#Psychological #Horror 

Nevada-tan


Tubuh kecilnya tercelup merah darah, menggenang di bawah kaki yang gemetar. Pisau kecil, suara darah yang menetes dari ujungnya.

Aku membuka mata.

Cara terburuk untuk bangun dari tidur.

“Sudah kuduga,” tanganku mencoba tuk meraih langit-langit, “tidak semudah itu melupakannya….”

Lajang. Beberapa bulan lagi umurku meninggalkan angka dua puluh. Tidak terlalu tampan, tidak terlalu kurus, tidak perlu lebih tua dariku, itulah tipe pria yang kucari. Sejujurnya, aku akan menerima siapapun asal memiliki pendapatan stabil. Kedua orang tua itu selalu menyelipkan keinginan mereka menggendong bayi setiap kali bertemu. Waktu itu aku sama sekali tidak dipusingkan masalah berkeluarga. Walau begitu, tidak ada keinginan sedikitpun untuk kembali.

Mereka yang membimbing anak muda dalam mempelajari tulisan di atas kertas yang bahkan terkadang mereka sendiri tidak paham, aku bisa menyebutnya pekerjaanku. Karena suatu alasan—itulah bagaimana aku menyebutnya—aku tidak mengajar di SD atau SMP. Berjalan sepuluh menit, menjawab sapaan mereka yang menikmati masa yang dulu pernah kurasakan. Kurasa hanya mimpi itu saja yang buruk hari ini, aku harap.

Di saat lonceng berbunyi, aku harus sadar apa pekerjaanku dan melupakan insiden itu.

Enam tahun bukanlah waktu yang sebentar, sayangnya itu bukanlah bagiku. Aku sempat yakin ingatan itu akan terbawa hingga dalam kubur. Padahal yang tersisa hanyalah pekerjaanku. Orang tua, kenalan, rumah, bahkan ingatan menyenangkan. Aku sudah meninggalkan semuanya di kota itu, tidak pula aku berpikir untuk mengambilnya lagi. Hanya saja, gadis itu, masih ada di sela-sela tidurku. Dibasahi keringat dingin, mata lembab, degup jantung yang tak terkendali. Aku benci itu. Tinggalkan aku sendiri.

Kenyataannya, mungkin dirikulah yang bersalah.

“Sudah selesai?” suara lembut miliknya membuyarkan pikiranku.

“Ah, begitulah.”

Di sebelah wanita berbadan langsing ini adalah seorang pria muda, terlalu muda, perbedaan umur kami sangat jauh. Penampilannya tidak terlalu menarik, mungkin bisa dibilang membosankan. Terlepas dari sepasang kaki kurusnya yang menggigil dan apabila ia lebih tua tiga empat tahun, aku tidak masalah dengannya. Walau begitu, aku bagaikan melihat cermin.

“Saya guru baru yang masuk hari ini, salam kenal,” ucapnya sembari menundukkan kepala.

Aku mencoba tuk tersenyum, “Salam kenal. Aku baru beberapa tahun mengajar di sini, jadi kalau ada masalah lebih baik tanyakan ke wanita di sebelahmu.”

Wanita yang kumaksud tersenyum lembut, aku harap guru baru itu tidak terlalu memikirkan maksud di baliknya. “Jadi, apa ingin pergi minum?” tanyaku kepada si wanita.

“Itu juga, dan pria ini ingin bertanya sesuatu kepadamu.”

Aku dapat melihat keringat sudah membasahi orang yang ia maksud, aku merasa dia akan bertanya hal yang tidak ingin kubahas. Ini selalu terjadi, seitdaknya untuk beberapa tahun terakhir. Apa mereka tidak bisa melupakannya saja. “Gadis A—”

“Maaf, apa kita bisa membahasnya di jalan?”

Tempat yang disarankan wanita pengajar ilmu hitung-hitungan itu dekat, tidak ada alasan untuk menolak berjalan kaki. Selama itu, aku membahas masa lalu yang tidak kalah dingin dengan angin malam yang berhembus. Dua gadis yang menghilang dari kelas, ia yang menggenggam pisau berlumurkan darah, dan ia yang mengeluarkan darah dari tenggorokannya. Aku merasa seperti mereka ulang insiden itu setiap mulutku mengeluarkan kalimatnya. Benar-benar buruk, perutku merasa mual, mungkin aku kehilangan nafsu untuk mabuk malam ini. Jika saja minuman keras bisa membuatku melupakan kenangan pahit itu.

Mata itu, setiap orang yang mendengarkannya mencerminkan hal yang sama. Kengerian sekaligus rasa tidak percaya. Gadis A. Waktu itu aku masih tidak terlalu berpengalaman, aku juga tidak bisa memahami masalah anak seusianya. Mungkin memang benar kesalahan tertelak padaku, sebagai seorang pendidik, sebagai seorang wali murid di sekolah. Mereka berkata untuk tidak terlalu memikirkannya, omong kosong. Enam tahun, enam tahun, sialan! Gadis itu masih mendatangi mimpiku, membawa warna merah dari darah anak lain yang ia bunuh! Jika saja, ya, jika saja aku bisa menghentikannya….

“Apa kamu mendengarkanku?”

Kembali aku tenggelam dalam pikiranku, “Maaf….”

“Aku sudah bilang untuk tidak memaksakan diri bercerita, bukan?” ia mulai mengelus lembut rambutku, badannya memang tinggi untuk seorang perempuan.

“Maafkan aku karena membuat anda mengingatnya….”

Aku menggeleng, “Tidak apa, lagipula aku sama sekali tidak bisa melupakannya.”

Walau aku mengatakan kenyataannya, pria itu tetap membuat wajah bersalah. Aku juga akan melakukannya jika jadi dia. Sebuah izakaya* yang anehnya aku tidak pernah tahu ada. Tidak terlihat baru dibuka, mungkin saja aku sering berjalan pulang dalam keadaan melamun. Walau terlihat lemah lembut dan memiliki jiwa keibuan yang kuat, wanita yang selalu ada untukku sejak pindah itu makhluk buas dalam urusan minuman keras, bahkan di antara guru-guru pria lainnya. Jelas aku angkat tangan jika harus melawannya. Lagipula kami—setidaknya diriku—tidak berencana pulang terlalu mabuk malam ini.

“Selamat datang!” pria paruh baya pemilik tempat ini menyambut dengan suara lantang.

Kami mengambil duduk dekat pintu masuk, “Bir tiga gelas.”

“Ada lagi?”

Wanita itu memandang kedua sisinya bergantian, “Kurasa itu saja dulu.”

Tidak genap setengah jam, yang membawa kami ke tempat ini sudah menghabiskan tiga gelas sendirian dan masih cukup sadar. Ternyata aku salah, hanya aku yang berharap pulang tanpa mabuk, ini juga berlaku kepada pria baru itu. Dia sudah tepar, tetapi cairan berwarna kuning itu masih ia teguk juga. Gelasku sendiri masih tersisa setengah, aku tidak berencana menambah pula.

“Mbak…” aku merasa panggilan itu tertuju kepadaku, “si… Gadis…A… itu terkenal bukan!”

Benar juga apa yang ia katakan. Entah bagaimana insiden pahit itu bisa sampai luar negeri dan sosok Gadis A sendiri terkenal. Tentu saja mereka masih belum mengetahui namanya, aku juga yakin sekarang ia sudah diberi nama baru. Mungkin karena alkohol aku susah mengingat apa julukannya di luar negeri. Aku rasa ada hubungannya dengan jaket yang Gadis A gunakan.

“Aku sudah membereskan mejanya.”

“Kerja bagus,” ucap pria di hadapanku kepada seseorang yang berada di bagian dalam warung.

Seorang gadis berambut pendek, ia mengenakan sesuatu yang membuatku langsung tersadar dari pengaruh minuman keras. Lebih tepatnya tulisan di jaket yang ia kenakan. “Nevada”.

*izakaya = tempat bernuansa khas Jepang yang menyediakan minuman beralkohol berserta hidangan sederhana untuk teman minum-minum.

https://www.youtube.com/watch?v=UsyMrNWFlGg