berteriak waktu tidur. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu siapa diriku lagi.

Hari 82

Pemeriksaan, tidak ada perubahan. Kakiku lumpuh sepenuhnya, aku mulai tidak bisa berbicara. Aku tidak bisa menggunakan kursi roda lagi. Terbaring di atas kasur ini.

Hari 85

Hanya kata-kata tidak jelas yang keluar dari mulutku. Tetapi Ibu mengerti.

Hari 86

Sampai kapan aku akan terus seperti ini. Sejak kapan aku sudah seperti ini. Siapa itu.

Hari 87

Siapa aku? Siapa wanita itu? Ah, Ibu. Ibu? Ibu siapa? Ibuku?

Hari 88

Wanita yang mengaku dokter memeriksa keadaanku. Apa ini sudah biasa?

Hari 89

Aku dimana? Apa yang terjadi denganku?

Hari 90

Or ang y a ng menga ku sebagai Aya hk u datang. Aku tid ak tahu apa yan g ia bicarak an.

Hari 91

Ke n apa a ku men ul is? U n t uk a p a?

Hari 92

A k u h ar u s m e nul I s

Hari 93

K e n a p a a ku s e p ert I in i

Hari 94

A k u si ap a !

Hari 95

M e n u l i

Hari 96

S .

Hari 97

A k uu m as ii hi du p k a n

Hari 98

Hari 99

Hari 100

Bagi yang penasaran dengan penyakitnya, ini adalah penyakit gabungan dari Spinocerebellar Ataxias (SCAs) dan Alzheimer, jadi di dunia nyata, semoga, tidak ada. Karena melalui riset seadanya unsur medis di dalamnya dikurangkan. Kalau ada waktu lebih mungkin bakal riset ulang soal penyakit ini.