#Psychological #Slice of Life 

Aku Dengar Tidak Ada Penderitaan di Sisi Lain


Sejak awal Ayah memang tidak ada, beberapa tahun kemudian Ibu menghilang. Tidak bisa melihat, tidak bisa berjalan, dan sebentar lagi kehilangan suaranya. Adikku. Dan, diriku, kakak yang tidak berguna. Pasangan manusia rapuh dan perwujudan keputusasaan yang tersesat di tempat terkutuk bernama “kehidupan”. Alasanku bisa hidup adalah keberadaan dirinya, ia bisa hidup berkat hasil kerja kerasku. Menyedihkan, bukan? Seperti menjilat luka satu sama lain, kami saling memanfaatkan. Walau senyum itu selalu memberiku lampu hijau tuk pergi meninggalkanya, aku tidak bisa. Aku tidak ingin menjadi si brengsek, atau menjadi lacur itu. Walau aku mengatakannya, aku tetaplah seorang kakak yang tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya bisa melihat adik perempuannya terbaring menderita digerogoti penyakit sialan hari demi hari.

“Waktu jenguknya sudah habis,” ketus seorang perawat dari belakangku.

Kuusap lembut rambut kusut miliknya, “Kakak akan ke sini lagi besok.”

Wanita itu menghadangku di dekat pintu, bersandar kepada dinding dingin dengan satu tangan di saku. Aku bisa mencium bau asap dari napasnya.

“Minggu depan terakhir, tak ada lagi penambahan waktu.”

“Saya mengerti…”

Ia berjalan melewatiku, “Setidaknya jangan buat adikmu menderita lebih lama.”

“Tentu saja aku tahu itu… sialan…,” hanya ada aku seorang di lorong rumah sakit ini.

Untuk membayar biaya pengobatan dan kebutuhan hidup aku bekerja serabutan. Apa lagi yang bisa dilakukan sampah yang membuang bangku SMP-nya bisa dapatkan selain itu. Bekerja paruh waktu di sebuah minimarket dan bekerja sebagai kuli ketika ada tawaran. Tentu saja itu tidak cukup, aku menambah jam kerjaku sebagai pelayan hingga larut malam, dan—secara tidak mengejutkan—masih belum cukup. Aku berhutang. Tidak banyak, tapi ada. Makan dua kali sehari jika beruntung, lauk yang masih segar apabila sangat beruntung.

Aku menderita.

Aku menderita.

Menderita. Berteriak. Berteriak. Berteriak. Berteriak. Berteriak. Menangis. Menangis. Menangis. Menangis. Bagaimana kalau bunuh diri saja?

Tidak, tidak, tidak mungkin…

Ia masih ingin hidup, adikku, ya, dia masih ingin hidup. Aku harus membuatnya terus hidup. Aku harus menjaga satu-satunya alasanku berada di tempat brengsek ini.

Ya, aku harus hidup.

Aku harus melewati semua penderitaan ini.

Hari-hari dimana aku bekerja sebagia budak uang, tidur dengan kelaparan, bangun dengan badan yang semakin mendekati kematian, menerima cacimaki karena ketidakbecusanku.

Itu semua biasa, kan?

JANGAN BERCANDA, SIALAN!

“Hey, berhentilah melamun dan cepat bawa kayu-kayu itu!”

“Ah, maaf,” dengan cepat aku membuyarkan semua pemikiran itu dan kembali menggerakkan tangan.

Hari ini aku bekerja di sebuah konstruksi karena mereka kekurangan orang. Dari sekian banyak pekerjaan yang satu inilah yang paling berat dan menghasilkan. Jika aku terus bekerja di sini selama beberapa hari dan menambah jam kerjaku sebagai pelayan, aku akan bisa membayarnya. Aku masih bisa membuatnya terus hidup, aku masih bisa menjaga senyumnya, masih ada alasanku tuk bernapas sekali lagi. Ya, semua akan baik-baik saja, aku yakin itu. Aku yakin— Tempat tinggalku telah luluh lantah rata dengan tanah.

Terbakar habis.

Hangus.

Pakaian, uang, segalanya. Semua menjadi abu tepat di depan mataku dan aku—manusia yang tidak berguna—hanya bisa melihatnya dilahap kobaran api. Kejadian ini bukan salah siapa-siapa kecuali nasib sialanku. Dari tumpukan arang, beberapa lembar pakaian, dan sebuah foto. Di dalamnya, seorang gadis berbadan mungil tersenyum lebar sembari menggandeng bocah ingusan yang penuh dengan luka. Di atas tumpukan arang, kupeluk selembar kertas itu seerat-eratnya sembari berderai air mata. Aku benar-benar telah kehilangan segalanya, baik tempat tinggal maupun harta. Hanya tersisa pekerjaan dan seorang gadis sekarat. Esoknya, hanya tersisa gadis sekarat itu.

Aku dipecat. Menjadi pengangguran.

Konstruksi dihentikan karena dananya melebihi ekspetasi.

Dua tempat sisanya akhirnya menggunakan alasan “kelebihan pegawai” walau aku tahu sebenarnya mereka sudah muak dengan kinerjaku.

Hahahaha… aku benar-benar sial, bukan?

Setelah tempat tinggal kemudian pekerjaan, HABIS INI APALAGI?!

Persetan dengan takut akan kematian, aku akan menyambutnya dengan tawa bahagia dan bahkan menari kalau biasa. Takdir yang sudah merenggut segalanya dariku. Diriku yang telah menyerahkan segalanya. Cita-cita, keinginan, kebebasan, waktu… bahkan kehidupan. Dalam waktu sehari—tidak—sekejap mata, semua pengorbanan menjadi sia-sia.

Aku sudah tidak memiliki rumah.

Adikku akan ditendang keluar dari kasurnya dan mati begitu saja.

Aku akan mati.

Kami akan mati.

Ponselku bergetar, sebentar lagi jam kunjungku akan berakhir. Aku harus cepat, tapi ada satu hal yang perlu kulakukan sebelumnya. Sebuah hadiah, ya, aku harus membawakan sebuah hadiah untuk adikku tercinta. Aku tahu seorang bajingan yang memilikinya dan akan memberikannya kepada kakakmu ini begitu saja. Tunggulah, adikku, kakakmu yang tidak berguna ini akhirnya bisa memberikan sebuah hadiah yang akan membuatmu bahagia selemanya. Selamanya.

“Ka…kak…”

“Ya, ini kakakmu tercinta, loh.”

Sepasang mata itu membuka, tapi hanya sekedar membuka. Yang tercermin darinya merupakan kekosongan, sekedar itu. Rambut kusutnya yang dipotong pendek, bibir tipisnya yang menggigil dingin bergerak gemetar. Dengan kedua lengan ini aku memeluk erat badan rapuhnya, membagikan kehangatanku hingga ia mencoba tuk meronta. Kulepaskan bius yang menusuk nadi tangannya, mengusap pipi lembut nan dingin miliknya, membopongnya keluar dari kamar putih memuakkan miliknya.

Aku membawanya pergi menuju gemerlap kota yang ia ingin lihat.

Tubuhnya lebih ringan dari yang kukira, tangannya mengalung erat leherku, ia tersenyum lembut tanpa sepatah kata. Aku tidak bisa menahan kebahagiaan ini dan sedikit tertawa, di antara kerumunan orang aku tertawa. Saat segala beban itu lepas dari pundakku sangatlah menyenangkan, aku merasa bebas, aku merasa bisa melakukan apa saja. Aku sudah tidak takut apapun.

“Aku… sayang… kakak…”

“Kaka juga, Hya, kakak juga sangat menyayangimu,” kudekatkan wajahnya denganku, “Hya, hari ini kakak bawah hadiah untuk kita berdua, loh. Sebentar lagi akan kakak tunjukkan.”

Tempat ini sepi sepert biasa, sebuah taman. Aku masih ingat betul sosoknya yang berlarian dengan riang di taman ini, dan diriku yang susah payah mengejarnya. Jika kupikir-pikir, hanya tempat inilah kebahagiaan kami berada. Kurasa memilihnya memang tepat. Aku harap Hya juga senang dengan tempat ini.

“Lihat apa yang kakak punya, Hya.”

Walau percuma aku tetap melihatkan apa yang kubawa kepadanya. Sebuah benda dingin yang terbuat dari besi dan berisi bubuk mesiu, benda yang dapat membunuh orang dengan sekejap. Pistol. Saat kukatakan alasanku, bajingan itu dengan senang hati meminjamkannya dan akan mengambilnya di sini pagi harinya. Untuk pertama dan terakhir kalinya aku berucap terima kasih kepadanya.

“Apa kamu senang dengan hadiah kakak?” tidak ada jawaban, “Sebenarnya kakak juga tidak ingin melakukannya.”

Kugenggam wajahnya dan membuat mata kosong itu menatapku langsung. Ia masih tampak cantik, bahkan lebih cantik dari biasanya. Sesaat ada keinginan tuk mengurungkan semua tindakan gila ini, ketika darah segar mengalir dari bibir bawahku perasaan itu pun sirna.

“Aku rasa tidak ada cara lain bagi kita berdua, huh?”

Gadis mungil yang ada di pelukanku ini terus menderita selama hidupnya dan akan terus menderita hingga akhir hayatnya. Yang dia rasakan hanyalah kesepian dan rasa sakit di dunia gelap miliknya. Diriku—yang seorang kakak tidak berguna—hanya bisa melihatnya sengsara dari samping tempat ia berbaring dan berteriak dalam hening. Benar-benar tidak ada cara lain lagi, kan, Hya?

“Ka…kak…”

“Tenang saja, kakak selalu ada di sini bersamamu.”

“Hya… aku dengar tidak ada penderitaan di sisi lain.”

Suara terakhir yang kudengar adalah letusan dari sisi kepalaku dan sebuah “Terima kasih”.