#Romance #Fantasy 

Tragedi Dorado


Lapang punggungnya tak bersayap, terhampar luka yang terlihat sadis dan mengerikan. Tak lagi darah segar menetes turun, tapi masih merahlah yang mewarnai kulit pucatnya. Apakah terasa sakit? Apa kamu tidak apa-apa? Menyunggingkan bibir, ia mengatakan “Tenang saja” berkali-kali, aku tidak tahu apakah itu untuk dirinya atau diriku.

Kenyataannya aku sudah mendengarnya beberapa saat lalu, entah bagaimana kau bisa kehilangan mereka, apa kau bodoh? Aku tidak mengharapkan tawa terdengar darimu. Tanpa bulu yang bisa kaukepakkan, tampak cerah wajahmu menatapku, tampak ringan langkahmu. Mengusap pelan rambutku, kau selalu melakukan ini kepadaku, memperlakukan selayaknya anak kecil karena perbedaan tinggi. Hah? Cara tanganmu bergerak di antara helai-helai rambutku, tertawa ketika kumencoba tuk melawan, semua terasa begitu normal namun aneh secara bersamaan. Kita selalu seperti ini, kan?

Masing-masing kami terlahir dengan sepasang sayap, ia yang mencerminkan birunya laut, sehijau dedaunan hutan, secerah mentari musim panas, selembut salju putih musim dingin. Dan, diriku teringat. Apa warna sayapmu dahulu? Apakah kuning bagai helai kelopak Akasia? Atau seindah bunga Aubrieta? Tapi kau hanya tertawa, mencoba tuk menghindari pertanyaan. Kau tahu? Ada rahasia yang kujaga darimu. Aku bisa memberikan mereka kepadamu—sepasang sayap yang melekat erat di punggungku. Tentu saja, sebagai gantinya aku akan hidup tanpa mereka, tapi tak apa. Jika itu untuk dirimu, maka tak apa.

Kuberangan, warna apa yang akan cocok denganmu. Dirimu yang selalu tenang, birunya langit kan tampak indah di punggungmu. Dirimu yang selalu bisa membuatku tertawa, kuingin melihat cahaya mentari di setiap kepakkan sayapmu. Tapi, apa menurutmu sayap emas milikku akan terlihat bagus denganmu? Ketika kuberkata seperti itu—mencoba tuk meyakinkan dirimu bahwa sekedar candaan belaka—kau membuat wajah yang belum pernah kulihat, dan berkata:

“Pergi dari sini, sekarang!”

Lapang punggungnya tak bersayap, hanya tersisa luka lebar terbekas mengerikan. Aku tahu itu pasti terasa menyakitkan, aku tahu kau sebenarnya tidak baik-baik saja. Kenyataannya aku sudah mendengarnya beberapa saat lalu, bahwa kau memotongnya dengan kedua tanganmu sendiri. Bodohnya diriku.

Kenapa masing-masing dari kami terlahir dengan sepasang sayap dengan warna berbeda? Ia yang mencerminkan gelapnya lautan, kusamnya lumut hutan, bara api bekas pembakaran. “Apa warna sayapmu dahulu?”—tak lagi aku kan mengatakannya di hadapanmu. Membuat wajahmu mencerminkan kemarahan dan kesedihan, aku tak ingin melihatnya kembali.

Kau tahu? Ada rahasia yang telah lama kujaga darimu. Dahulu, aku bisa memberikan mereka kepadamu—sayap berkemilau emas yang melukis keindahan dirimu, sayap yang bukan sebenarnya milikmu.

Pertama yang kulihat darimu adalah sepasang sayap itu—bagai malam tertuang di setiap helai bulunya, warna hitam yang belum pernah kulihat sebelumnya. Secepat angin musim dingin, angin lalu beterbangan dari satu mulut ke mulut. “Sayap hitam membawa kesialan”, itulah pesan yang dibawa oleh si angin. Meringkukkan badan, dirimu selalu membuat wajah yang sama. Berbisik seorang diri, “Aku ingin menghilang.”

Kau salah, gadis berselimut bulu hitam. Dirimu tidak perlu sirna dari keberadaan, bukankah yang perlu disingkarkan hanyalah sepasang sayap malam itu? Diriku berjalan menghampirimu yang meringkuk di bawah pohon, berkata:

“Jika kamu bisa merubah warna sayapmu dengan mengorbankan ingatan, apakah kau ingin melakukannya?”

Kuberangan, warna apa yang akan cocok denganmu. Walau begitu, aku tidak punya kekuatan tuk membuat pilihan itu. Apa yang kupunya hanyalah sepasang sayap emas di punggungku. Kuyakin mereka akan tampak indah bersamamu ketimbang bersama sosok sepertiku.

Selamat tinggal.

Dan, di bawah pohon rindang, kita kembali bertemu tuk “pertama kali”-nya. Kusunggingkan bibir, mencoba memuji betapa indahnya warna emas sayap milikmu.

Agar kubisa bertungkar tempat denganmu, kumenyelinap di antara mimpi tidurmu. Tetes air terlihat di ekor matamu, entah itu air mata kebahagiaan atau kesedihan. Kuusap lembut, sekali lagi melihat sosok indahmu yang terbuai alam mimpi. Di tangan kananku, sebuah pisau besar kuhunuskan. Tidak kepadamu, gadis malang. Menekankan bilah tajamnya ke pangkal sayap di punggungku dengan tangan yang bergetar hebat, kumenjerit dalam hening di antara kubangan darah merah dan sepasang sayap yang tergeletak lemas.

Lapang punggungku tak bersayap, hanya tersisa bekas luka yang terlihat sadis dan mengerikan. Dan kepada dirimu yang bertanya-tanya, kukatakan bahwa aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa kehilangan mereka. Diriku memang bodoh, kan?

Dorado bisa diartikan sebagai emas