#Slice of life 

Kelopak Terakhir


“Sebenarnya ini tidak terlalu bagus.”

“Heh?”

Wanita itu memejamkan mata dan membuat setengah senyum, “Garisnya sangatlah indah, terlihat halus. Hanya saja ceritanya…”

“Ceritanya, kah…” aku tidak bisa menahan berat kepalaku.

Di ruangan hening ini, tumpukan kertas yang menyentuh dinginnya meja dapat terdengar. Warna kukunya berubah, dan sedikit lebih panjang. Mungkin dinding putih ini mulai bosan terus melihatku, tetapi mau bagaimana lagi, aku sudah berjuang. Romansa, komedi jenaka, bahkan tragedi penuh penderitaan. Ternyata percuma saja, kah.

“Coba sekali lagi.”

“Hah?”

“Sejujurnya aku masih belum hilang harapan denganmu. Gayamu benar-benar unik, yang jadi masalah hanyalah ceritanya. Jika masih belum bagus, aku akan memintamu mengambil punya orang lain.”

“Jadi aku diterima?”

“Begitulah. Jadi semangat, OK?” aku kembali melihat senyuman pemberi kesan pertamanya.

Aku menerima tangan yang menjulur itu dan melihat sepasang kaki langsing terbalut stoking hitam miliknya berjalan keluar. Kabar baik bagimu dinding putih, ini terakhir kalinya kamu melihatku berada di sini. Tidak seharusnya aku menghabiskan lebih banyak waktu di tempat dengan dua kursi dan meja ini. Aku tidak bisa berdiri, tanganku mengepal, seluruh gemetaran di tubuhku berhenti.

Cardigan cokelat, jeans, sweater hitam, dan kacamata yang sudah kupakai sejak menginjak remaja. Lensa kontak, aku pernah memakainya dan hampir lupa melepasnya saat tubuhku terhempas ke kasur. Lagipula, kenapa aku memakainya? Ah, acara itu. Hampir du tahun, aku masih ingat ucapannya. Waktu tidak berjalan secepat yang mereka katakan. Dan aku harap itu berlaku kepada kematian. Ah, mungkin itu yang akan ia katakan.

Melangkah, sedikit melompat, bukan karena senang, bukan pula karena suatu hal, hanya melangkah. Hangat di dalam saku, aku berjalan, merah berganti hijau, aku berhenti. Garis corak zebra, bahkan melihat nol pada hitung mundur itu masihlah belum pasti bagiku. Seorang anak sekolahan yang tersenyum sumringah melihat kotak kecil di tangannya, semangat anak kecil bertanya makan malamnya di kaki si ibu, apa aku bisa mengangkat cerita kehidupan biasa seperti ini? Kepada siapa aku bertanya? Ah, sudah satu.

“Tepat di depan mataku adalah dunia yang hanya bisa kubayangkan dari buku,” kalau tidak salah itulah salah satu kalimatnya di malam terakhir kami bertemu. Seekor kijang yang menjadi singa, atau sebaliknya? Sosoknya yang mengharapkan ketenangan dari jantung yang berdegup kencang, sosoknya yang mencari semangat dari percakapan biasa. Aku mengetahui keduanya. Aku hanya mengenal satu. Yang secara tiba-tiba mengatakan hal gelap secara puitis.

“Apa anda ingin mampir sebentar?”

Aku mengambil apa yang ia coba tawarkan kepada setiap orang yang melewati jalan ini. Baik aku gagal atau tidak, cita-citaku sudah aman di saku. Intinya, aku punya waktu luang. Minuman hitam pekat ini tidak bisa membuat tanganku terus bergerak, tetapi aku bisa menikmati cita rasa pahit yang diberikan. Gratis sepotong kue. Aku membawa kertas yang kuterima dari gadis pekerja paruh waktu itu.

Lonceng berbunyi pelan, sentuhan yang bagus. Memiliki bau yang menenangkan dan tidak baru seperti yang tertulis di brosur. Berdecit, hanya tersisa beberapa meja kosong. Ini pertama kalinya aku melihat ada yang melakukan itu di tempat umum, kau seharusnya sudah tau cowokmu sudah dewasa dan bisa makan sendiri. Ia yang berada di dekat jendela kosong, anehnya tidak ada alasan untuk tidak menempatinya. Benar-benar terfokus kepada satu minuman, aku terkesan dengan banyaknya pilihan, sejujurnya aku tidak tahu harus memilih apa. Suara langkah kaki mendekat dari arah dalam.

“Aku tidak terlalu suka yang pahit, apa kamu bisa memberiku saran?”

“Yang ini tidak akan meninggalkan pahit dan manisnya tidak terlalu berlebih, saya sangat menyarankannya.”

“Aku akan mencobanya kalau gitu.”

Menoleh, lebih sepi ketimbang hari biasanya. Angin yang berhembus mulai dingin, yang terbaik adalah berdiam diri di tempat yang lebih hangat. Membenarkan kacamataku, mengambil sesuatu dari saku. Tidak ada pesan tidak terbaca, tidak ada panggilan terlewat, hanya notifikasi dari gim yang kumainkan. Dan beberapa artis yang kujadikan referensi telah membagikan karya terbaru mereka. Tentu saja temanya adalah tanggal 24 itu.

Rok mini, orang tua berjanggut yang dulu nyata bagiku, dan rok mini lainnya. Aku sendiri masih belum mengetahui siapa yang akan kugambar dengan pakaian berwarna merah seksi. Siapa saja bisa, akan lebih bagus apabila dia adalah karakter dari acara yang tayang musim ini. Jempolku berhenti ketika gelas itu diletakkan di hadapanku beserta sebuah senyum ramah. Apa yang ada di brosur itu benar. Kapan terakhir kali aku makan kue seperti ini? Entahlah, lagipula aku tidak ada diet khusus atau semacamnya. Hanya ketidakpedulian terhadap kepuasaan diri pribadi saja.

Rasanya tidak membekas dan ringan, mungkin saja ini bisa membuatku kembali ke sini. Mengambil sepotong kecil sepotong dari tumpukan lapisan yang terbuat dari tepung dan coeklat, aku menyuapkannya ke dalam mulut. Aku adalah wanita yang hanya bisa mengatakan “enak” kepada setiap hal yang enak. Kembali melihat hasil karya dari berbagai orang yang terkadang membuatku iri, suasana tenang ini benar-benar sesuatu.

Tiada lagi tetes yang tersisa, aku menoleh pergelangan tanganku. Sudah waktunya aku beranjak. Hawa dingin yang menghantamku seketika berjalan keluar membuat sekujur tubuhku menggigil. Tidak ada lagi tempat yang ingin kusinggahi dalam rencanaku yang sementara dan bisa berubah kapan saja. Barisan kecil beberapa orang terlihat, aku mempercepat langkah ketika melihat sebuah kendaraan beroda empat dari arah belakang. Tanpa memberiku waktu tuk menarik napas, dengan cepat aku mengambil salah satu kursi kosong. Bersandar sepenuhnya, merasakan detak jantung yang melambat.

Membiarkan kendaraan ini mengantarkanku ke halte pemberhentian, aku kembali melihat-lihat karya orang lain yang terkadang membuat hatiku panas. Jempolku terus bergerak menggeser layar dari bawah ke atas hingga sesuatu menangkap perhatianku dan menghentikannya. Temanya gelap, berbeda dengan yang lainnya yang memberikan kebahagiaan musim salju. Aku tidak mengikuti artis ini, dan kurasa ini bukanlah karyanya. Apa yang menarik perhatianku adalah warna yang telah tertuang di potret wajah itu. Lukisan minyak, membentuk rupa gadis yang menitihkan air mata dari berbagai warna. Aku dapat melihat warna lebih gelap di sekitar lingkar matanya dan coretan merah di pipi kanannya.

Terus melihatnya memberiku perasaan yang tidak enak, tetapi jempol masih membeku. Aku sudah tahu alasannya, hanya saja aku masih menyangkalnya. Wajahnya malam itu terngiang di kepalaku. Kenyataannya, mereka gadis yang sama. Dan tidak salah lagi, mungkin dialah yang membuat lukisan ini. Kenapa? Aku tidak bisa menemukan satupun alasan tangannya membuat lukisan semacam ini. Setidaknya itulah yang kutahu, setidaknya itulah dirinya yang dua tahun lalu.

Butuh waktu beberapa menit hingga aku dapat menghilangkan lukisan itu dari pikiran. Hingga, suatu berita tertangkap oleh mataku. Bunuh diri, seorang gadis, aku sudah tahu tanpa perlu membaca beritanya. Dengan cepat aku membuka daftar kontak dan berhenti di nomor yang selama ini tidak pernah kuhubungi, berdering, tidak ada jawaban.

Apa dia bernasib sama seperti kakaknya?

Fan fiction dari “Ippon Bana”.