#Aimee #Romance #Slice of Life 

Aimee - One of Three


“Apa ini tidak apa?”

“Ini lebih dari cukup, terima kasih! Aku tidak tahu harus membalasnya dengan cara apa…”

“Apa anda bisa menceritakan secara singkat kenapa bisa dalam keadaan seperti itu?”

“Aku baru dicampakan pacarku. Dua jam yang lalu kami bertengkar gara-gara aku tahu dia selingkuh, kemudian laki-laki bajingan itu menamparku dan mulai menghajarku. Bukan hanya itu, sampah itu juga mengambil dompetku.”

“Itu saja?”

“I—” ia berhenti tanpa melengkapi kata-katanya, “tidak, aku juga mengatakan hal lain.”

“Dan apa itu?”

“Aku hamil.”

Untuk sejenak keduanya tidak berbicara, suasana hening di tempat parkir mini market membangun atmosfter yang terasa sangat berat bagi si wanita. Ia lapar, sangat lapar, namun tangan-tangan kurus itu membuka dengan pelan bungkusan roti yang ia terima. Gugup, takut, berbagai macam emosi memenuhi hatinya setelah melihat wajah serius orang di sebelahnya. “Apa aku akan diperolok?”, “Apa ia akan marah?”, “Apa ia merasa jijik denganku?”, berbagai macam pemikiran berputar-putar tak menentu dalam kepalanya.

Tutup botol yang terbuka, dengan tenang pria di sebelahnya menyeruput kopi dalam kemasan plastik yang barusan ia beli. Pandangan dinginnya melihat ke depan, tidak ada rasa jijik atau semacamnya di wajahnya.

“Apa rencanamu setelah ini?” tanya pria itu seperti apa yang dikatakan olehnya bukan hal besar.

“Aku tidak tahu. Selama ini aku tinggal di tempat pria itu. Mungkin aku akan tidur di dekat stasiun malam ini, entahlah…”

Pria itu menutup botol minumnya, “Begitukah.”

Tanpa ia sadari wanita di sebelahnya merasa lega dengan jawaban acuh tak acuh yang ia berikan. Orang yang temui adalah orang yang masa bodoh dengan sekitarnya, itulah yang ada di pikiran si wanita. Setidaknya pria itu telah memberinya roti disaat ia tidak memiliki apa-apa tuk menghentikan raungan perutnya, apa ia melakukannya karena kebaikan? Entahlah, si wanita tidak dapat melihat apa-apa dari wajah yang sedatar tembok milik lelaki di sebelahnya. Ia mengencangkan tali tas pinggangnya yang mulai melonggar waktu duduk, “Kalau begitu apa anda tidak keberatan untuk menginap di rumah saya?”

“Heh?”

“Ada apa? Menurut saya itu lebih baik ketimbang bermalam di tempat semacam stasiun.”

“Bukan masalah itu! Apa kamu barusan tidak mendengar apa yang aku katakan?! Aku ini perempuan jalang yang dicampakan pacar bajingannya gara-gara hamil, terus kenapa kamu bisa dengan santainya mengajak wanita semacam aku ke rumahmu?” Ekspresi si pria tidak berubah sedikitpun setelah menerima luapan emosi dari wanita di hadapannya, “Karena itu kewajiban. Sebagai manusia, membantu manusia lain merupakan kewajiban.”

“Hal bodoh apa yang kamu katakan?! Apa kata tetanggamu kalau tahu kamu mengundang wanita hamil di luar nikah ke rumahmu, mereka pasti akan memandangmu sebagai sampah masyarakat sepertiku!”

“Mereka tidak akan berkata seperti itu. Aku dapat menjaminnya.”

“Apa untungnya bagimu membantuku? Tidak ada, kan?”

“Memang benar tidak ada, karena ini adalah kewajiban. Tidak ada untung rugi dalam melakukan suatu kewajiban.”

“Tidak ada orang yang menawarkan rumahnya untuk ditinggali oleh seorang wanita entah dari mana hanya karena alasan ‘kewajiban’, jika kamu memang memiliki niatan lain katakanlah.”

“Tidak ada. Saya membantu manusia lain jika saya bisa membantunya, karena itu kewajiban saya. Itu saja.”

Si wanita yang sedari terengah-engah karena terus berteriak itu pun terdiam tuk sejenak, ia mengambil napas pendek berkali-kali tuk menenangkan dirinya. Pemikiran akan dirinya yang selama ini tertanam di dalam kepalanya telah dihancurkan oleh pria dengan wajah yang mungkin saja terbuat dari kayu itu, dan ia sama sekali tidak menerimanya.Dirinya adalah sampah masyarakat, wanita yang telah menyerahkan keperawanannya kepada pria bajingan yang sekarang telah membuangnya. Hinaan, ejekan, tatapan mata yang merendahkan, caci maki yang menghunjam deras, semua itulah yang seharusnya ia terima. Kebaikan atas dasar sebagai suatu kewajiban, itu bukanlah hal yang seharusnya diberikan kepadanya.

Pria itu mengeluarkan smartphone dari kantung celananya, melihatnya sekilas dan kembali memasukannya. “Beberapa bulan belakangan ini sering terjadi kejahatan di dekat stasiun waktu jam terakhir kereta.”

Ia menegaskan maksudnya dari kalimat yang barusan ia katakan, si wanita di sisi lain masih belum bisa menerima perlakuan dari pria itu. Tetapi, “Aku akan membalas kebaikanmu di hari lain. Terima kasih.”

Ekspresinya tidak berubah, ia berbalik dan mulai berjalan mendahului si wanita yang baru mulai memakan roti pemberiannya. “Apartemen yang kutinggali tidak jauh dari sini.”

Ia memakan roti itu dalam tiga gigitan besar dan langsung mengejar langkah pria acuh tak acuh itu. Apa yang orang itu lakukan adalah atas nama kewajiban, sesuatu yang tidak dipercayai si wanita selama ini. Apa yang orang itu lakukan adalah atas nama kewajiban, sesuatu yang telah diajarkan dan selalu dipercaya oleh si pria selama hidupnya. Masing-masing memiliki kepentingan, yang perlu menolong dan yang perlu pertolongan. Mereka hanya ingin memenuhi Id mereka, melakukan kewajiban bagi si pria dan dapat tempat berteduh untuk si wanita.

Di bawah lampu jalan yang remang, wanita itu kembali mengingat apa yang sudah ia lakukan hingga berakhir seperti ini. Sebuah kegagalan, sebuah kesalahan, itulah kehidupannya. Ia lahir dari seorang ayah pemabuk dan wanita yang senang bermain pria. Pecahan botol berserakan di lantai, suara dua orang dewasa yang membentak keras satu sama lain setiap malamnya, meja yang hanya berisi minuman keras dan abu rokok. Dari awal ia memang sudah hidup bersama sampah masyarakat sebagai orang tuanya. Menjadi sampah masyarat saat ia dewasa, itu bukanlah sesuatu yang aneh.

“Hey!”

Ia berhenti sekolah setelah berumur 15 tahun, hidup sudah layaknya kapal yang terombang-ambing di tengah badai lautan baginya. Ia buta arah, membiarkan orang-orang buruk menarik tangannya dari satu tempat ke tempat salah lainnya. Ia bisu pendapat, mulut yang ia miliki hanya berucap apa yang akan membuat orang lain senang mendengarnya. Bergonta-ganti pasangan merupakan suatu kegiatan yang lumrah, dunia malam adalah hari-harinya, ajaibnya ia masih belum pernah menggunakan narkotika atau semacamnya. Memuaskan nafsu birahi pria merupakan senjata utamanya, namun semua berubah seminggu lalu.

“Hey…”

Dua garis biru, selama ini ia belum pernah melihatnya secara langsung. Apa yang ia takutkan terjadi, apa yang ia khawatirkan selama ini menjadi kenyataan. Ia hamil, di dalam perutnya terdapat nyawa seorang anak. Mengugurkan kandungan adalah yang pertama terlintas di benaknya, tetapi sesuatu di dalam dirinya menghentikan pemikiran itu. Ia ingin anak di dalam dirinya hidup, walau dari seorang jalang sepertinya, ia ingin anak ini lahir. Dengan mengumpulkan setiap tetes keberanian yang ia miliki, ia mendatangi pria itu. Dan semua itu terjadi.

“Apa anda mendengarkan?”

“Hah? Kenapa?” tiba-tiba yang ia tahu pria itu telah berhenti dan ia hampir menabraknya.

“Masih lapar?” tanya pria itu.

Ia menggeleng, “Lagipula apa kamu bisa menghentikan panggilan itu?”

“Maaf, bagaimana dengan ‘aku-kamu’?”

“Memang seharusnya begitu, kan?”

Pertanyaan wanita itu hanya ditinggal tak terjawab, pria di depannya berpaling dan kembali berjalan. Sikapnya aneh, wajahnya datar, selalu membicarakan kewajiban yang selama ini tidak pernah ia percayai ada. Pria yang temui selama ini hanyalah binatang yang tunduk terhadap nafsu birahi mereka, yang seenaknya dan baik kalau ada maunya. Tetapi orang itu berbeda, hanya dengan bertukar kata-kata, ia tahu itu.

Bangunan pencakar langit dengan dinding dengan warna lapis lazuli, ia sering mendatangi bangunan seperti yang di hadapannya sekarang, tentunya dengan pasangan yang berbeda-beda setiap kalinya. Pria itu menekan tombol yang ada di samping pintu masuk, kemudian wanita itu mengikutinya hingga ke lantai dua puluh dua dari tiga puluh lima. Seketika pintu dibuka, yang dilihat oleh wanita itu adalah jalan berbentuk “L”, mereka berhenti di ujung jalan. 2506, angka yang tertera di depan pintu di hadapannya.

“Apa kamu bisa menunggu di ruang tamu dulu, aku ingin mengecek kamar itu.”

Wanita itu menjawab dengan anggukan pelan.

Sebuah kartu keluar dari kantung celananya, ia menaruh kartu itu tepat di scanner yang terpasang di dekat pintu. Jalan setelah pintu itu mengantarnya langsung ke ruang tamu, ia dapat melihat dua pintu lain di sisi lain dirinya berdiri sekarang. Ruang yang tamu yang ia pijak cukup luas ukurannya, hanya saja terdapat terlalu sedikit barang yang tertata di sekitarnya. Sebuah sofa berwarna merah tua, tepat di depannya adalah sebuah layar kaca raksasa berukuran 65 inci, tepat di antara keduanya adalah sebuah meja kaca dengan dudukan kayu berwarna hitam legam. Hanya itu saja. Pria yang membawanya itu sudah pergi menuju salah satu pintu dekat ruang tamu itu, meninggalkan dirinya seorang diri di tempat asing ini.

Ia menyapu ruangan dengan pandangannya, semua tampak bersih dan minimalis, namun entah mengapa memiliki kesan membosankan di dalamnya. Warna putih yang mendominasi, dan beberapa aksen hitam atau merah di sisi-sisi tertentu ruangan. Apa pria itu senang dengan kebersihan dan kesimpelan seperti ini? Si wanita dalam hatinya memang tidak terlalu mengkhawatirkannya, lagipula terhindar dari tidur beralaskan lantai yang diinjak ratusan orang tiap harinya sudah membuatnya bersyukur. Rasa sungkan dalam dirinya membuat ia berdiri sepanjang waktu hingga sosok pria keluar dari kamar yang paling dekat dengan dapur.

“Dari sikapmu, kurasa tidak terlalu mengejutkan ruangan ini terlihat bersih dan rapi,” ucap si wanita sesaat pria itu mendatanginya.

“Aku tidak pernah merubah apapun di tempat ini kecuali kamarku, setiap minggunya selalu ada cleaning service.”

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih karena sudah diberikan tempat untuk tidur.”

“Ini pertama kalinya aku membuka kamar itu sejak pindah ke sini, tetapi ternyata selalu dibersihkan dengan baik. Kamu bisa memakainya.”

“Aku tidak masalah tidur di sofa, ini cukup nyaman bagiku.”

“Tapi tidak denganku,” ucap pria itu sembari duduk di atas sofa yang mereka maksud, “terkadang aku tidur di sofa, karenanya kalau kamu tidak keberatan aku ingin kamu memakai kamar itu.”

“Tidur di sofa? Bagaimana dengan kamarmu?”

Ia menghela napas, “Kasur di tempat itu terlalu luas untukku, rasanya agak kurang nyaman tidur dengan ruang kosong yang terlalu banyak.”

“Begitukah.”

“Bagaimana kalau kamu mandi dulu, setelah itu rawat luka memar itu.”

Dengan cepat wanita itu menutup bagian lengan kanannya, “Terima kasih…”

Pria itu berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu di sebalah kamar yang akan menjadi tempat tidurnya malam ini, jari telunjuknya mengacung ke jalan sebelah dapur, “Kamar mandinya di sana.”

Ia membuka pintu itu dan kembali meninggalkannya sendiri.

Sesuatu menangkap perhatian si wanita sesaat ia melewati ruang tamu, sebuah foto di sisi lain dinding yang selama ini ia hadap. Menggantung sendiri di dinding yang seputih kertas, sebuah foto dengan tiga orang yang tak satupun dari mereka menunjukkan senyumannya. Wanita itu tidak mengambil pusing foto itu dan pergi menuju kamar mandi.

Membasuh badannya dengan tenang di tempat orang asing, yang berbeda sekarang hanyalah kejadian sebelumnya. Wanita itu mencoba untuk tidak berpikir yang aneh-aneh tentang pria maniak kewajiban itu, hanya saja… apabila ia menginginkan tubuhnya sebagai ganti atap berteduh yang ia berikan, itu bukanlah suatu masalah.

Pria itu telah berganti pakaian, walau demikian yang berganti hanyalah warna kaos polosnya yang semula hijau gelap menjadi putih. Di genggaman tangannya ada sebuah kotak P3K, sedangkan di tangan lainnya adalah sepasang baju polos berwarna biru gelap dan celana jeans yang sama dengan yang ia kenakan sekarang.

“Aku tidak memiliki pakaian wanita, aku kira kamu tidak keberatan dengan kaos,” ucapnya dari balik kaca buram pembatas kamar mandi dan jalan menuju ruang tamu.

“Terima kasih,” ia dapat mendengar jawaban wanita itu di antara suara tetesan air.

Ia menggeletakkan pakaian itu di atas lantai dan beranjak pergi ke dapur. Membuka satu per satu lemari, pintu bagian atas dan bawah kulkas, di dalam pelukan kedua tangannya telah ada berbagai macam bahan mentah. Suara api kompor yang menyala terdengar, sepersekian detik sesaatnya pisau yang memotong sayuran dengan cepat memasuki melodi dapurnya yang tenang. Pintu kamar mandi terbuka, namun pria itu tetap fokus menumis bumbu-bumbunya. Tidak lama kemudian dua mangkuk nasi goreng sudah tersedia di hadapannya.

“Apa kamu baru saja masak?”

“Tentu saja, apa kamu tidak bisa melihatnya sendiri?” dengan mangkuk di masing-masing tangannya pria itu duduk salah satu sisi meja makan, “Aku tahu makan selarut ini tidak baik, tapi aku akan buat pengecualian untuk hari ini.” Wanita itu tersenyum kecil, ia mengambil duduk di seberang pria itu. Ia menghadap ke sebuah mangkuk putih berisi penuh akan nasi yang telah ditumis dengan berbagai macam bumbu dan sayuran. Satu lagi dugaan di dalam benaknya tercoret, pria di depannya jelas sekali bisa memasak. Entah karena rasa lapar atau rasa nikmat makannya sendiri, suapan demi suapan masuk ke mulutnya dan butiran nasi di mangkuk genggamannya mulai lenyap. Di saat yang memasak baru saja menghabiskan setengahnya, wanita itu sudah menghabiskan seluruhnya.

“Bukan hanya membiarkanku menginap, kamu juga memberikanku makanan,” ucap wanita itu dengan lirih, “aku tidak tahu harus membalas semua ini dengan apa…”

Tidak kata-kata keluar dari mulutnya tuk membalas ucapn si wanita, ia hanya meliriknya dan kembali melanjutkan suapan sendoknya. Sesaat keadaan hening, hingga pria itu mengambil mangkuk kosong yang sedari tadi ia tatapi. “Rencanamu untuk besok?”

“Entahlah. Aku tidak punya tempat lain tuk dituju. Mencari pria untuk ditumpangi dan berpindah-pindah, mungkin seperti akan seperti itu hidupku nantinya.”

Kembali tidak ada balasan, ia membawa kedua mangkuk itu dan suara air yang mengalir deras terdengar. Ia menaruh wadah-wadah itu ke tempatnya semulai dan kembali duduk di kursi tadi.

“Kau tahu, sebagai balasan aku bisa memberikanmu pelayanan. Bagaimana?”

“Tidak, aku tidak bisa melakukannya.”

“Tentu saja, kan, bodohnya aku,” wanita itu tertawa garing atas perkataanya sendiri, “kamu pastinya tidak mau dengan wanita sepertiku.”

“Bukan itu.”

“Terus?”

“Kita harus menikah terlebih dahulu sebelum melakukannya, itu adalah kewajiban di negara ini,” jawaban pria itu benar-benar polos bagi si wanita.

Ia memberikan sebuah senyum menggoda, “Bagaimana kalau kita menikah saja?”

“Baiklah. Besok hari kerja, kita bisa langsung menyerahkan dokumennya.”

“Heh? Tunggu seb—”

“Aku tidak merasa keberatan. Secara finansial dan usia memang seharusnya aku sudah berkeluarga.”

“Bukan masalah itu! Aku ini wanita sampah yang baru saja kamu temui! Bisa-bisanya kamu mengiyakan ajakanku tadi!”

“Aku tidak ingin mengulangi ini jadi pastikan dengarkan,” untuk pertama kalinya pria di hadapannya itu memberatkan suaranya, “jangan menyebut dirimu sendiri seperti itu.”

“Kenapa?! Aku ini jelas-jelas bukan wanita baik-baik! Apa salahnya menyebut diriku ini jalang?!”

“Kalau kamu memang orang seperti itu, kenapa kamu masih membawa anak itu?”

“I…ini—” “Jika menikah denganku semua kebutuhanmu akan terpenuhi, tempat tuk bernaung, makanan dan pakaian, bahkan biaya sekolah anakmu kelak. Aku tidak mengerti kenapa kamu masih menolaknya.”

“Bukan soal itu! Pernikahan itu bukan sepenuhnya tentang materi, kau tahu…”

“Apa maksudmu?”

“Cinta, apa kamu ingin menikahi wanita yang bahkan tidak kau cintai? Tidak, kan?”

Pria itu tidak lekas menjawabnya, ia memegang dagunya sejenak, “Aku tidak paham hal abstrak semacam itu. Walau begitu aku merasa bisa mempelajarinya jika kamu mau mengajarkannya.”

“Mengajarkannya?!” tidak ada yang benar dari perkataan yang wanita itu dengar, ia sebenarnya tumbuh di tempat semacam apa?

“Iya. Kita akan menikah dan aku ingin kamu mengajarkan ‘cinta’ yang kamu maksud tadi.”

Wanita itu menghela napas, “Kenapa sebenarnya kamu ngebet untuk nikah?”

Kembali ia memangku dagunya, “Aku pernah membaca sebuah novel romansa, dan sebenarnya aku cukup lama ingin merasakan kehidupan rumah tangga.”

“Rasa penasaran?”

“Seperti itulah.”

Wanita itu berdiri dari kursinya dan berdiri di sebelah meja makan, “Aku akan menjelaskannya sekali lagi. Aku adalah wanita yang sudah berhubungan badan dengan banyak pria sebelumnya dan sekarang sedang hamil dua bulan. Aku bisa melakukan beberapa pekerjaan rumah dan tidak terlalu cerdas,” wanita itu berhenti tuk sejenak, “sekali lagi, apa kamu benar-benar ingin wanita rendahan sepertiku menjadi istrimu?”

Pria itu berdiri dari kursinya dan berhadap dengan wanita yang telah mengungkapkan segalanya, “Aku akan mengatakannya sekali lagi, jangan merendahkan dirimu seperti itu. Dan, ya, aku memintamu untuk menjadi istriku.”

“Seharusnya kamu mengatakannya dengan senyuman,”

Tidak lama setelah pria itu menyatakan ‘lamaran’-nya, kaki dari si wanita bergetar hebat dan ia pun mau tidak mau berlutut karena lemas. Seorang pria baru saja mengajaknya menikah walau baru mengenalnya kurang dari semalam, situasi macam apa yang barusan ia alami. Rasa senang, takut, gugup, sedih, terharu, semua tercampur aduk tidak karuan dan tertuang dalam setiap tetes air mata yang mulai keluar. Ia menangis, mengingat seberapa menyedihkannya dirinya hinga berakhir seperti ini. Ia menangis, terharu akan kebaikan yang diberikan seseorang atas dasar kewajiban. Ia menangis, bahagia karena dapat bertemu pria yang menerima dirinya apa adanya.

“Kenapa kamu menangis? Apa kamu sedih?”

Sembari mengusap air mata dengan kedua tangannya ia menggeleng, “Tidak, aku senang, sungguh…”

“Begitukah,” pria yang akan menjadi suaminya itu menjulurkan tangannya tuk membantunya berdiri.

“Mulai dari sekarang aku harus memanggilmu apa?”

“Tentang itu.”