#Slice of Life 

Berempat


Aku tidak menyangka hari ini akan tiba. Lima tahun? Tidak, kurasa lebih lama. Akhirnya penantianku akan berakhir, entah kenapa bahuku terasa lebih ringan. Sekali lagi aku berbalik, waktu terasa terhenti di tempat ini. Seharusnya dia mengatakan waktunya juga, aku harus menunggu dari pagi seorang diri di sini. Yah, tapi aku juga tidak ada kerjaan lain, dan orang-orang tidak bisa menatap aneh diriku. Kalau tidak salah aku memang selalu seperti ini, menjadi yang pertama datang.

“Apa aku terlalu cepat,” seorang pria berdiri tak jauh dariku.

Seharusnya sekarang umurnya sudah dua puluhan, dia memang tumbuh jadi lebih tinggi tapi badannya tetap kurus seperti biasa. Benda berlensa cembung itu sudah menjadi bagian tubuhnya ternyata. Matanya bagus, aku juga senang dengan apa yang jari-jari miliknya jepret. Saat ia mengatakan bocah ini menjadi seorang fotographer lepas, aku tidak terlalu terkejut. Ah, dia pernah bilang ingin mengambil foto seksi wanita cantik. Waktu itu aku menawarkan diri tapi dengan wajah sombong bocah sialan ini berkata, “Kamu tidak seksi, menyerahlah.”, dia mendapatkan cap tanganku tepat di wajah. Tapi, kali ini aku berharap impian mesumnya itu sudah terwujud.

“Masih ada lima belas menit,” ucapnya sembari melihat pergelangan tangan kurus itu, “apa yang harus kulakukan.”

“Bagaimana kalau memfoto tempat ini?”

Ia mengangguk sembari tersenyum kecil, “Benar juga, aku bisa melakukan itu.”

Sembari mengatur kamera ia berjalan menuju sisi jalan. Benda itu menutup sebagian wajahnya, ia mengambil sebuah gambar kenang-kenangan. Karena iseng aku membuat pose di depannya, akan cukup gawat jika ia menyadari itu sekarang. Senyum lebar merekah di wajah yang biasanya terlihat murung itu, syukurlah ia puas dengan fotonya. Aku mengambil sisinya dan mengintip melalui layar kecil kamera itu, tanpa kusadari mungkin aku sedang membuat senyum sekarang. Sesaat aku bisa membayangkan kami berlima di dalam foto itu. Tersenyum, ada yang menutup mata, ada pula yang membuat pose aneh.

“Foto yang bagus…” gumamnya pelan, aku senang dengan wajah yang ia buat sekarang.

Aku menoleh, gadis dengan rambut panjang yang terurai berjalan menuju tempat kami berdiri. Datang dari arah berlawan dengan si fotografer, aku tidak tahu senyum manis miliknya tertuju kepada siapa. Setelah melihat wajah milik pria berkacamata di sebelahku merona merah padam, aku sudah tahu jawabannya. Lelaki sialan itu tidak mengatakan sesuatu tentang ini. Seharusnya dia tahu aku paling senang dengan cerita percintaan dua insan polos seperti mereka. Tetapi, jika kalian hanya memandang satu sama lain aku tidak akan mendapatkan apa-apa.

“Apa kamu sudah menunggu lama?”

“Ti-tidak, baru saja, kok…”

Apa-apaan percakapan semacam kencan pertama ini?! Aku merasa iri dan tersentuh di saat bersamaan. Sejak di bangku sekolah, gadis ini memang sudah memiliki rambut hitam yang indah. Pernah satu kesempatan aku mengelusnya, sungguh kelembutan yang berada di luar ranah manusia. Menjadikannya senjata untuk memikat bocah ini, gadis yang menakutkan. Jago memasak, disukai anak-anak, senang kebersihan, dan senyum yang dapat menghilangkan lelah. Tidak akan ada yang kecewa mendapatkan istri semacam dia, sebagai sesama gadis kata-kataku bisa dipegang.

“Baru saja mengambil foto?” ia menunjuk ke apa yang digenggam pria di sebelahku.

Ia memberi sebuah anggukan, “Ingin lihat?”

Gadis itu memperpendek jaraknya dengan cepat, mengambil sisi kosong milik si pria. Menyibakkan rambut itu ke belakang telinga, serangan telak ke fotografer malang ini. Tanpa si gadis sadari, bahu mereka sudah saling bersentuhan. “Harum,” aku dapat mendengar pria beruntung ini bergumam pelan dengan muka merah padamnya. Aku beranjak dari sisinya dan berjalan pergi.

Baik keduanya tidak lagi menetap di kota kecil ini. Ia yang mengenakan gaun one-piece biru gelap ini menekuni seni menjahit dan tinggal di kota sebelah, dan untuk si suami masa depan yang berada di sampingnya sekarang lebih sering keluar negri. Mereka jarang berbicara kepadaku, aku tidak bisa menyalahkannya. Lagipula sudah ada seorang laki-laki yang menceritakan kisah mereka, ia yang sedang berjalan sembari menggandeng tangan yang lebih kecil darinya. Sebuah keluarga kecil. Rambut tipis miliknya diturunkan dari si wanita yang menggendongnya, dan tatapan mata itu aku rasa dari pria di sisinya. Baru kali ini aku melihat gadis kecil itu, aku penasaran apa dia akan senang melihatku. Dengan cepat aku menghampiri mereka dan melambaikan tangan di hadapan si kecil. Sesaat ia membuat wajah bingung yang imut, kemudian suara tawa menggemaskan dapat terdengar. Si wanita melirik ke gendongannya dan tersenyum kecil, ia telah menjadi sosok ibu yang hebat. Gadis yang dulu tidak bisa menggunakan pisau telah menjadi wanita dengan buah hati yang ia rawat sepenuh jiwa. Aku iri. Aku tidak bisa menjadi seperti dirinya. Aku bahagia.

“Wah, lucunya!” si gadis penjahit tidak bisa menutupi rasa senang yang terlukis di senyumnya.

“Belum ada sebelas bulan, kan?”

Si pria yang menjadi ayahnya mengangguk, “Tapi kemaren dia memanggilku ‘papa’, loh!”

Mulut juru foto itu membentuk huruf “o” dan ia mengambil potret si anak dengan cepat, “Apa aku boleh membuat album perkembangannya? Mungkin setahun sekali?”

“Aku sangat senang dengan tawaranmu, tapi aku rasa kamu harus lebih fokus dengan perkembangan cintamu sendiri.”

Tanpa perlu menyebut nama, kedua orang itu mencuri pandang satu sama lain dan memalingkan wajah yang sudah bagai tomat matang milik mereka. Aku tertawa, walau begitu aku merasa ada sesuatu yang menetes dari pipiku. Bayi itu—dengan mata bulat berbinar miliknya—menatapku dengan wajah imut miliknya. Dia bisa melihatku, syukurlah. Begitu rapuh dan hangat, dia tidak menolak ketika aku memegang jari jemari kecil miliknya. Mereka mulai berjalan, kami mulai berjalan.

“Tempat ini tidak terlalu berubah sejak kita masih sekolah,” ucap pria yang tanpa ragu menjepret isi warung makan kecil ini.

“Mereka hanya meminta renovasi untuk menguatkan struktur bangunannya saja,” ternyata pria ini yang mengerjakannya.

“Kamu kontraktornya?”

Pria yang duduk di samping istrinya itu mengangguk, “Aku langsung mengambilnya tanpa berpikir dua kali.”

Kami tertawa mendengar kalimatnya, ia masih memiliki sikap tanpa pikir panjang itu. Ketika si wanita dengan bayi di pangkuannya itu membuka buku menunya, apa yang dulu pernah kami nikmati bersama tetap ada. Aku dapat melihat mata si juru kamera berbinar ketika melihat nama makanan kesukaannya masih tercantum, begitu pula dengan gadis di sebelahnya. Suara langkah kaki terdengar dari arah berlawanan pintu masuk, seorang wanita yang hampir mencapai paruh baya dengan senyum hangatnya menghampiri kami.

“Ternyata benar,” ucap wanita itu, “kalian adalah bocah-bocah SMA yang sering kemari.”

“Anda…” si gadis penjahit mengerutkan alisnya, “mbak pelayan waktu itu?!”

Wanita itu mengangguk, “Ternyata memang tidak ada yang bisa lepas dari waktu, itu juga berlaku padaku, sih.”

“Apa anda masih bekerja di sini?”

“Suamiku pemilik tempat ini, kami menikah tidak lama setelah kalian lulus.”

Aku dapat melihat mata milik si gadis mulai bersinar, berbeda dengan pria di sebelahnya yang membuat wajah bagai merasakan asamnya lemon. Sebenarnya tanganku sudah gatal untuk menjodohkan mereka berdua. Sayangnya aku sudah tidak bisa lagi menyentuh.

“Apa kalian ingin memesan yang seperti biasa?” tanya wanita itu.

“Anda masih ingat?!” wanita yang sedari tadi tenang itu membuat wajah terkejut.

Senyum miliknya mulai melebar, “Kalian adalah pelanggan tempat ini selama lima tahun lebih, tentu saja aku sudah mencatat kesukaan kalian.”

“Aku tidak menyangka hal ini,” pria itu membuat senyum canggung melihat mulut istrinya yang masih membuka.

Wanita itu menghentikan gerakan pulpennya.

“Untuk kari pedas…” matanya menyapu kami, “aku rasa tidak.”

“Jadi anda juga sudah mendengarnya,” ucap si gadis penjahit dengan kepala tertunduk.

“Begitulah. Aku dan suamiku merasa terkejut mendengarnya. Padahal tidak sampai sebulan setelah kelulusan kalian.” Aku tidak suka keheningan ini, dadaku terasa sesak. Aku tidak ingin melihat ini. Kepala yang tertunduk, wajah suram itu, aku tidak senang. Tertawalah, tersenyum, kita berkumpul di tempat ini untuk bersenang-senang, bukan?

“Ayolah, kalian tidak perlu mengingat tentang—”

“Ma..ma…” semua mata tertuju kepada si bayi yang memanggil wanita di belakangnya.

“Ada apa, sayang?” ibunya melihat ke pangkuannya dan memindahkan pandangannya ke apa yang ditunjuk anaknya, salah satu menu.

“Kari pedas?” ucap si gadis yang berada di seberang mereka.

Dari ekor matanya, sesuatu terjatuh dan membasahi kerah bajunya. Dengan lembut, tangan kurus itu membelai lembut rambut tipis gadis kecilnya. Si suami memberikan bahunya kepada wanita yang tidak kuasa menahan tangisannya. Untuk pertama kalinya, lelaki itu menaruh kameranya dan menutup wajah miliknya dengan telapak tangan. Gadis di sebelahnya bersandar pipi kepadanya. Ia yang berada di tengah-tengah orang dewasa cengeng itu menengadahkan kepala, mata mungilnya bertemu denganku. Hanya dia yang bisa melihatku.

“Kamu benar-benar pandai membuat orang lain menangis…”

Aku mengira sore itu adalah terakhir kalinya kita berlima akan berkumpul. Tetapi, hari ini, kita berlima kembali berkumpul. Setidaknya itulah yang kurasakan.