#Aimee #Romance #Slice of Life 

Aimee - Two of Three


“Besok aku akan menikah.”

“HAH?!”

“Jangan tiba-tiba berteriak seperti itu.”

“Maaf, aku tidak menyangka orang sepertimu menghubungiku untuk mengucapkan candaan seperti itu. Kuakui lucu, sih.”

“Aku tidak bercanda, apa besok kamu bisa mengurus pendaftarannya?”

“Yah, gak mungkin juga kamu bercanda. Wanita mana?”

“Aku tidak tahu asalnya, kami baru bertemu malam ini.”

“Oh, kamu mau menikah sama wanita yang baru kamu temui, MANA BISA GITU! Jangan bercanda setelah mengganggu tidur orang! Wanita mana yang mau menikahi pria yang baru ia temui.”

“Yang aku temui?”

“Sikapmu yang satu itu selalu berhasil membuatku naik darah. Aku akan menanyakan detailnya nanti saja, aku tahu kamu pria maniak kewajiban, aku tidak berhak mengurusnya. Untuk sekarang kasih tahu aku namanya.”

“Tentang itu, apa kamu bisa membuatkan kartu identitas baru untuknya?”

“Kenapa? Apa wanita yang mau kamu nikahi itu terkena amnesia atau semacamnya?”

“Tidak, ia dulu seorang kupu-kupu malam, ia ingin membuka halaman baru.”

“Bakal banyak yang harus kita bicarakan minggu ini. Membuat kartu identitas baru itu tidak seenak yang kamu kira, aku akan mencatatnya sebagai hutang. Setidaknya ia punya nama dan tanggal lahir, kan?”

“Namanya…” pria itu berhenti sejenak, “Aimee, nama belakangnya ambil saja dariku. Tahun lahirnya sama denganku, tanggal lahirnya 13 Januari.”

“Baiklah, aku sudah memasukkan datanya, besok aku akan menunggu kalian untuk melengkapi data wanita itu dan pernikahan kalian.”

“Masih di kantor?”

“Baru saja mau pulang, tetapi karena seseorang yang tiba-tiba ngebet nikah aku harus kembali tinggal untuk mengurus berkas-berkas calon istrinya. Berterima kasihlah.”

“Terima kasih.”

“Eh! Ben—”

Dan ia menutupunya tanpa membiarkan orang di sisi lain menyelesaikan kalimatnya.

Wanita yang ia akan nikahi sekarang sudah tertidur di kamar sebelah, ia sendiri tidak bisa membayangkan apa yang sudah dilalui olehnya, sudah pasti ia kelelahan. Pria itu mengambil duduk di depan komputernya, ia mencoba tuk mengingat kejadian dua jam sebelumnya.

“Kamu bisa memanggilku begitu. Aku harus memanggilmu dengan apa?”

“Tentang itu,” wanita itu menunduk, “aku ingin kamu memberiku nama baru.”

“Bagaimana dengan nama di kartu identitasmu?”

“Aku tidak pernah membuatnya, aku juga tidak memiliki berkas kelahiran atau semacamnya. Dan, aku tidak ingin menggunakan nama yang dikasih sampah itu lagi.”

“Kenapa? Bukannya mereka orang tuamu? Apa kamu membenci namamu sendiri?”

“Mereka bukan orang tuaku! Aku tidak pernah mengganggap mereka seperti itu dan sebaliknya, kami hanyalah orang asing yang tinggal di satu atap untuk beberapa tahun!” tangan wanita itu mengepal keras, “Lagipula, aku ingin membuka halaman baru.”

Si wanita tidak mengharapkan suatu nama yang bagus atau spesial, ia hanya ingin nama yang dipilihkan oleh suaminya nanti. Nama baru, ia rasa itu yang paling cocok untuk mulai meninggalkan kehidupan kelamnya. Pria itu berpikir lebih lama dari biasanya, melihatnya membuat senyum di wajah si perempuan.

“Aimee. A-I-M-E-E, Aimee. Bagaimana?” yang ia lihat setelah mengeja nama itu adalah sebuah senyum tulus yang pernah wanita itu tunjukkan.

“Nama yang bagus… aku suka…”

“Aku mendapatkannya dari sebuah buku, arti namanya adalah ‘yang terkasih’,” jelas singkat pria itu.

“Yang terkasih, kah?” wanita itu berjalan mendekat ke pasangannya, “Entah kenapa aku merasa sangat senang.”

“Apa kamu benar-benar yakin?” sekali lagi pria itu bertanya akan keteguhan hatinya.

Secara tiba-tiba, wanita itu menyandarkan kepalanya di dadanya, jari-jari kurusnya mencengkeram kain kaosnya dengan cukup kuat, “Aku sudah memutuskan, aku akan memberikan segalanya kepadamu. Kamu sudah menerimaku, hanya sekedar nama dan tubuh ini belum bisa melunasi utangku. Kamu mengerti?”

Tangan pria itu menggenggam kedua bahunya dan mendorongnya menjauh, bola mata hitamnya menembus langsung dirinya, “Aku hanya melakukan kewajiban, kamu tidak memiliki utang. Tidak ada yang perlu kamu lunasi.”

Kata-kata yang terkesan dingin itu, ekspresinya yang sama sekali tidak berubah, entah kenapa membuat hati wanita itu terasa begitu hangat dan nyaman, “Terima kasih.”

“Untuk malam ini tidurlah di kamar yang kutunjukkan sebelumnya. Aku akan mengurus beberapa hal untuk besok.”

Wanita itu mengangguk pelan dan berbalik, ia berjalan dan masuk ke dalam kamarnya tanpa berpaling.

Yang selama ini ia lakukan hanyalah bekerja untuk hidup dan menjalankan kewajibannya sebagai warga negara di tengah masyarakat, itu saja, tidak lebih apalagi kurang. Ia tidak mengerti hal-hal abstrak semacam kepekaan terhadap suasana maupun emosi yang dimiliki masing-masing orang. Rasa suka, amarah, benci, takut, entah kenapa itu hilang darinya. Tentu ia menyadarinya, hanya saja ia tidak memiliki keinginan tuk mencarinya. Tetapi, malam ini, ia sadar sudah mengambil satu langkah untuk mencari apa yang hilang itu.

Kehidupannya akan berubah, ia sadar itu. Kebutuhan hidupnya akan bertambah, ia sudah mempersiapaknnya jauh-jauh hari. Akan ada tiga orang yang tinggal di sini, ia rasa masih ada ruang di tempat ini dan tidak perlu untuk pindah. Apa ia akan menjadi suami yang baik? Apa ia akan menjadi ayah yang baik? Lagipula maksud ‘baik’ di sini apa? Memenuhi segala kebutuhan materinya, apa itu disebut baik? Atau juga memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga? Banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, ia tahu beberapa pertanyaan tidak akan bisa dijawab olehnya hari ini juga. Ia butuh waktu.

“Aimee, kah?” ia menyebut nama yang baru saja ia berikan kepada seorang perempuan, “Jika pria itu melihatnya, apa yang akan ia katakan?”

Pria itu menyalakan smartphone-nya, ia menulusi daftar kontak yang tersimpan di dalamnya dan berhenti di urutan huruf “I”. Untuk sejenak ia memandang kosong nomor kontak itu, sesekali tangannya bergerak ke simbol telepon berwarna hijau di dekatnya, namun ia mengurungkannya. Ada sesuatu yang tidak bisa ia katakan sekarang.

“Apa aku akan mengambil posisi itu?” gumamnya seorang diri di tengah gelapnya kamar.

Sebentar lagi musim dingin akan datang, satu alasan lagi wanita itu bersyukur ia bisa bangun di atas kasur yang empuk bukan lantai stasiun yang dingin. Kamar yang ia tempati malam ini—atau untuk seterusnya—memiliki sedikit barang seperti kamar lainnya. Sebuah drawer kecil tepat di samping kasur dan sliding wardrobe yang mepet dengan dinding dekat pintu. Semuanya berada di sisi kanan dari pintu masuk, memberikan kesan luas karena kekosongannya. Matanya masih mengantuk, walau begitu ia merasa beban di bahunya sudah terangkat.

“Hari ini… aku akan menjadi istri seseorang, ya…” gumamnya pelan sembari menatap dinding putih hampa.

Kenyataan telah menyerangnya di pagi buta ini, walau begitu entah bagaimana ia bisa tenang dan menerimanya. Semalam pria yang membawanya telah melamarnya, dan ia menerimanya. Pria itu menerima dirinya apa adanya, tanpa mempermasalahkan masa lalunya and anak yang ada di perutnya. Orang baik—yang terobsesi dalam memenuhi kewajiban yang sebenarnya bukanlah kewajiban—, itulah pria yang akan mulai menjadi suaminya hari ini.

“Aku harap aku tidak membuatnya menyesal.”

Ia beranjak dari kasur dan berjalan menuju sliding wardrobe, selain tumpukan kaos polos dan celana jeans terdapat beberapa pasang sweater rajutan lain di dalamnya. Akan mengherankan atau menakutkan apabila ia menemukan sepasang rok atau semacamnya. Ia tidak pernah mengharapkan sebuah pernikahan mewah dimana ia memakai gaun putih panjang yang menawan, tamu-tamu yang mengucapkan selamat kepadanya, dan pasangan yang saling mencintai. Ia tidak akan mendapatkan itu semua. Mungkin ia akan menggunakan sweater itu, tidak akan ada tamu yang datang, dan baik dirinya maupun pria itu tidak mencintai satu sama lain. Belum, itulah yang ada di benaknya sekarang.

“Jika ia terus bersikap seperti itu, mungkin aku yang bakal kalah duluan.”

Ketika ia berpindah ruangan, semerbak wangi irisan daging yang digoreng kering memenuhi hidungnya. Sekarang jam 6 di pagi buta, dan pria itu telah memasak sarapan untuk dua orang. Lelaki adalah kaum yang benci bangun pagi maupun melakukan pekerjaan rumah, itulah yang selama ini ia tahu. Wanita itu tidak ingin hal ini terus berlanjut, ia merasa tidak berguna di tempat ini. Dengan langkah cepat ia berjalan menuju kabinet dapur, pria itu meliriknya namun tidak menghentikan tangannya yang sibuk mengocok telur.

“Untuk seterusnya apa aku yang boleh memasak untuk kita?” tanya wanita itu.

Ia menuangkan cairan kuning itu ke atas skillet yang sudah dilapisi mentega, “Tidak masalah. Aku akan sangat tertolong, Aimee.”

Pria itu menyebut namanya, telinganya terasa sedikit aneh waktu mendengar namanya sendiri. Aimee, itulah namanya sekarang, itulah identitasnya sekarang. Itulah dirinya sekarang. Perasaan itu masih ada, jantungnya masih berdebar hebat ketika pria itu memanggil namanya, perasaan yang ia tahu akan menjadi apa nantinya namun maish ia bendung sekuat tenaga.

“Terima kasih.”

“Tapi aku akan mengambil tugasmu waktu hamil tua,” ucapnya sembari menaruh gulungan telur kuning cerah itu ke atas piring.

“Ak—” wanita itu menahan perkataannya, “Baiklah. Terima kasih…”

Ia mengangkat kedua piring itu dan meletakkannya di atas meja makan, “Kamu bisa menggunakan apapun yang ada di lemari itu. Pakailah yang kamu rasa cocok.”

Dengan lirikan matanya ia mengisyaratkan si wanita untuk sarapan terlebih dahulu, tentunya bersama dengannya. Si wanita mengikutinya dan ia pun mengambil satu gigit dari roti tawar yang diolesi oleh selai stroberi. Ia tidak terlalu senang dengan rasa manis yang diberikan buah berwarna merah cerah itu, namun ia mencoba meredamnya dengan pahitnya kopi tepat di sebelah piringnya. Pahit yang tipis dan sedikit keasaman khas, jelas sekali ini bukanlah rasa kopi instan yang biasa ia minum.

“Kopi ini,”

“Kenapa? Apa kamu tidak cocok dengan rasanya?” untuk sesaat ia dapat melihat ia menaikkan alisnya.

“Tidak,” ia menggeleng, “aku senang dengan rasa ringan yang diberikan.”

“Begitukah,” sekilas—mungkin saja—ia dapat melihat bibir kaku itu menyunggingkan senyum sangat kecil.

Sedikit demi sedikit Aimee mulai tahu tentang calon suaminya, apa yang ada di balik wajah tanpa ekspresinya dan nada bicaranya yang datar. Ia mungkin mulai menyadari suatu perasaan yang muncul dalam dirinya, layaknya api kecil, perasaan untuk memahami pria itu mulai membara sedikit demi sedikit.

Ia mengenakan sweater cokelat muda sebagai atasan dan celana jeans berwarna biru dongker, pakaian yang menurutnya terlalu santai untuk digunakan ke Kantor Urusan Agama, namun sang calon suami mengatakan tak apa dan ia pun mengiyakan saja. Saat ia melihat ke arah cermin yang seukuran badannya dekat sliding wardrobe, sekali lagi ia merasa hari ini tidak akan pernah datang kepadanya. Status hubungan yang tidak jelas, ia merasa hanya itulah yang berhak ia sandang. Hari ini ia akan mengucapkan janji suci, janji yang harus ia pegang hingga akhir hayatnya. Walau suaminya mendua dan menceraikan dirinya nantinya, Aimee telah menetapkan hati untuk menerimanya.

Berbeda dengan dirinya, sang mempelai pria mengenakan setelan lengkap jas hitam lengkap dengan dasi merah, apabila badannya sedikit berisi mungkin kesan kedodoran di bagian lengannya akan hilang. Tetap saja tinggi badannya membuat ia terlihat cocok mengenakan pakaian formal seperti itu. Mereka memiliki perbadaan tinggi kurang lebih sepuluh sentimeter, membuat mereka tampak seperti pasangan ideal.

“Aku ingin segera cepat menyelesaikannya,” ucap pria itu sembari melonggarkan kerah kemejanya.

“Kenapa?”

“Tidak terlalu nyaman menggunakan jas dan kemeja bersamaan, rasanya panas.”

Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, Aimee menunjukkan wajah tertawanya. Calon suaminya yang baru pertama kali melihatnya merasakan perasaan aneh di dalam dirinya namun tidak menghiraukannya. Keduanya berjalan keluar dan suara pintu yang terkunci terdengar waktu pria itu menutupnya. Mereka memasuki lift yang masih asing bagi si wanita dan melewati bagian resepionis yang sepi seperti semalam.

Pria itu mengeluarkan smartphone nya dan melihatnya sebentar, tidak lama sebuah mobil sedan hitam berhenti di dekat mereka. Ia sudah memesan sebuah taksi, apa tempat yang mereka tuju cukup jauh? Aimee hanya menyimpan pertanyaan itu dan masuk ke dalam mobil begitu saja. Setelah memasikan keduanya telah masuk melalui kaca spion tengahnya, sopir tersebut menginjak gas dan mengikuti rute yang sudah tertera di smartphone yang ia taruh di hadapannya. Ketika Aimee mencoba tuk memulai berbicara, mobil telah berhenti. Cepat! Jalan yang mereka tempuh tidak terlalu jauh, ia bahkan berpikir berjalan kaki tidak akan memakan waktu setengah jam. Pria itu keluar begitu saja tanpa masalah, jadi memang benar tempat inilah tujuannya.

“Apa kamu sebegitu tidak sukanya menggunakan jas dan kemeja?” tanya Aimee setelah mobil itu pergi dari hadapan mereka.

Pria itu mengangguk, “Jika tidak, aku tidak akan menghabiskan uang untuk taksi.”

Aimee tersenyum mendengar jawaban jujur si pria, “Apa pria wajib mengenakan pakaian formal?”

Pria itu menggeleng, “Ini semacam hukuman.”

Sebelum ia sempat menanyakan lebih lanjut, suara seseorang memanggil nama calon suaminya terdengar tidak jauh dari belakang mereka. Mengenakan kemeja biru muda dengan dasi hitam selaras dengan celana kainnya, pria itu mendatangi mereka dengan berlari kecil. Mereka seumuran, walau begitu kerutan di dahi dan lingkaran hitam di bawah matanya yang samar membuatnya tampak lebih tua. Saat jarak di antara mereka hanya beberapa langkah, Aimee menyadari sepasang mata itu memperhatikannya dari ujung kaki hingga rambut dalam waktu singkat. Senyum menyeringai muncul di wajahnya, tidak untuknya namun untuk pria di berjas di sebelahnya.

“Kamu benar-benar memakainya,” ucap pria itu sembari tertawa kecil.

“Cih,” untuk pertama kalinya ia merasakan sedikit rasa kesal dari pria dingin itu, “bukannya kamu yang memintanya?”

“Begitulah.”

Pria berambut cepak itu melirik ke arah Aimee, memberi syarat kepada calon suaminya tuk mengenalkan mereka, namun seperti yang diharapkan ia hanya mematung begitu saja.

“Salam kenal, saya Aimee, senang bertemu dengan anda.”

Pria itu menjulurkan tangannya, “Utaga. Aku tidak menyangka bocah yang lebih datar daripada dinding ini dapat menemukan wanita semenawan dirimu.”

Kata-kata itu tidak tulus dari dirinya, tentu saja. Ia juga tidak mengharapkan orang itu berbicara jujur kepadanya. Mungkin saja keduanya seperti itu, mungkin sejak keduanya bertukar pandang niat itu sudah tidak ada. Tangan pria itu menepuk pelan bahu calon suaminya, ia tersenyum lebar namun makna Aimee tidak tahu apa yang ingin ia tunjukkan. “Aku tidak menyangka kamu akan pernah menikah.”

“Pujian?”

“Entahlah,” pria itu memiringkan kepalanya, “untuk sekarang masuklah. Semua berkas sudah kusiapkan, aku hanya perlu tanda tangan kalian berdua dan memoto nona Aimee.”

Pria bernama Utaga itu berjalan mendahului mereka ke sebuah bangunan tua yang besar, bangunan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Tempat yang luas dan bersih, setiap bagian lantai dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan layanan. Setiap layanan memiliki tiga buah meja resepsionis dengan sekat diantaranya, mereka berjalan menuju bagian paling ujung lantai.

“Tunggu sebentar di sini, aku akan mengambil formulir yang perlu kalian tanda tangani,” ucap pria itu sembari menyodorkan dua buah kursi tepat di depan meja resepsionis.

Kembali pria itu melonggarkan kerah kemejanya, melihatnya membuat Aimee tertawa kecil dan membuat pria itu melirik ke arahnya, “Ada apa?”

“Tidak,” ucap Aimee tanpa menghentikan tawanya, “aku merasa lucu melihatmu kegerahan seperti itu.”

Pria itu menyipitkan matanya namun ia tidak merasakan rasa amarah dari tatapan itu, “Aku tidak begitu mengerti maksudmu.”

“Apa kamu sudah kenal lama dengan Utaga?” tanya Aimee.

“Lebih dari sepuluh tahun kurasa, kami tumbuh bersama,” jelas singkat pria itu.

“Sepuluh tahun?! Berarti kalian sangat dekat, bukan?” ia sama sekali tidak menyembunyikan terkejutannya, membuat pria itu sedikit terkejut pula.

“Be-begitulah, ia cukup mengenalku kurasa, begitu juga sebaliknya.”

Setelah mendengarnya, Aimee merasakan gugup dan rasa takut yang menjalar dari ujung kaki hingga jengkal rambutnya. Dibandingkan dirinya—seorang wanita yang bahkan tidak tahu satu persenpun dari calon suaminya—pria itu adalah teman masa kecilnya. Secara tidak langsung, walau tidak ada yang mewajibkan atau mengatakannya, Aimee harus mendapat restu dari Utaga.

Baru saja nama pria itu terbesit di dalam kepalanya, dengan sebuah formulir berwarna merah muda dan sebuah stempel ia duduk di sisi lain meja. Tanpa ia sadari Aimee menunjukkan ekspresi yang berbeda dengan waktu pertama kali mereka bertemu. Utaga kembali menunjukkan senyum menyengir, kali ini ditujukan kepadanya.

“Apa benar kamu akan mengambil nama belakangnya?” tanya Utaga sembari menyodorkan selembaran yang ia bawa. Aimee mengangguk, “Aku rasa namanya cukup unik, aku juga menyukainya.”

Utaga tersenyum, namun tidak menyeringai, “Benar juga.”

Keduanya mendatangani bagian kosong di atas nama masing-masing, setelahnya Utaga menaruh stempel di atasnya. Kemudian ia kembali meninggalkan mereka, namun kali ini tidak selama sebelumnya. Pria itu meminta Aimee untuk berdiri dari kursinya dan membawanya ke sebuah ruangan dengan sebuah kamera dan kain latar berwarna biru. Ruangan ini digunakan untuk memfoto kartu identitas.

“Apa pakai ini tidak apa?”

“Tentu saja. Asal kamu nyaman dan merasa percaya diri, tidak apa.” Utaga menyuruhnya untuk berdiri di depan kamera dan mempersiapkan diri.

Ia belum pernah melakukan hal ini sebelumnya dan merasa gugup. Wajah apa yang harus ia tunjukkan? Apa sweater nya terlihat kedodoran? Apa ia harus ternyum? Banyak sekali yang ia pikirkan hingga keringat mulai bermunculan di keningnya. Pria yang ingin memfotonya itu menyadari hal itu dan berkata, “Tenang saja, tersenyum kecil sudah cukup.” Dan ia melakukannya.

“Oke, semua sudah selesai. Katakan padanya untuk mentraktirku makan siang lengkap dan segelas parfait.” Aimee pun menyampaikan kata-kata Utaga kepada calon—tidak—suaminya, kemudian ia dibawa ke sebuah restoran keluarga tidak jauh dari tempat yang entah KUA atau Disdukcapil tersebut. Disana mereka menunggu di area merokok, walau keduanya tidak ada yang mengisap cerutu asap tersebut. Selang beberapa menit, Utaga datang dengan senyum lebar di wajahnya. Ia menantikan makan siangnya.

“Aku sudah memesannya. Apa hutangku lunas?” ucap sahabat Utaga sesaat ia mengambil duduk di hadapan pasutri baru tersebut.

“Tentu saja. Kamu bisa melepas jas itu sekarang,” kata Utaga sembari menyodorkan tangan mempersilahkan.

Dengan tergesa-gesa suaminya melepas jas hitam yang terlihat tebal tersebut dan dasi yang mengalung di lehernya selama ini. Aimee, yang menyadari bahwa ia sekarang istri sah pria tersebut, mengulurkan tangan tuk melipat jas suaminya. Pria itu—yang merespon cukup lambat dan agak canggung—memberikan pakaiannya kepada wanita di sebelahnya. Utaga yang melihat gelagat sahabatnya itu membuat senyum menyengir yang entah bagaimana Aimee mulai terbiasa melihatnya.

“Satu lagi. Apa kamu bisa ambilkan tiga gelas kopi di sana?” jari pria itu menunjuk ke arah pojokan yang menempatkan berbagai macam minuman.

“Aku bisa memanggil pel—”

“Anggap saja ini sebagai hukuman tambahan. Satu ini saja,” ucap Utaga.

Ia berdiri dari duduknya, menghela napas dan berjalan menuju tempat yang ditunjuk oleh pria tadi. “Untuk sekarang ia tidak akan mendengar apa-apa,” Aimee menoleh ke arah pria yang mengucapkannya, Utaga.