#Slice of Life 

Warna


“Jadi kali ini pohon, ya?”

Menoleh, mata lembut miliknya menyapaku, “Begitulah, sudah dua hari ini aku mengerjakannya.”

“Dua hari?” aku mulai mengingat sesuatu, “apa karena aku?”

Ia mengeluarkan tawa yang hampir tidak terdengar, “Tapi aku tidak akan menggambarmu yang sedang memanjat.” Aku sendiri tidak melakukannya karena senang. Kertas ujian yang tiba-tiba terbang dan menyangkut di salah satu ranting, untungnya aku tidak memakai rok. Kurasa semua usahaku untuk menjadi gadis feminim percuma di hadapan pria ini. Lagipula, aku tidak terlalu memikirkannya. Sifat kami berkebalikan, kurasa karena itulah. Aku tidak menyangkal perkataan bahwa kami pasangan yang bisa saling melengkapi.

“Lomba?”

Ia menggeleng tanpa menghentikan tangannya, “Untuk menghabiskan waktu.”

Diriku yang sedari tadi berada di ambang pintu berjalan mendekat. Kelembutan dirinya tertuang di setiap garis yang ia buat, walau begitu ini bukanlah yang terbaik darinya. Menjatuhkan pantatku ke atas sofa, mengambil buku yang kutinggal kemarin, mulai membalik halamannya. Sebagai anggota yang tidak seharusnya tidak ada, inilah yang kulakukan. Membaca, melihatnya melukis, membaca. Anggota klub melukis memang ramah-ramah, atau lebih tepatnya mereka terlalu serius dengan senioritas. Aku hanya menghabiskan waktu, mereka tidak masalah.

Apa yang terlukis adalah pohon yang berada di belakang halaman sekolah. Dari balik kaca, aku dapat melihatnya. Sesekali melirik, kemudian tangan kurus miliknya kembali membuat goresan demi goresan. Mungkin karena waktu yang kuhabiskan di sini, apa yang ia kerjakan baru setengah selesai. Jika ia sudah puas, kurasa akan lebih cepat selesai. Aku sendiri tidak pandai menilai keindahan sebuah lukisan, kalau boleh jujur, menurutku semua sama saja. Setiap kali kalimat itu keluar dari mulutku, ia tertawa sembari berkata “Aku akan melukis sesuatu yang berbeda.”

“Tiga minggu lagi, ya…,” ia bergumam di tengah-tengah.

Aku berpikir sejenak, “Ingin lanjut melukis?”

“Jika sebagai hobi, maka iya. Kurasa aku akan mengambil yang lebih pasti.”

Aku mendengaus tanpa sengaja, “Enak ya jadi orang pintar, semudah itu ngomongnya.”

Tangannya berhenti, ia menaruh kembali kuas itu. Berjalan mendekat, menjatuhkan badannya di sebelahku. Kepalanya menengadah.

“Apa kamu masih ingat ucapan Kakek?”

Wajah penuh kerutan pria itu itu terbesit di kepalaku, “Ti-tidak.”

“Seperti biasa kamu gak jago berbohong.”

Akan lebih baik jika aku bisa mengucap dusta semudah bernapas, “Ada apa dengan itu?”

“Aku berpikir untuk mencarinya.”

Diriku tiga tahun lalu pasti melompat kegirangan ketika mendengarnya sekarang. Aku paham jelas apa yang ia maksud, hingga sekarang sebagian kecil dari diriku masih memegang teguh perasaan itu. Apa yang diceritakan pria itu ketika kami masih kecil selalu dapat membuat mata kami berbinar terang. Memberikan harapan, dasar pria tua yang menyusahkan. Apa kamu berharap dua anak biasa seperti kami bisa merubah dunia. Mungkin saja, apa yang ia ceritakan adalah kenyataan, bukan sekedar dongeng untuk anak-anak. Yah, kemungkinan yang sangat kecil.

“Itu cuma bualan belaka, tidak ada gunanya memikirkannya.”

“Walau begitu aku merasa dia tidak berbohong.”

Akhirnya aku menutup buku yang kugenggam, “Tapi belum tentu juga itu benar.”

Jari telunjuk miliknya mengarah ke lukisan setengah jadi itu, “Apa kamu tahu warna apa pohon itu?”

Aku terdiam sejenak, kemudian menggeleng.

“Aku juga. Semua orang juga.”

Apa yang ia katakan adalah kenyataan dunia ini. Apa yang telah ia buat di atas kanvas adalah pohon yang terletak di belakang halaman sekolah. Hitam dan putih, itu saja. Itu adalah lukisan, memang itulah pohon yang ia lukis. Hitam dan putih. Apa yang menjadi daun berwarna hitam, apa yang menjadi ranting dan batang berwarna putih. Aku tidak berbicara puitis atau semacamnya, memang itulah yang kami lihat. Sekedar hitam, tidak lebih dari putih. Apa yang mereka sebut “warna”, aku tidak pernah melihatnya.

“Merah, biru, ungu, hijau, dan banyak lagi…”

Aku sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang baru saja pria itu ucapkan.

Sejak aku lahir, konsep warna sudah tidak ada. Entah apa seseorang mengambilnya atau lenyap begitu saja, dunia telah kehilangan warnanya. Membedakan sesuatu berdasarkan corak, ukuran, rasa, tekstur, bentuk, kami masih bisa merasakan dan melihat hal lainnya. Apa yang dulu memenuhi dunia, tiba-tiba hilang begitu saja. Kakek—entah benar atau tidak—adalah salah satu orang yang pernah melihatnya. Ia bercerita sebarapa “biru”-nya laut, “hijau”-nya daun, “merah”-nya api. Kenyataannya, diri kami yang masih kecil hingga sekarang, tidak pernah bisa memahami ucapannya. Tidak ada satupun di generasi kami yang pernah melihatnya, dan tiada pula lagi yang berasal dari generasi pria itu itu. Tiba-tiba saja orang di sebelahku berkata ingin mencari sesuatu yang tidak pernah siapapun lihat, dengan senang hati aku melempar buku ini ke wajahnya.

“Jadi, apa kam—”

“Enggak!”

“Aku belum selesai ngomong.”

“Lagipula belum tentu warna itu ada. Bagaimana kamu mencarinya?”

“Entahlah, mungkin berkeliling dunia?”

“Kalau gak ketemu juga?”

“Ayo berkeliling sekali lagi.”

“Aku tidak pernah melihatmu semangat seperti ini.”

“Sebenarnya aku juga bingung kenapa aku bisa seperti ini,” ia kembali menatap langit-langit, “jadi?”

Hanya ada satu jawaban yang bisa kuberikan.