#Psychological #Slice of Life 

Empat Pecundang dan Diriku


Satu menarik napas, semua melakukannya. Ia berkedip, begitu pula lainnya. Membasahi bibir keringnya dengan ludah, menengadahkan kepala, melihat langit kamar yang sama dengan cara berbeda. Secara bersamaan, namun tidak pula secara bersamaan. Kontradiksi, bukan? Itulah mereka… dan mungkin diri ini pula. Ada empat pecundang di ruangan ini, tidak kumasukkan diriku dalam hitungan. Untuk kali ini—diriku hanya diam dan mendengarkan—hanya ada mereka. Empat pecundang yang nyata, terkumpul karena melarikan diri dari hal yang sama. Rasa takut.

Ia menoleh—si pemalu yang selalu menenggelamkan wajahnya di balik buku tebal—melihat keluar jendela yang terhalang ranting pohon. Tak berdaun dan kering, aku menutupnya agar angin dingin tak berhembus masuk. Gadis itu mulai sadar akan sesuatu. Hal yang lumrah namun mudah terlupa, hal yang selalu menghantui tidurnya namun tidak terasa. Musim bergulir, waktu berlalu, mereka—diriku—bertambah tua. Apa yang ada di kepalanya adalah rasa nostalgia melihat ranting pohon kering itu. Dia bukanlah sosok pikun, lagipula tiada yang terlupa apabila tidak pernah diingat. Tidak salah lagi di pagi hari matanya terbuka pohon itu ada, di saat ia menaikkan selimut tetap tidak berpindah. Akan aneh jika tiba-tiba tidak ada, bukan? Walau begitu, gadis pemalu ini tetap merasa nostalgia melihatnya dan berkata:

“Empat tahun lamanya, waktu sungguh berlalu.”

“Benar juga, setelah sekolah dasar aku tidak pernah melihatmu.”

“Karena kamu mengambil tempatku, dasar pencuri!”

Gadis yang disebut pencuri itu tertawa lembut. Sosoknya anggun, feminim, kata ‘ramah’ itu sendiri mungkin ada karenanya. Disebut malaikat oleh para pria sebayanya, disebut sahabat terbaik oleh perempuan seusianya. Gadis sempurna, sangat sempurna, terlalu sempurna. Karena itu ia bersinar bagai matahari, karena itu pula ia tenggelam dalam malam setelahnya. Terlalu baik, mudah dimanfaatkan. Terlalu pengertian, mudah memaafkan. Setiap kali mereka tertawa, gadis itu memberikan sebuah senyuman. Mereka menertawakanmu, bodoh.

“Walau begitu aku juga tidak terlalu lama menggantikanmu,” wajahnya yang sempat suram kembali membentuk senyum, “tidak, aku sudah sangat senang dapat kesempatan melakukannya.”

“Apa-apaan sikapmu itu, tidak heran gadis itu memintaku tuk datang.”

Gadis ramah itu menoleh ke bahu kirinya, “Maafkan aku….”

“Cih, kok malah minta maaf.”

Satu kata yang keluar ketika kumemintanya tuk datang adalah “kuat”, dan itulah yang kudapat. Selalu berpegang teguh pada prinsipnya, berkata tidak jika tidak, membantu yang pantas ia bantu, mengatasi segala masalah dengan bertukar tinju. Ia melebihi ekspetasiku, jika boleh jujur kadang sikapnya membuatku kerepotan. Mereka mengatakan bahwa ia gadis bermasalah, namun bagiku—pada saat itu dan bahkan sekarang—selalu melihatnya dengan mata berbinar terang. “Aku ingin menjadi kuat sepertinya”, “Aku ingin bisa berdiri dengan sepasang kakiku sendiri”, “Aku ingin sepertinya”. Hingga hari itu datang menabrak kami, membuatnya berbalik dan berjalan pergi, kulihat punggung miliknya mengecil dan menghilang dalam gelap.

Tuk hari ini ia kembali.

Mereka kembali.

Kubawa mereka kembali.

Tuk bertemu sekali lagi.

Mengucap “sampai jumpa”.

Dan tak lagi memanggil.

“Setelah itu, aku pun datang!” ucap gadis yang selalu memilki energi berlebih. “Aku masih belum percaya orang seperti ini yang menggantikanku, apa dia benar-benar dibutuhkan?” aku tahu pertanyaan itu tertuju padaku namun kutetap diam.

“Mulutmu masih tajam seperti pertama kali kita bertemu, kakakku tersayang.”

Dahinya mengerut mendengar ucapan gadis itu, “Jangan panggil aku seperti itu, dasar palsu!”

Tawa gadis yang mengejeknya semakin menjadi-jadi. Kami dapat mendengar tawanya, namun tidak bisa tertawa bersamanya. Tentu saja tidak mungkin.

“Kenyataannya kita semua palsu, bukan?” ucap gadis pemalu itu.

“Begitulah, setidaknya sekarang aku yakin diri kita yang palsu ini dibutuhkan lagi.”

“Syukurlah, walau tidak seberapa aku merasa berguna.”

“Tentu saja! Dia gadis yang jauh lebih kuat dariku!”

Itu benar, aku tidak lagi memerlukan mereka. Kelegaan yang aneh mengisi hatiku, bercampur dengan rasa kehilangan dan sedikit frustasi. Mulai hari ini, tidak lagi aku menjadi gadis yang berlindung di balik lembaran bukunya. Tidak pula menjadi ia yang selalu baik hati bak malaikat, tidak pula sosok yang gigih dan membuat orang lain menganggumiku. Yang terakhir, tidak lagi aku menjadi apa yang orang lain inginkan. Di ruangan ini ada empat pecundang dan diriku, mereka yang merupakan diriku dan diriku, hanya ada diriku. Bila esok datang, mereka akan kembali, dan aku tidak akan memanggil mereka tuk berbalik. Melihat satu per satu dari mereka hilang dalam gelapnya ingatan, menjadikannya sebagai kenangan sementara, dan melupakannya.

“Terima kasih… terima kasih karena telah ada untukku….”

“Sama… sama….”

“Aku yang seharusnya berterima kasih karena telah memberikan kesempatan padaku… terima kasih…” “Kalau mereka tidak mendengarkanmu, tunjukkan siapa bosnya dengan kepalanmu, oke?”

“Sama-sama. Aku harap kamu tidak akan memanggil kami lagi, karena aku percaya kamu akan baik-baik saja.”

Kuberdiri, menapakkan kaki dengan sedikit goyah, menghadap ke cermin di dekatku. Tidak salah lagi diriku bertambah tinggi, badanku lebih berisi, puluhan gaya rambut kucoba namun membiarkannya pendek memanglah yang paling nyaman. Berkat mereka, aku tumbuh menjadi dewasa. Mungkin tidak semengagumkan yang dipikirkan oleh diriku yang berumur sebelas tahun, seindah yang dibayangkan diriku empat belas tahun, lebih biasa dari dugaan diriku yang berinjak tujuh belas tahun. Diumur dua puluh, aku masih hidup. Bernapas dan menjalani hari.

Knop pintu kamarku berputar, sosok wanita memasukkan kepalanya dari celah pintu. Ibuku. Matanya melihatku dari ujung kaki hingga jengkal rambut.

“Ibu terkejut kamu terlihat cocok pakai jas.”

“Aku juga.”

“Turunlah, kamu harus berangkat lebih awal di hari pertama kerja.”

Aku mengangguk dan menghampirinya.

“Apa tadi temanmu menelpon?”

“Enggak, mungkin cuma perasaan ibu saja.”