#Romance #Slice of Life 

華 (Hana)


Bunga-bunga itu mencintai dirinya—aku mencintai dirinya. Hitam bola matanya, hitam helai rambutnya, sehitam arang bekas kayu pembakaran. Dia berbeda, dia terkucilkan, disebut pembawa sial, disebut jelmaan Dewi Kematian dari buku dongeng anak-anak. Dia berbeda, dan aku mencintainya. Jatuh cinta pada lima detik pertama kumelihat sosoknya, lima belas detik bertukar pandang dengannya, walau begitu tiada waktu pernah terhabiskan dengan kami berlempar kata. Tidak pernah salam kuterima darinya—sungguh egois berharap menerima tanpa memberikan terlebih dahulu—dan sangat wajar apabila kami tidak mengetahui nama masing-masing. Aku tahu namanya, entah dengannya. Menyebut nama seorang gadis dalam hati adalah hal yang sia-sia, percuma. Aku tidak akan melakukannya.

Bunga-bunga itu menyapanya, memberikan senyuman yang bukan dalam arti sebenarnya. Mereka bahagia, setiap kali terlihat senyum kecil di wajahnya, bunga-bunga itu bahagia. Mereka ingin selalu melihat—aku ingin melihatnya—si gadis yang dikutuk penampilannya berbahagia walau sepersekian detik. Karenanya mereka tumbuh, karenanya mereka menjadi indah, menjadi bunga yang harum nan mempesona. Demi perawat mereka, demi pemberi kasih mereka, demi si gadis seorang. Hidup mereka, keindahan mereka, hanya untuk dirinya lihat.

Tawa samar menggema pelan, seakan-akan ia mdengar candaan dari seorang sahabat.

Lebih sering tawanya terdengar, kulihat lebih sering senyumnya. Tampak hidup, tampak bahagia. Aku mencintainya.

Aku suka senandungnya. Burung tidak ada pernah bertengger di pagar atap sekolah, tapi kurasa tidak masalah bagi mereka jika ingin beristirahat di sana. Iringilah gitanya dengan kicauan kalian.

Diriku yang mengetahui semua ini bukanlah arwah penasaran, bukan pula penguntit sialan, hanya seorang siswa seangkatan. Aku mencitainya. Mencintai dirinya yang kulihat tanpa berbicara kepadaku. Kami mengetahui keberadaan masing-masing, dirinya selalu membungkuk sedikit ketika berjalan keluar dari pintu masuk. Mereka akan mendapatkan kunci ke tempat ini sebagai bukti keprihatinan guru. Kami bebas melakukan apa saja, tapi jika ingin mencari tempat bunuh diri carilah tempat lain.

Dan aku membawa buku, dua setiap harinya, duduk di salah satu bangku kosong yang entah sudah sejak kapan ditinggilkan.

Dan ia merawat bunga, menyirami dan merawat mereka setiap harinya, beberapa pot bekas berserakan. Aku tidak tahu disebut apa hubungan kami ini—sejak awal aku memang tidak pernah mencaritahu. Walau begitu, aku menghartai betul entah hubungan apa ini. Kan kulakukan apapun demi menjaganya, demi dirinya yang tersenyum di hadapan bunga-bunga. Apapun. Kenapa? Karena aku mencitainya, ya, tentu saja karena aku mencintainya.

Lima puluh hari sejak ia menanam bibit pertama. Memotong poni yang selalu menghalangi pandangannya, ia tampak lebih cantik, lebih hidup. Tak lagi ia membungkukkan badan ketika melangkah dari balik pintu, senyum kecil yang dulunya hanya bisa dilihat bunga-bunganya dilemparkan kepadaku sebagai sapaan. Aku tahu aku merasa senang, namun rasa bimbang luar biasa juga kurasakan. Hari dimana kami akan saling berbicara akan tiba, walau hanya sekedar “apa kabar?” yang dibalas sebuah anggukan, hari itu pasti datang.

Aku ingin hubungan kami tetap seperti ini.

Aku ingin ia berbicara denganku.

Dia akan membenciku.

Aku ingin ia memanggil namaku.

Dia tidak bisa mendengarku.

Kembali senandung miliknya menggema, terdengar lebih jelas, namun masih tidak kutahu irama lagu mana yang ia mainkan. Memaksaku tuk menarik napas dalam, gadis membuatku membuatku lebih tenang tanpa ia sadari. Kembali kubalik halaman kertas, membaca kata per kata tanpa terburu apa-apa. Rasa gundah itu masih ada, rasa ingin melarikan diri itu masih membara, namun kuputuskan tuk menikmati apa yang ada. Menit-menit yang kulewati bersamanya, tidak kubiarkan pemikiran sialanku mengganggunya. Entah kapan momen ini akan terselip di antara jari-jariku, terlalu licin tuk kuambil kembali, hilang selama-lamanya.

“Aku merasa mereka mulai menerimaku,” kembali ia berbicara kepada bunga-bunganya. Cukup keras hingga kubisa mendengarnya begitu saja. Gadis itu tidak melakukannya dengan sengaja, ia benar-benar sudah berada di dunianya sendiri.

“Tadi ada yang manggil namaku waktu piket kelas, selain guru ini pertama kalinya, loh!” Semangatlah yang kudengar dari suaranya, namun beberapa saat setelah berdiam, ia menghembuskan napas berat.

“Tapi aku mengacaukannya dengan berbicara gagap dan menumpahkan isi tong sampah yang kubawa karena gugup….”

Sesaat ia melihat ke atap di atasnya, langit yang tak lagi terang. Kemudian kembali pandangannya dipenuhi warna biru dan putih. Dari balik punggung kurus miliknya, aku tidak tahu ekspresi apa yang ia tunjukkan sekarang. Walau aku merasa tebakanku sendiri itulah kebenarannya.

“Kamu benar, aku harus semangat! Aku harus bersiap jika kesempatan itu datang lagi, bukan?”

Ia tertawa, ia telah berubah, karena bunga-bunga itu ia berubah. Ketika ia berbalik tiba-tiba, ia mendapatiku yang menatapnya sembari tersenyum kecil. Wajahnya memerah padam, dan ia kembali menoleh dengan cepat.

“Maafkan aku karena berbicara terlalu keras….”

Aku hanya diam tanpa membalasnya.

Setelah itu ia kembali berbicara kepada bunga-bunga, acara komedi yang ia nonton semalam, sarapannya yang terasa aneh, sepatunya yang lagi-lagi hilang, serta mejanya yang masih penuh coretan walau kemarin sudah ia bersihkan. Aku hanya mendengarkan dalam diam, bagai angin yang semata-mata menempati salah satu kursi kosong.

Baik aku maupun bunga-bunga itu, kami sama-sama mendengarkan setiap kalimat yang ia keluarkan. Sekedar, mendengarkan.

Seratus sebelas hari, sepasang ‘manusia’ berselisih jalan denganku, mereka dari atas atap. Mau tidak mau aku mengenal mereka, tapi aku berharap tidak sebaliknya. Terlihat tidak tergesa-gesa, acuh tak acuh seperti biasa. Akan buruk jika tidak seperti itu. Kupercepat langkah, deru napasku mulai tidak beraturan. Knop pintu berputar, suara karat engsel berdenging, mereka masih ada. Untuk sekarang, bunga-bunga miliknya masih ada. Kudengar langkah pelan, tetes air yang jatuh terpecah mengenai lantai dingin.

Seperti biasa, hanya anggukan yang kuberikan tuk menjawab “apa kabar”-nya. Dengan penyiram yang ia bawa, makhluk hidup kecil itu mendapatkan apa yang mereka butuhkan tuk tetap indah. Hingga langit menjadi jingga, pria bodoh ini tidak melakukan apa-apa. Hingga biru gelap pertanda malam, aku masih diam.

Suaraku tidak terdengar, percuma saja.

Tidak, aku bisa menulisnya.

Dia akan membenciku.

Aku harus mengatakannya.

“Ah, aku ada kabar bagus hari ini,” ucap gadis itu seakan-akan baru mengingat sesuatu, “mereka mengajakku jalan-jalan setelah pulang sekolah besok!”

“Apa?”

“Seminggu terakhir ini kami memang sering berbicara, walau aku masih berbicara dengan gagap, sih. Ini semua berkat kalian, terima kasih.”

Mengencangkan genggamannya pada gagang penyiram yang ia bawa, gadis itu berjalan menuju pintu. Rambut hitam panjang miliknya tergerai bebas ketika ia berbalik, mata kami saling memandang tuk beberapa detik.

“Aku besok tidak bisa datang, jadi jaga dirimu, ya,” ucapnya entah kepadaku atau kepada bunga-bunga itu.

Saat besok datang, kembali kuberpapasan dengan mereka. Terlihat tergesa-gesa, salah satunya mencoba tuk berbicara kepadaku namun mengurungkan niat dan kembali berjalan. Kali ini aku berlari, menaiki satu per satu anak tangga dengan ceroboh, mendobrak pintu, dan mereka masih ada.

Berserakan di atas tanah, baik kelopak maupun akar telah tercabut dari badan mereka. Nigella yang tak lagi kelopak birunya ada, Lily putih yang telah ternoda tanah, Mawar yang kehilangan durinya, mereka semua mati. Mati. Mati. Mati.

Dengan putus asa kutanam mereka kembali dalam pot yang telah pecah, dengan tanah yang telah tercecah, berharap bunga mereka masih bisa merekah.

Aku mulai mengutuk, melempar jauh tanaman dan tanah dari tanganku.

Aku mulai mengutuk, menghantamkan tanganku kepada tebok hingga mengelupas dan meneteskan darah segar.

Aku mulai mengutuk diriku sendiri.

Hingga, suara menggema dari balik pintu menghentikanku, memaksaku tuk menoleh dengan wajah merah padam karena amarah tertahan.

Gadis itu, dengan bola mata hitamnya, menatapku dengan ngeri, menatap apa yang tersisa dari bunga-bunganya dengan membelalak.

Jelas sekali dia bergetar, bergetar sangat hebat hingga sepasang kaki kurus itu tak lagi kuat menopang tubuhnya. Apa yang keluar setelah adalah tangisan, sesenggukan, tangisan, dan jeritan. Apa yang tersisa darinya telah hancur, dan apa yang berharga bagiku telah hilang. Hubungan kami—sama seperti bunga-bunga miliknya—telah mati dan tak akan pernah kembali.

Ya, mati.

Mati.

Bunga-bunga, hubunganku.

Dan juga mereka.