#Mary #Gore #Slice of Life 

Cerita Terakhir Temanku


Aku tidak pernah senang ketika mendengar suara langkah kaki itu. Berat, suara derit, dan rasa sakit yang dibawanya. Keempat—tidak—ketiga kalinya, aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Tidak pula sakit, aku rasa air mataku sudah kering. Ketika pria menyebut dirinya “temanku” mulai melepas celananya, tubuhku yang ia guncangkan mati rasa. Aku ingin mati rasa. Aku ingin mati. Sekarang.

Aku sudah melupakan bahwa aku sebenarnya seorang gadis kecil.

Sekarang, aku hanyalah salah satu properti miliknya.

Salah satu boneka yang bisa mengerang.

Tidak perlu diberi makan, dipakai ketika ia merasa bosan dengan boneka lainnya. Bermain denganku, dengan tubuhku. Bagaimana aku bisa berada di sini? Entahlah, mungkin saja aku diculik, mungkin kedua orang itu menjualku demi uang, atau membuangku di tempat sampah. Ah, aku rasa yang kedua, tidak… lagipula, itu tidak penting sama sekali sekarang. Ya, tidak penting. Sama seperti diriku.

Semangatku tuk menghitung bergantinya hari sudah lama sirna, merasa masa bodoh atau hanya keputusasaan sudah menguasai diriku. Dalam ruangan dingin ini, diriku tidak sendiri, ada mereka yang seumuran denganku. Ada yang susah payah mengambil napas, adapula yang telah membusuk. Terkadang aku merasa iri kepada mayat tanpa mata yang terbujur di pojok ruangan, tidak masalah tuk berbagi sedikit kedamaian itu bersamaku, kan? Tentu saja dia tidak ada jawaban, dia sudah mati. Dengan sepasang tangan terantai ke langit-langit, memaksaku berdiri sedikit melayang bersandar pada dinding besi. Digantung, itulah posisiku sekarang. Semacam daging di rumah potong, yang berbeda daging di sini tidak dijual, mungkin.

Mengigit lidahku sendiri, menyiksa diri dengan kelaparan, beri aku benda tajam dan akan kugorok leher milikku ini dengan senang hati, aku akan tersenyum sangat lebar jika dicekoki obat yang bisa membunuhku dan mengucapkan terima kasih. Tapi tidak. Pria itu selalu datang tepat waktu tuk menghentikanku tuk mendapatkan surga. Membuka mulutku dengan paksa dan memasukkan kembali apa yang telah keluar dari tubuhku hingga keluar dari kedua lubang hidung. Dengan cepat ia akan menghentikan pendarahanku, mengekangku agar terus berada di neraka miliknya.

Apakah kematian benar-benar permintaan yang egois untuk gadis kecil sepertiku?

Apa aku tidak boleh menerimanya?

Hey, aku hanya ingin mati.

Aku tidak ingin bernapas lagi, aku tidak ingin merasakan detak jantung ini lagi, aku tidak ingin merasakan sakit lagi.

Aku ada mengatakan kalau tidak sendiri di sini, kan? Terlepas dari dua onggok daging busuk itu, ada tiga lagi yang menelusuri neraka yang sama. Kalau jari tangan dan kaki tidak dihitung, di antara kami berempat hanya aku yang “lengkap”. Untuk sekarang. Melihat satu dua potong daging kami tergeletak di atas tanah sudah hal terbiasa, lagipula aku merasa hanya darah segar dari anak kecil yang cocok untuk jadi cat ruangan ini. Ah, aku juga menggambar sesuatu sebagai hiasan. Ketika ia memotong jari telnjukku karena berteriak, aku menggambar sebuah rumah dengan darah kental yang mengalir dari ujungnya. Aku juga menambahkan tiga sosok orang di dekat rumah itu, masing-masing sama dengan satu jariku. Mungkin seorang Ibu, mungkin seorang Ayah, dan aku tidak yakin apakah itu diriku yang berada di tengah. Tidak ada jari di tangannya, mungkin memang benar itu aku.

Ah, soal temanku, ya, temanku. Yang terbaring lemas di seberangku—tepat di samping pintu besi berkarat—aku memanggilnya Kak Tersenyum. Yah, itu dulu sebenarnya, sejak wajahnya hanya menampilkan serat otot aku tidka lagi melihat senyumnya. Dia yang pertama kali menyapaku ketika aku membuka mata, menyambut kedatanganku. Kedua kakinya sudah diberi anjing, karenanya kami hanya bisa bertatapan dengan jarak di antara kami. Aku tidak tahu sebutan untuk satu mata melihat dua mata orang lain, jadi aku akan menyebutnya bertatapan saja. Suaranya sudah lama menghilang dari ruangan ini sejak mulutnya benar-benar hanya berupa lubang di wajah. Tanpa gigi, lidah, bahkan bibir. Dari matanya, kurasa Kak Tersenyum sebentar lagi akan mendapatkan kedamaian.

Sebentar, apa aku baru mengatakan kami berempat? Ah, maaf, ternyata hanya tersisa tiga. Yang kukira masih sengsara dan seharusnya kukenalkan setelah Kak Tersenyum adalah Kak Penyanyi. Sebenarnya aku tidak tahu apakah dia lebih tua dariku, bagaimana aku bisa tahu ketika aku datang yang tersisa dari wajahnya hanya daging? Yang lebih penting, dia memiliki suara yang merdu. Aku masih ingat sekali lagu yang ia senandungkan ketika Gadis Buku kehilangan tangan kanannya. Walau saat itu ia baru saja kehilangan semua gigi yang ada di mulut kecil itu, dirinya tetap mencoba tuk menyemangati yang masih hidup di sini. Apa yang menjalar keluar dari tubuhnya telah dipotong, dan sekarang ia dalam posisi digantung terbalik. Aku baru ingat kepala miliknya ditendang keluar minggu lalu.

Yang terakhir adalah favoritku, Gadis Buku. Seorang pemalu, menyeret tubuh setengah badan yang lebih kecil dariku. Dengan rantai yang menjulur dari pangkal paha yang putung, terakhir kali yang dia ambil darinya adalah sebelah mata dan sepotong tangan kanan. Hanya gadis tidak lengkap ini yang bisa kuajak berbicara, mungkin aneh, tapi ia masih bisa tertawa dan bahkan bercerita kisah dongeng panjang. Dia dimana? Ah, di bawahku, bersandar pada dinding, dengan satu tangan memeluk erat sebuah buku penuh bercak darah. Benar! Aku menyebutnya “Gadis Buku” ya karena buku itu. Kami semua—jika isi kepala kami masih ada—sudah hapal dengan cerita miliknya. Sesekali aku memintanya tuk berkisah, tuk menghilangkan keheningan mengerikan ini, tuk membuatnya tersenyum walau sesaat. Untuk diriku sendiri.

“Hey… apa kamu bangun?” kumencoba tuk menyentuhnya dengan kakiku namun tidak sampai.

Kepalanya yang tertunduk perlahan mulai termengadah, “Ada apa…, Mary?”

“Seperti biasa, tolong…”

Tawa kecil nan samar terdengar darinya, “Hmm, lagipula… makanan kita… belum datang… kan?”

Aku tak yakin apa ia bisa melihatku tapi aku tersenyum melihatnya.

Dengan ketiga jari yang tersisa di tangan kirinya, gadis itu mulai membuka sampul bukunya. Sebuah hamparan salju putih, namun entah darah siapa yang menodai warna sucinya. Ia tak segera membacanya, termenung, terdiam, entah apa yang ia pikirkan. Dan, darah mengiprat ketika ia batuk, sedikit gelap. Ketika kakiku mencapai tangannya, dengan lambat ia menoleh. Wajah kami bertemu, samar ia tersenyum, beberapa ekor lalat keluar dari lubang kosong yang dulunya terdapat sebuah bola mata.

“Maaf… Mary, aku akan mulai…”

Aku berdoa untuk kematian gadis ini, secepatnya. Bersama Kak Tersenyum, Gadis Buku ini menenangkanku dengan sebuah pelukan waktu itu. Mengusap tangisku, mengelus lembut rambutku dengan tangan kanan yang telah tiada, mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja walau jelas sekali itu sebuah kebohongan yang amat manis.

“Dalam dinginnya musim salju… gadis kecil itu berjalan… tanpa alas kaki… menggigil… dengan sebuah keranjang kecil…”

“Di jalan kota yang sepi… ia… ia… ia menjual korek api… ya… korek api…”

“Takut tuk pulang… takut akan amarah ayahnya… gadis kecil itu terus berjalan… memaksa kakinya yang telah membeku… menjajakan batangan kecil korek….”

“Tapi tidak ada yang membeli… mereka yang lewat tidak memperhatikan… seruan si gadis… ‘Apa anda ingin korek api?’… ‘Korek api, tuan?’… ‘Tolong, belilah korek api’… gadis itu… di setiap napasnya yang berat… berusaha sekaras mungkin…”

“Di sebuah gang… gadis itu memakai koreknya tuk… menghatkan diri. Dari pancaran api… ia dapat melihat sebuah meja yang… penuh akan makanan… sosok ayah dan ibu yang tertawa bersamanya… sebuah pohon natal dan kehangatan…”

“Gadis itu menyalakan kembali koreknya… terus ingin melihat pemandangan menenangkan itu… dan tampaklah Neneknya… sosok yang telah memberinya cinta dan kebaikan… sosok yang telah tiada….”

“Sekali lagi… sekali lagi… sekali lagi… gadis itu terus menyalakan koreknya agar bisa melihat Nenek tercinta… sekali lagi… sekali lagi… sekali lagi… dalam api kecil miliknya… sebuah dunia yang ia inginkan… sekali lagi… sekali lagi…”

“Sekali lagi… sekali lagi… ya… sekali lagi… hingga gadis itu menghambiskan semua korek apinya…”

“Akhirnya… gadis itu dibawa oleh sang Nenek ke surga… dan mereka hidup bahagia…”

“Selesai… bagaimana, Mary?” ia kembali menoleh, mencoba tuk melihatku yang tergantung berdiri.

“Terima kasih… aku harap kita bisa mati sepertinya, bukankah begitu, Matchi?”

Aku tak langsung mendapat jawaban, butuh waktu yang cukup lama hingga aku dapat mendengar ia menarik napas, “Kau tahu… Mary? Aku tadi seperti melihat… Ibu… dan… Ayah?”

“Apa yang mereka lakukan?”

“Tertawa, bersamaku… di taman hiburan… Ayah membelikanku sebuah es krim…”

“Apa es krimnya enak?”

“Hmm… sangat enak… aku suka… rasa stroberi… dingin… dan enak… Ibu tidak… menangis… Ayah tidak… memukulnya…”

Kembali ia batuk, kali ini terdengar lebih kasar, kali ini lebih banyak darah yang keluar. Aku rasa ia akan mencapai garis akhir lebih dulu, syukurlah.

Tuhan, terima kasih.

Aku mohon, berilah gadis ini kebahagiaan di Surgamu.

Berikanlah dia keluarga yang ia inginkan.

Kumohon.

Sekali saja. Demi temanku.

“Mary…”

“Ada apa, Matchi?”

“Terima kasih… terima kasih… terima kasih… terima kasih… Mary…”

“Matchi…” sudah sangat lama sejak terakhir kali aku mencoaba tuk menahan air mata, “apa kamu akan pergi?” “Mary… temanku… Mary…”

Dan, Gadis Buku telah mendapatkan kedamaiannya.

Pria itu datang keesokan harinya, dengan sebuah pisau besar yang tak asing. Ia menyeret Matchi ke tengah ruangan dan mulai memotong tubuh kecil miliknya. Tangan kurusnya, memenggal kepalanya, memotong-motong kecil tubuhnya yang tak lagi bernyawa.

“MATCHI!! MATCHII! MATCHIIIII! HENTIKAAAAAAN!!!!!”