#Romance #Slice of Life 

Ia yang Terbangun


Dari celah kelopak mata, aku dapat melihat seberkas cahaya. Perlahan semakin terang dan akhirnya memenuhi pandangan buramku, sebuah lampu. Menoleh sedikit, sebuah ruangan asing yang terasa familiar. Berdinding putih bersih, sebuah jendela, dan seorang pria. Aku tersenyum, entah bagaimana ia terlihat lebih tua dalam beberapa hari saja. Rambutnya yang selalu dipotong bersih hampir menutupi daun telinganya, pipinya menirus, terlihat begitu lelah sepasang mata miliknya membaca buku. Menggerakkan jari-jemari yang terasa begitu kaku ini, kumencoba tuk meraih tangannya.

“Sa…” aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku, mulutku sangat susah digerakkan.

“Violet?! Kamu bangun?! Dokter! Kumohon, tunggu sebentar!”

Suaranya terdengar begitu keras di kepalaku, begitu pula dengan yang dibuat bukunya ketika terhantup keramik kamar. Kabut yang memenuhi bola mataku mulai menghilang, ternyata bulan telah menggantikan pasangannya. Melihat ke telapak tanganku yang kering, beberapa suntik bius tertancap. Butuh waktu hingga aku bisa cukup bebas menggerakkan lenganku, walau begitu aku sudah bisa mengubah posisiku setengah duduk sebelum ia datang.

Pria itu—yang selalu tampak tenang bahkan di hari terpenting kami—bercucur keringat dingin hingga membasahi kerah kemejanya. Seorang pria berjas putih mengikutinya dengan wajah yang tak kalah kaget dari pria yang membawanya. Aku mencoba tuk tersenyum kepada mereka, namun yang kudapati adalah rasa khawatir mereka semakin menjadi-jadi. Dengan lembut kekasihku mencoba tuk kembali membuatku tidur namun aku menolaknya, posisi seperti ini lebih enak untuk berbicara dengan mereka. Si dokter yang terlihat masih tidak percaya terus memandangiku dari ujung kepala hingga setengah badan.

“Badanmu masih lemah, tidurlah,” sekali lagi ia bersikeras.

Aku menggeleng pelan, “Aku tidak enak kalau harus berbicara sambil tiduran.”

“Permisi, saya harus memeriksa kondisi anda terlebih dahulu.”

Mereka melakukan berbagai macam pemeriksaan yang menurutku cukup banyak untuk seseorang yang sekedar bangun dari pingsan. Aku menurut saja sembari terus mengatakan “aku baik-baik saja” kepada lelaki yang menungguku dari pintu masuk. Langsung pria itu melangkah cepat ketika pemeriksaan selesai, sepasang tangan miliknya menggenggam erat tangan kiriku, terlalu erat. Kuusap lembut rambutnya ketika ia menunduk dan mulai menitiskan air mata, sejujurnya aku tidak tahu apa yang ia tangisi. Aku hanya pingsan saja, kan?

“Hari ini saya menyaksikan keajaiban terjadi,” ucap dokter itu sembari menatapku kagum.

“Apa maksud anda, dok?”

“Lima tahun… lima tahun kamu koma, Violet…”

Segera aku menoleh kepadanya, yang masih meremas tanganku dalam genggamannya, yang tetesan air matanya semakin berderai deras.

Lima tahun aku koma.

Lima tahun.

Aku koma?

Kepalaku terasa sangat sakit ketika mencoba tuk mengingatnya, aku tidak ingin pria di sebelahku semakin khawatir dan menyerah. Aku percaya padanya. Dia yang sekarang berada di sisiku—yang tanpa henti menunggu dan terus menunggu akan datangnya hari ini—yang menangis penuh kebahagian. Suamiku tercinta.

Setelah aku rasa bisa menggerakkan tangan yang satunya, segera kudekap dirinya, aku ingin ia mengeluarkan semua perasaan yang telah terpendam itu. Pria paruh baya yang mengenakan jas putih itu tersenyum kecil tuk pamit pergi. Sembari mengelus punggung lebar miliknya, butuh waktu beberapa menit hingga ia mengusap mata merah miliknya. Tiba-tiba saja aku merasa khawatir dengan bau tubuhku ketika melihat bekas basah tangisannya. Bagaimana dengan rambutku? Apa aku terlihat kacau? Tidak, aku baru saja bangun dari koma, bukan itu yang seharusnya kukhawatirkan. Tapi…

“Aku selalu percaya kamu akan sadar, selalu.”

“Terima kasih—”

Secara tiba-tiba ia menarik tubuhku ke dalam pelukannya, mengalungkan lengan-lengan miliknya hingga punggungku, aku dapat mengingat aroma sampo miliknya. Ia terus menungguku, menanti akan datangnya hari ini, diriku yang koma.

“Violet…,” panggilnya dengan suara yang masih sedu sedan.

“Jangan menangis lagi, aku gak bakal pergi, kok.”

“Violet… Violet… Violet, Violet, Violet, Violet, Violet.”

“Jangan menyebut namaku terus, aku jadi malu kalau ruang sebelah dengar.”

“Violet, Violet, Violet, aku tahu kamu bakal membuka mata.”

Ini bukan pertama kalinya aku melihat sisi kekanak-kanakannya, dia benar-benar sudah bekerja keras. Aku mungkin tidak akan pernah tahu seberapa menderitanya penantian suamiku hingga aku mati, tapi aku tahu apa yang harus aku lakukan sebelum itu. Aku harus menjadi pasangan yang berhak menerima kesetiaan miliknya. Menjadi istri terbaik baginya. Yah, walau aku yakin dalam lima tahun ini sudah banyak yang berubah, aku harus tetap berusaha. Butuh beberapa menit hingga ia kembali mendapatkan ketenengannya, aku harus mengompres matanya setelah ini. Aku terus berbalik melihat pemandangan luar jendela dengan kamar ini, dan satu hal yang kudapat. Aku lebih senang di luar. Mendapati sebuah syal menggantung, kupinta suamku tuk mengambilkannya.

“Aku ingin pergi ke situ,” ujarku sembari menunjuk jendela.

“Apa kamu yakin? Badanmu masih lemah, sebaiknya kamu istrihat saja.”

“Jadi setelah lima tahun ini kamu mulai meremehkan istrimu, ya?”

Walau aku mengatakannya dengan maksud bercanda, ia menanggapinya dengan serius dan segera pergi tuk meminta pendapat dokter. Aku rasa lima tahun belum cukup tuk mengubah sikapnya yang terlalu serius itu—aku tertawa tuk pertama kalinya sejak sekian lama karenanya. Ia kembali dengan sebuah kursi roda, aku tidak terlalu senang dengan benda itu, entah kenapa aku merasa lemah jika berada di atasnya. Walau begitu aku tidak bisa berbohong mengenai kakiku yang terasa seperti bongkahan batu ketika kumencoba tuk menggerakkannya.

“Sini biar kubantu,” tawarnya ketika melihatku kesusahan.

“Gendongan ala tuan putri.”

Ia menghela napas, “Baru saja sadar dan meminta hal yang aneh, dasar.”

Ketika tangannya yang menyelip di bawah punggung dan pahaku mulai mengangkat, aku merasa sedikit kaget dan mengalungkan tangan di lehernya. Seharusnya berat badanku turun akibat koma, kan? Kan?

Taman yang cukup luas untuk sebuah tempat yang berada di antara bangunan rumah sakit. Daun kuning kering berserakan dimana-mana, tidak seharusnya aku meremehkan angin musim gugur. Dengan cepat suhu tubuhku menurun dan tanganku mulai menggigil dingin, di sinilah dirinya yang perhatian turun tangan menyelimutiku dengan mantel tebalnya. Perlahan, ia mendorongku mendekati pohon kering yang telah rontok daunnya. Sembari melihatnya, sosoknya mengambil tempat di sisiku.

“Lima tahun… mau bagaimanapun aku masih belum bisa percaya,” kataku sembari mengumpulkan kehangatan dengan menggosok kedua tangan.

“Begitukah. Saat ini tidak ada lagi yang memenuhi hatiku selain perasaan bahagia.”

“Apa-apaan itu? Kenapa tiba-tiba jadi puitis,” ujarku sembari tertawa kecil.

Ia tersenyum, “Sudah beberapa kali aku ingin menyerah, tapi aku bersyukur sudah memilih tuk menunggumu.”

“Sekali lagi, terima kasih. Terima kasih karena sudah menungguku, terima kasih karena sudah setia, terima kasih karena telah percaya. Dan, maaf. Maaf karena sudah membiarkanmu menunggu, maaf karena sudah membuat kesusahan, maaf karena telah koma selama lima tahun ini. Aku merasa telah menjadi istri yang payah sekarang.”

Air mulai menetes dari ekor mataku, turun membasahi pipiku, memberikan sensasi dingin ketika diterpa angin musim gugur. Aku dapat merasakan tangan besarnya di atas kepalaku, mengelus lembut rambutku, membagi kehangatannya. Dengan syal ini aku mencoba tuk menyembunyikan suaraku, membasahinya dengan air mata, aku dapat mencium aromanya disetiap tarikan napasku.

Aku benar-benar bersyukur telah memiliki seorang suami seperti dirinya.

Sungguh. Terima kasih.

Kukuatkan jari-jariku di atas pegangan kursi, kucoba tuk menggerakkan kakiku yang terasa beku bagai es. Aku ingin berdiri. Aku ingin berjalan. Aku ingin memeluknya.

“Hey! Apa yang kamu lakukan?!”

Aku memintanya tuk diam dengan mengernyitkan mataku. Kembali menarik langkah miliknya, dirinya mengurungkan niat dan melihatku sembari dipenuhi rasa khawatir.

Sesaat aku hampir terjatuh saat kursi yang kujadikan tumpuan mulai bergoyang, namun kakiku yang sudah menapak mulai mendapatkan kembali kekuatannya dan berhasil membuatku berdiri walau sedikit goyah.

“Lihatlah aku, sayang,” ucapku sembari membuka lebar kedua tangan.