#Slice of life 

Yang Seharusnya Tidak Ada


Kosong, seperti bagaimana mestinya. Sedikit angin berhembus, berkas cahaya jingga. Tanganku bergerak atas dasar kewajiban, aku masih di sini karena kewajiban. Tapi kurasa hal itu tidak berlaku bagi nama-nama lain yang tertera di kertas selembar yang sama. Hari ketiga setiap minggu, aku menunggu hingga tiada lagi orang di tempat ini. Canda tawa telah sirna, hanya terdengar langkah dan kaki kursi yang menghentak sesekali. Terkadang lima orang ada, biasa tiga orang, lebih sering sendiri. Aku tidak keberatan, itulah yang ada di benak ini. “Ini tidak masalah” atau “Aku bisa melakukannya sendiri”, berbagai macam alasan untuk memuaskan diriku sendiri. Suara langkah milik orang lain, sosoknya berdiri di ambang pintu.

“Lagi?”

“Begitulah,” aku mengangkat bahu.

“Aku tidak benci sikap itu, tapi aku juga tidak menyukainya.”

Kami tidak pernah bertemu di lorong, di lapangan yang luas, maupun tempat menghabiskan jam istirahat. Hanya di sini, di hari ini, di jam yang sama. Sosok yang tidak seharusnya berada di satu ruangan denganku, sesekali mengangkat kecil kursi, menyapu debu yang hampir tidak terlihat. Rambut putih panjang miliknya, sesuatu yang dilarang oleh peraturan sekolah. Didorong oleh rasa penasaran tidak beralasan, aku mencari tahu tentang gadis berbadan langsing itu. Ia telah—

“Aku sudah bilang, kamu harus tegas jika dibutuhkan.”

“Yah, tapi aku rasa mereka punya kepentingan yang gak bisa ditinggal, kan?”

Aku dapat melihat matanya sedikit memilik corak jingga, “Itu juga berlaku denganmu! Bukannya hal seperti ini kewajiban, cih.”

Aku memberi senyum kecut, “Kewajiban, kah…”

Tangan kurus miliknya kembali bergerak, apa yang telah tertulis di papan itu menghilang sepenuhnya. Mendekat, aku selesai membenahi barisan kursi di tempat ini. Aku menoleh, ia berdiri, kedua tangan di pinggang ramping miliknya. Hal ini telah terjadi berkali-kali, sejak pertama kali kami bertukar kata. Sesuatu yang tidak terelakan.

“Ragu tentang setelah ini?” ia menghembuskan napas.

“Begitulah. Aku mungkin akan mencari pekerjaan.”

“Lakukan apa yang ingin kamu lakukan,” ucapnya sembari menyandarkan pinggul kepada salah satu meja, “jangan menyesal seperti diriku.”

Kalimat terakhir yang ia ucapkan terdengar namun samar, aku memilih tuk menganggapnya tidak ada. Berkeliling, memastikan semua sudah cukup rapi dan bersih. Aku melirik dari ekor mata. Ia sempat menjadi model untuk suatu majalah, itulah yang kudengar. Tidak terlalu pintar, tidak terlalu bodoh, senang bersosial. Itulah yang kudengar. Mungkin aku yang dulu akan menganggumi kehidupannya. Aku yang tidak mengenalnya. Berdiri di depan kelas, aku rasa hari ini sudah cukup. Ia melirik saat kuambil tas.

“Langsung pulang?”

“Apa ada yang ingin kamu lakukan?” tanyaku.

Gadis itu melempar senyum lebar, “Temani aku sebentar lagi, bisa?”

“Di sini?”

Ia mengangguk pelan.

Aku mengurungkan tindakanku sebelumnya dan berjalan menuju sisinya. Bersandar punggung kepada dinding, menghadap papan putih yang kosong. Tiada kehangatan kurasakan selain dari matahari sore. Tidak ada yang menunggu kepulanganku, menghabiskan waktu dengan seorang gadis yang tidak kukenal bukan hal yang buruk juga. Gadis yang seharusnya tidak ada di kehidupanku. Merogoh kantung celana, sebuah buku saku. Sebuah buku harian dan bukan diri ini pemiliknya. Dari ekor mata, aku dapat melihat gadis itu memberi simpul kecil.

“Bukannya kamu tidak sopan?” ucapnya sembari menghapus jarak.

“Maafkan aku,” bahu kami bersentuhan, itulah yang setidaknya kurasakan.

Ia mengambil pandang kepada buku yang sedang kubaca, “Tidak mencurinya, kan?”

“Tentu saja, aku memintanya kepada seorang wanita.”

Tawa kecil terdengar dari sisiku, “Apa dia masih sehat?”

“Ya, walau masih belum bisa melupakan keberadaan seseorang,” jelasku sembari mengingat kembali kejadian dua hari lalu.

“Kenapa keberanianmu hanya ada di hal semacam ini. Tidak berguna.”

“Aku juga tidak tahu.”

Membalik halaman. Pemilik buku ini merupakan orang yang pemalu dan pendiam. Tidak memiliki banyak teman, tidak memiliki kesenangan pasti, dan masih belum menemukan tujuan. Seseorang yang rajin dan patuh, walau begitu ia sadar dimanfaatkan oleh teman sekelasnya. Sama sepertiku sekarang. Tetapi, suatu hari ia berubah. Mempercantik rupa, memperhatikan gaya pakaian, menjadi gadis yang yang impikan. Orang yang dekat dengannya bertambah, tawa lebih sering muncul di wajahnya, walau begitu ia tidak bahagia. Tidak ada yang berubah, ia hanya memakai topeng. Hingga, topeng itu pun retak, dan buku harian memberi halaman kosong.

“Karenanya aku ingin kamu melakukan apapun yang ingin kamu lakukan.”

“Akan kuusahakan.”

“Bilang tidak dengan tegas, bilang iya dengan ikhlas.”

“Benar…”

Aku dapat merasakan genggaman tangannya, tapi tidak dengan kehangatan yang seharusnya kurasa, “Apa kamu berpikir pertemuan kita ini kutukan?”

Aku menggeleng, “Entahlah…”

“Apa-apaan itu,” ia tertawa, “aku benar-benar tidak bisa membenci sikapmu.”

“Begitukah…”

“Kalau kamu tidak keberatan, temui aku di tempat lain. Aku akan sangat senang.”

Aku mengangguk, “Aku akan membawa makanan kesukaanmu.”

Tangannya melepas genggaman, kakinya melangkah mundur, badan kecilnya diselimuti cahaya jingga yang hampir redup.

“Terima kasih, walau aku tidak bisa menikmatinya,” ia memberiku senyum hampa.

Aku benar-benar sendiri sekarang.