#Slice of Life 

Satu Hari


Sepertinya aku tidak punya pilihan selain percaya… kan?

“Aku tidak akan mengulanginya lagi.”

Aku melempar senyum kecil, “Aku paham, kok.”

Pria itu menghela napas. Entah kenapa aku merasa ia jauh lebih tua ketimbang wajah yang ia miliki. Berjubah hitam, sedikit kantung mata terlihat. Mata itu mati, atau setidaknya itulah yang kulihat. Dengan jari-jari kurus miliknya, ia mengeluarkan sebuah buku kecil dan sehelai bulu sebagai pena. Aku belum pernah melihat orang benar-benar memakai itu untuk menulis. Menutupnya, mata mati miliknya kembali menusukku.

“Apa ada tempat yang ingin kamu kunjungi?” baik nada bicara mauapun mata miliknya sama sekali tidak memberikan kesan ramah.

Hanya ada sedikit yang terlintas, kurasa itu lebih mudah bagiku dan dirinya. Waktu kami tidak banyak, tapi kami memilikinya. Aku harus menghabiskannya. Matahari masih mendaki, aku rasa aku bisa pergi ke sana. Setidaknya, aku ingin mengakhiri ini di tempat aku akan tinggal nanti. Apa aku bisa bertanya kepada orang itu? Dia pasti akan memberitahuku.

“Apa kamu tau tempatku tidur?”

“Ingin melihatnya?”

Aku mengangguk.

“Aku akan membawamu ke sana.”

Hanya ada kami berdua di ruang tamu ini, hingga suara yang tidak bisa kami buat terdengar. Langkah kaki. Lingkaran hitam di matanya tampak jelas, aku merasa ia sedikit kurus, aku tidak pernah melihatnya seburuk ini. Aku ingin melihatnya senyumnya, aku egois, aku tahu itu. Dirinya yang sekarang tidak bisa menyunggingkan senyum itu. Sedikit, aku merasa hatiku retak. Mengambil duduk di antara empat kursi, ia mulai mengeluarkan isi kantung plastik bawaannya. “Jangan beli makanan supermarket,” itulah yang ia ucapkan, ironis.

Tanganku mencoba tuk mengelus punggung kecilnya, percuma. Pria itu pasti menganggapku gadis bodoh. Kenyataannya, aku tidak bisa langsung menerima ini semua. Seseorang yang telah merawatku sepenuh hati terpuruk karena diriku, apa aku bisa dengan tenang melihatnya? Tidak, aku yakin pria itu telah melihat tindakan bodoh ini berkali-kali. Dia bergeming, aku rasa aku butuh masa bodoh itu. Rasa kasihan tidak ada gunanya bagiku.

Wanita itu mulai menyobek roti yang ia beli, menyuapkan potongan kecilnya ke dalam mulut. Sesuatu menepuk bahuku, pria itu telah berjalan keluar pintu. Memutar knop, aku berbalik, memandang sosok wanita paruh baya itu sekali lagi. Sesuatu mengalir dari ujung mataku, ternyata aku masih memiliki air mata.

“Aku ingin sekolah.”

“Suasananya masih belum berubah,” ucapnya sembari mencoba memandang langit.

“Aku penasaran saja. Lagipula, aku tidak memiliki banyak tempat lain.”

Aku masih di sini. Melihat birunya langit, berjalan di atas kerasnya aspal. Beberapa kali berpapasan dengan orang lain, aku tidak takut apabila menabraknya. Lagipula, dia tidak akan merasakan apa-apa. Kami berjalan, ia yang memandang langit dan aku yang memandang dedaunan gugur. Kami berjalan, entah kenapa aku mencoba mengikuti ritme langkah kakinya. Kami berjalan, ya, diriku yang tidak bertanya lebih kepada si pemandu. Aku sendiri tidak tahu bagaimana aku bisa setenang ini, bagaimana aku bisa menerimanya begitu saja. Keadaanku, apa yang akan terjadi padaku nantinya.

Rambut pirang yang aneh, aku melihat seorang gadis seumuranku di taman seorang diri. Mengenakan seragam yang sama, sangat aneh ini pertama kali aku melihatnya. Warna kuning yang lembut, menutupi wajahnya ketika ayunan itu jatuh dari posisi tertingginya. Bolos untuk menyediri di taman ini, sepertinya aku tidak sendirian. Dari ekor mataku, pria itu seperti juga memandangnya.

“Ah, dia…”

Aku menoleh, “Kenalanmu?”

“Tidak, dia manusia, setidaknya itulah yang kudengar.”

Ketika aku kembali, sepasang mata biru gelap menangkap kami. Memandang lembut, ia melempar senyum kecil. Dia bisa melihat kami.

Meninggalkan gadis itu, aku dapat melihat tempat aku menghabiskan masa muda—yang sayangnya tidak penuh. Melewati gerbang sekolah yang tertutup, suara langkahku tidak bergema di lorong yang kosong. Pertama kalinya aku merasakan kebebasan semacam ini. Berlari, melompat, menari, bernyanyi, bahkan berteriak sekuat tenaga. Masa bodoh dengan tatapan aneh di belakangku. Menaiki anak tangga satu per satu, tepat di ujung jalan ini. Kosong, jadwal pelajaran hari ini terlintas di kepalaku. Aku berjalan menuju jendela, melihat salah satu temanku berlari sekuat tenaga mengelilingi lapangan. Barisan pertama, dari posisiku sekarang berarti di pojok kanan. Berjalan beberapa langkah ke depan, aku masih bisa merasakan dinginnya meja di ujung-ujung jari ini. Sebuah karangan bunga, entah kenapa aku membuat senyum walau tidak menyukainya. Bagaimana aku mengatakannya, mengasihani dirimu sendiri? Aku rasa pria yang sedari tadi mengikuti akan lebih paham dengan perasaanku sekarang. Belajar, menulis coretan bodoh, memakan bekal, bercerita asik, dan sesekali tertidur di atasnya. Bodohnya, aku menghabiskan waktu untuk meja ini.

“Aku rasa ini sudah cukup.”

“Yakin?” ia melihat ke arah pergelangan tangannya, “masih ada banyak waktu.”

“Seperti yang kubilang,” aku memandang ke luar jendela, “tidak banyak yang ingin kulakukan.”

Suara langkah kakinya bergema, seorang gadis berambut pendek. Ia berjalan begitu saja ke arahku, memberiku rasa takut tidak beralasan. Merogoh tasnya, ia pemilik meja di sebelah. Aku rasa beberapa hari merupakan waktu yang singkat, ia masih belum berubah. Setelah menemukan sebuah pulpen, gadis itu memandang menembusku.

“Seharusnya aku ada di situ…,” ucapnya sebelum berlari keluar kelas.

“Sayangnya itu tidak akan merubah apapun,” gumam si pria setelah gadis itu tidak ada.

Merasakan setiap langkahku, menikmati waktuku di antara keheningan saat jam pelajaran. Seperti yang kuduga, gadis pirang itu benar-benar bolos. Terkadang aku juga sepertinya, dan aku tidak menyesalinya. Berkata masa bodoh dan pergi meninggalkan kelas, menikmati waktu sendiri walau hanya bermain dengan kucing yang kutemui. Sedikitpun tidak ada penyesalan. Saat ini, aku sadar itulah hidup. Mungkin karena itu juga aku tidak memiliki banyak hal yang ingin kulakukan sekarang.

Berada di depan sekolah, pria itu menungguku tuk kembali melangkah.

“Apa kita bisa mengakhirinya sekarang?”

“Tentu saja. Tempat yang kamu minta tidak jauh dari sini, aku rasa kamu tahu.”

Kali ini, ia berjalan di depanku. Punggung lebarnya, badan tingginya, wajahnya yang tidak terlalu tampan. Kurasa cerita yang dulu kudengar tidak benar. Dia hanya tampak seperti pria yang tidak tidur dua hari, itu saja. Sekedar pria suram yang kelalahan. Sekarang, hari ini, hanya pria itulah bisa kuberbicara. Kurasa tidak seharusnya aku mengingat semua ini, air mataku mulai muncul kembali, kan.

Apa yang pria itu katakan benar, aku tahu tempat ini. Sebuah pohon berdaun rontok, sebuah sungai dengan air yang tidak bisa kubayangkan dinginnya. Aku tidak bisa berharap lebih dari musim gugur. Aneh sekali, aku tidak menyangka akan menjadi abu. Bukan pilihan yang buruk, aku menerimanya, aku hanya bisa menerimanya. Setidaknya mereka tahu tempat ini berarti bagiku.

“Kau tahu, suatu hari aku bertemu dengan seseorang di sini.”

“Wanita bergaun merah muda?”

Aku menoleh, “Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Kamu akan bertemu dengannya lagi.”

Aku terdiam tuk beberapa saat dan akhirnya menyadari perkataanya, “Begitukah.”

“Disaat aku ingin berakhir berenang bersama ikan, dia memberiku semangat dan alasan tuk tetap bernapas, walau ironisnya beberapa tahun kemudian aku berakhir terlindas mobil. Sejak saat itu aku selalu mengunjungi tempat ini di akhir pekan. Sekarang aku tahu kenapa aku tidak pernah bertemu dengannya sejak saat itu.”

“Begitukah,” pria itu memandang air sungai yang mengalir tenang, “aku harap kamu tidak menyesal tentang hari ini.”

“Tenang saja, ini satu hari yang menyenangkan.”