#Duke of Akashic 

Duke of Akashic - Record 0


Diriku merupakan seseorang yang dipanggil duke, seseorang yang berdiri tepat di bawah perintah Paduka. Walau begitu, diriku tidak memiliki wilayah, tidak pula tanah atau rakyat yang harus kujaga, hanya ada hunian besar di tengah hutan antah-berantah ini. Diriku memahami alasannya, menerima layaknya yang dilakukan mendiang Ayah beserta orang tuanya. Seorang duke tanpa daerah kekuasaan, diriku tampak lebih santai ketimbang bangsawan lainnya. Tidak akan kusangkal hal tersebut. Dibebaskan dari tanggung jawab terhadap banyak kehidupan, mempertahankan tanah, serta menjadi seorang pemimpin yang bisa selalu diandalkan. Jika boleh jujur, diriku tidak masalah berada di posisi itu, tetapi titah Paduka mutlak.

Di bangunan bak istana ini, diriku tidaklah sendiri. Hak memiliki pelayan masih diberikan dan tiga orang berada di bawah perintahku. Seorang mantan kepala pelayan kerajaan yang diberikan oleh Paduka, ia lebih sering berpergian ketika diriku memberi izin tuk menemui cucunya. Pelayan perempuan yang sepasang tahun lebih tua, ia pelayan utama di rumah ini ketika si Pak Tua bepergian. Yang terakhir merupakan seorang pria juru masak paruh baya yang memiliki keluarga di desa terdekat, aku mengabulkan keinginannya tuk ke desa itu seminggu sekali tuk melepas rindu dan membeli persediaan makanan. Walau dengan ketiga orang tersebut, masih terlalu banyak ruang tersisa. Menyadari kemampuan pelayanku, diriku memberi keringanan tuk membersihkan lantai ketiga sebulan sekali. Hanya ada beberapa kamar kosong, diriku yang jarang kedatangan tamu tidak terlalu membutuhkannya.

Tanpa adanya wilayah, tiada pajak yang diriku dapat dari rakyat. Paduka sendirilah yang memenuhi kebutuhanku, sebagai sosok yang menyadari posisinya, diriku tidak meminta lebih dari gaji bagi ketiga pelayanku dan biaya kebutuhan sehari-hari. Kepastian hari senjaku sudah tertulis di atas kertas yang ditandatangani Paduka sendiri, diriku tidak membutuhkan semacam tabungan. Sesekali ada pengeluaran biaya yang tidak direncanakan, dan setiap kali itu pula diriku merasa kesal karena harus menyusahkan Paduka. Meminimalisir sedikit kerusakan di kediaman yang berumur lebih dari lima abad ini—asal tidak ada tangan bajingan yang menyentuh dindingnya—diriku dapat mengembannya.

Tuanku selalu memiliki ekspresi serius di wajahnya, bahkan ketika dirinya berjalan santai di lorong sepi ini. Memandang jauh ke luar, melewati kelembatan perpohonan musim semi, diriku yang bodoh tidak bisa memahami apa yang beliau sedang pikirkan. Jarak yang tertinggal beberapa langkah, Tuanku menyadari keberadaan pelayannya dan menyapa tanpa sedikitpun menyunggingkan senyum.

“Selamat pagi, Tuanku,” diriku membungkukkan tubuh seraya mengangkat kecil rok.

“Apa yang ada di jadwalku hari ini?”

“Berhubung hari ini Kepala Pelayan bepergian, hamba akan menemani aktivitas Tuanku yang dimulai dari sarapan pagi.”

“Diriku akan mengecek kamar kosong di lantai dua siang nanti.”

“Hamba telah mengerjakan perintah Tuanku sebaik mungkin.”

“Aku percaya itu,” ucapnya, “aku hanya ingin menaruh sesuatu yang terlupa.”

Tuanku berjalan lewat. Hingga sosok beliau beberapa langkah di depan, diriku tidak diperboleh menegakkan punggung kembali. Tiada sekalipun Tuanku pernah melupakan sesuatu, karenanya bahkan sosok rendahan ini tahu apa yang beliau katakan merupakan perwujudan kebaikan beliau yang terlewat besar. Tuanku tidaklah lupa, hanya diriku saja yang tidak mampu mengerjakan apa yang beliau kehendaki. Dirinya yang merupakan “Juru Kunci”, suatu keberedaan yang menentang dewa itu sendiri, telah memberiku kehormatan terbesar tuk melayaninya hingga tiada lagi napas ini berderu. Seorang jalang yang mendapatkan kasih dalam bentuk pengabdian abadi, diriku tidak lagi dapat meminta lebih.

Sebuah meja panjang nan megah, ditempatkan di ruangan bak aula yang dapat menampung tiga puluh orang sekaligus dan meninggalkan ruang. Apa yang berada di salah satu ujungnya adalah sebuah kursi yang berbeda dari yang lain. Terbuat dari kayu terlangka dari tanah seberang lautan, memiliki corak alami yang memikat serta bagai lekang di hadapan sang waktu. Di hadapan singgahsana ruang makan ini, sarapan yang terlihat tidak terlalu mewah sudah disuguhkan untuk Tuanku nikmati. Beliau tidak terlalu senang dengan kemewahan dan menggunakan gelarnya sebagai seorang duke, walau beliau mengeluh kami sebagai pelayannya wajib memberikan apa yang seharusnya Tuanku dapatkan. Tuanku mengambil duduk dan diriku berdiri beberapa langkah di belakangnya, bersiap akan perintah selagi ia makan atau sekedar berjaga.

“Apa Pak Tua membawanya?”

Aku menundukkan kepala, “Ya, Tuan Kepala Pelayan membawa boneka pemberian Tuanku tuk diberikan kepada cucunya.”

“Aku harap anak itu senang.”

“Saya yakin apapun pemberian Tuanku sudah sepatutnya diperlakukan sebagai berkah, ditambah boneka tersebut merupakan barang pribadi Tuanku.”

“Benar juga, sudah berapa lama benda itu berdiam di atas meja….”

Tiada lagi pembicaraan hingga Tuanku menyelesaikan sarapannya. Setelah membereskan meja makan, diriku kembali mengambil posisi di belakang beliau yang sedang berjalan menuju lantai dua. Menaiki tangga, apa yang ada di lantai ini adalah kamar Tuanku, tiga buah kamar kosong, dan sebuah perpustakaan. Tuanku memiliki jadwal yang fleksibel, beliau akan melakukan apa yang ingin ia lakukan saat itu juga. Diriku, sebagai pelayannya, harus bisa beradaptasi dan memenuhi keinginan sang tuan tanpa kesalahan. Dan kali ini pula, Tuanku melakukan sesuatu yang di luar jadwal.

“Aku akan melihat Akashic.”

“Hamba akan berjaga dan memenuhi tugas hamba sebaik mungkin.”

Beliau menolehkan kepala, “Paduka mengalami kesulitan dengan diplomasi di negeri tetangga.”

Akashic, suatu keberadaan di luar yurisdiksi dewa, keberadaan yang menampung segala bentuk informasi dari sebelum, saat, hingga setelah berakhirnya dunia. Sebagai seorang Duke of Akashic, Tuanku merupakan satu-satunya sosok yang bisa masuk dan keluar dari tempat itu bagaikan kamar tidur beliau. Sejak beliau mulai berjalan, duke sebelumnya sudah membawa Tuanku ke Akashic dan membuat beliau mengetahui pengetahuan yang tidak semestinya manusia pegang.Tuanku merupakan sosok yang membuat kerajaan ini berjaya, tanpa adanya beliau dan pengetahuannya, tidaklah berlebih mengatakan selamat tinggal tuk kehidupan damai di balik istana sana. Jika diri ini boleh jujur, Tuanku sendiri bisa membuat dunia berada di bawah kakinya, tetapi—entah karena kebaikan beliau yang teramat besar atau tiada keinginan dalam hati mulianya—Tuanku puas dengan kebangsawanannya sekarang.

Diriku pernah menginjakkan kaki ke wilayah di luar ranah manusia biasa itu, dengan sangat memalukan diriku berakhir menyusahkan Tuanku dengan kehilangan kesadaran seketika. Hanya Tuanku seorang yang bisa membuka Akashic dan beliau seorang pula yang bisa bertahan di dalamnya. Sebagai seorang pelayan, tugas yang diberikan kepada tubuh ini adalah menjaga ruangan yang beliau gunakan tuk bepergian. Tiada yang tahu apa yang akan terjadi jika ada gangguan saat beliau mengakses Akashic, dan diriku tidak pernah sekalipun berpikir tuk mencari tahu. Hingga kaki miliknya melangkah keluar dari balik pintu, dengan nyawaku yang tidak cukup berharga ini akan kuhentikan segala tikus pengganggu.

“Kali ini tidak akan terlalu lama, diriku hanya ingin memastikannya saja.”

Tiada lelah tubuh ini membungkuk di hadapannya, “Hamba mendoakan keselamatan Tuanku.”

“Aku serahkan di sini kepadamu, Syhre.”

Hingga beliau kembali, hanya akan ada diriku dan keheningan di lorong ini. Apapun selain itu, harus dimusnahkan. Sudah cukup lama sejak diriku mengusir para pengerat menjijikan itu, mungkin sudah waktunya mereka menyadari keberadaan mereka yang tak lebih dari serangga pengganggu Tuanku. Terlepas dari jumlah mereka, seribu serangga tetaplah sekumpulan serangga tidak berguna, hanya saja diriku enggan lagi melihat Tuanku menundukkan kepala agungnya di depan Paduka karena kesalahan diriku buat. Setidaknya jika mereka datang, bersabarlah dan tunggu diriku di hutan.

Aku senang ketika melihat Syhre membawa piring Tuan Muda yang tidak tersisa makanan. Aku merasa harga diriku sebagai juru masak di tempat ini masihlah ada. Menyajikan hidangan yang sesuai dengan lidah sosok semulia beliau, tiada lagi kehormatan lebih yang aku bisa dapatkan dengan sepasang tangan yang tak lagi muda ini. Suatu hari aku telah meminta hal yang lebih, untuk bisa pulang tujuh hari sekali tuk menemui istri dan putriku di desa, beliau dengan kebaikan hatinya yang tiada batas menerima permintaan egoisku. Tiada lagi tuan yang bisa kulayani selain Tuan Muda, itulah yang ada di benakku mulai dari membuka mata hingga kembali tidur tuk esok melayani dirinya lagi.

Ketika aku sedang menyiapkan rempah-rempah, tanah yang kutapak bergetar kecil dan sesaat. Tiada rasa takut dalam hati ini, kenyataannya hanya hal biasa yang terjadi.

“Tuan Muda mengunjungi Akashic, ya…”

Aku tidak yakin apa “mengunjungi” adalah kata yang tepat. Akashic, sesuatu yang menjadi rahasia terbesar kerajaan, dari yang kutahu bahkan Raja sendiri tidak boleh membeberkan keberadaannya walau nyawa beliau terancam. Aku yang sekedar juru masak tidak memiliki sekecilpun pengetahuan kenapa Akashic harus dirahasiakan sebegitunya. Kenyataan bahwa Tuan Muda hidup di tempat yang tidak layak sebagai seorang duke seperti ini, kurasa Akashic-lah alasannya. Ketika aku masih seorang scullery man, juru masak sebelumnya mengatakan bahwa Ayah beliau juga mendiami hunian ini dan seseorang yang bisa “mengunjungi” Akashic pula. Apakah kemampuan itu hal yang diturunkan atau bukan, itu tidak mempengaruhi kewajibanku sebagai juru masak.

Karena Kepala Pelayan sedang bepergian melihat cucunya, aku hanya perlu menyiapkan makan siang Syhre dan kudapan ringan Tuan Muda. Aku tidak terlalu mengerti tentang ras anak perempuan itu, tetapi ia menolak daging dalam makan siangnya, hanya meminta teh dan beberapa potong meslin. Dia berkata bahwa makan daging akan membuatnya sedikit mengantuk saat bertugas, semua orang di sini tahu itu adalah hal yang tidak boleh terjadi. Tuan Muda sendiri bukan penggemar makanan gandum itu, beliau lebih memilih sup dan memakannya begitu saja tanpa pendamping. Karenanya aku memasuk lebih banyak sayuran dan potongan daging di dalamnya, jika tidak Tuan Muda akan kekurangan nutrisi dan masa bodoh akannya.

Esok Nyonya Muda akan datang berkunjung, anak lelaki yang selalu memilih menghabiskan waktu membaca buku itu sudah mencapai usia menikah. Aku yang telah menyaksikan pertumbuhannya sejak diriku sendiri lajang hingga memiliki seorang putri merasakan nostalgia seketika. Nyonya Muda wanita yang cerdas nan anggun menawan, tiada salah mengatakan semua lelaki di kerajaan ini berbahagia hati menjadi pasangannya. Paras yang bisa bersanding dengan Putri Auva, ahli dalam ekonomi di usia belia, lekuk tubuh yang dapat memikat gairah para pria. Dari yang kutahu Nyonya Muda dan Tuan Muda masih belum memiliki hubungan romansa yang jelas, “belum”. Yah, siapapun yang dipilih Tuan Muda pastinya yang terbaik untuk dirinya. Sosok yang merupakan kebenaran itu sendiri memilih seorang pendamping, sejujurnya jika bisa aku ingin melihatnya dengan mata ini hari itu tiba.

“Apa aku harus menyiapkan sesuatu yang dapat menghilangkan kepenatan?”

Aku harap orang-orang tidak tahu sopan itu tidak mengganggu Tuan Muda ketika beliau selesai. Tentu saja Syhre bisa menyelesaikannya dengan mudah, tetapi setiap kali aku melihat gadis itu beraksi hatiku selalu gundah. Jiwa seorang ayah, mungkin. Aku selalu membayangkan jika anakku kelak melakukan apa yang dilakukan Syhre. Memang itu hal yang tidak seharusnya kupikirkan, Syhre melakukan tugasnya dengan sempurna dan itu adalah hal yang wajar. Mungkin akulah yang sudah dimakan usia. Aku penasaran apa yang Kepala Pelayan akan katakan.

“’Bagaimana dengan sedikit teh dan duduk sejenak?’, mungkin seperti itu?”

Kakek itu hanya senang dengan tiga hal, tehnya, cucunya, dan keluarga duke. Entah bagaimana tubuh renta miliknya bisa bertahan seharian hanya dengan minuman beraroma khas itu. Tuan Muda sendiri awalnya merasa enggan, setelah berulang kali disuguhkan dan meneguknya, hati dingin miliknya dilelehkan oleh kehangatan minuman dari negeri seberang sana. Melihatnya menikmati teh di taman tiada bunga miliknya, aku rasa itu sudah menjadi jadwal harianku bekerja di sini. Sekali lagi, apabila tidak ada pengerat yang selalu datang tanpa diundang.

Tanah kembali bergetar tuk sesaat, aku rasa sudah waktunya menyiapkan makan siang.

“Habis ini mengurus makan malam dan meminta pendapat Tuan Muda untuk jamuan besok.”