#Slice of Life 

Tanpa Minum


“Jadi apa hubunganmu sama wanita itu?”

“Suami dari teman baiknya.”

“Sudah kuduga,” ia mendengus.

Keputusan yang tepat memilih meja ini, itulah yang kupikirkan ketika melihat sebungkus rokok keluar dari saku kemejanya. Mengeluarkan satu dan pematik, kuulurkan tangan meminta bayaran. Kesopanan tidak ada di kamus hidup bocah ini, baik secara umur dan jabatan tidak sepantasnya aku mendapatkan tatapan tajam miliknya. Jika memang sikap itu penting, sudah kutendang pantatnya ketika melamar. Kenyataannya, ratusan jam kerja sudah kulalui dengannya.

“Dua,” kugerakkan jari-jariku bagai menarik upah.

“Cih,” satu putung lagi jatuh di atas telapak tanganku.

Menyalakan yang satu, menyimpan yang tersisa ke dalam saku. Rasa pahit dan sensasi terbakar di mulut ini, sudah lama asap mematikan yang menggebu tidak memenuhi paru-paruku. Walau begitu kebiasaan tidak bisa hilang begitu saja, maafkan aku. Untuk pria muda di depanku, dia selalu mengambil jatah istirahatnya, terus saja hancurkan sistem pernapasanmu, aku tidak akan menghentikannya. Sesekali—asal tidak ada kelinciku—menghisap tembakau bersama teman kerja sebelum pulang tidak terlalu buruk.

“Aku kira kamu mengincarnya.”

“Hey, hey, hey, hey, apa yang mulut itu baru katakan?” aku mengangkat alis, “aku sudah memiliki bunga di satu tangan.”

“Bukannya tanganmu yang lain nganggur?”

“Tangan satunya untuk membawa tas kerja, tentu saja enggak kosong.”

“Begitukah,” asap menyembul keluar dari mulutnya.

“Tertarik?” kataku mencoba tuk menggoda.

“Tentu saja, secara paras dia wanita tercantik sejauh ini,” sebuah jawaban yang tidak kuduga tapi kurasa normal.

“Yah, lagipula dia dulu bekerja sebagai model,” aku mencoba tuk mengingat kembali sampul sebuah majalah.

“Dulu?”

“Itulah yang kudengar dari istriku, mungkin karena anaknya.”

“Anak?”

“Dua belas bulan, dia merawatnya seorang diri. Sebelum pembicaraan ini berlanjut, aku ingin menayankan sesuatu .” “Apa?”

“Sejak kapan kamu punya hobi ginian?”

“Ginian? Ah, aku mohon pak tua tidak perlu khawatir. Aku hanya ingin mencari tahu tentang calon pacarku saja,” dia kembali membuat wajah merendah mengesalkan itu.

“Sepuluh tahun lebih muda jangan sombong. Lagipula, sejak kapan kamu punya ketertarikan dengan wanita yang lebih tua, aku kira kamu bakal ngincar yang lebih muda dan polos.”

“Usia hanya angka, pak tua. Aku tidak masalah dengan wanita yang lebih berpengalaman.”

“Dan kamu barusan manggil aku pak tua,” gumamku.

“Jadi, apa yang ia lakukan untuk menyambung hidup?”

“Beberapa anak tetangga belajar kepadanya dua hari seminggu, memang tidak seberapa cuma bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Aku juga membantunya dengan biaya rumah dan listrik.”

“Apa kamu sekaya itu?”

“Apa pertanyaan itu pantas diajukan kepada bosmu? Biaya hidup pasangan tanpa anak seperti kami tidak banyak, dan istriku sering bermain dengan anaknya.”

“Apa gajiku yang sekarang cukup?”

Aku menatapnya di mata, “Jika kamu berhenti merokok dan tidak melakukan microtransaction, tentu saja cukup. Ah, dan kalau perusahaan kita tidak bangkrut.”

“Jangan mengatakan sesuatu yang menakutkan seperti bangkrut, lah.”

Aku tertawa mendengar tanggapan seriusnya, “Saranku kalau kamu sudah menetapkan hati, cepatlah. Dari yang kudengar, dia wanita yang cukup susah didekatin.”

“Kok aku malah semakin semangat ya.”

“Mantan suaminya seorang bajingan, dia pergi waktu istrinya hamil muda. Sebagai suami dari teman baiknya, kalau kamu berniat melakukan hal yang sama, aku tidak segan akan memukulmu di sini.”

“Aku memang terlihat pria yang tidak pernah serius, tapi tidak jika menyangkut orang lain. Aku bukanlah pria pengecut semacam itu, kujanjikan wajah ini sebagai samsak tinjumu kalau aku menelan ludah sendiri.”

“Baguslah kalau begitu. Bagaimana kalau kamu langsung mulai besok?”

“Besok? Natal?”

“Istriku ingin mengadakan pesta kecil-kecilan, diapit dua bunga menawan memberiku perasaan tidak nyaman.”

“Kalau begitu berikan aku satunya.”

“Semangat pria muda, sudah lama aku tidak merasakannya.”

Tawanya yang selalu bisa mencairkan suasana terdengar, “Ingin sekalian minum?”

Aku menggeleng, “Cukup satu pelanggaran per harinya.”

“Susahnya punya istri.”

“Sialan, cepatlah bergabung ke dalam kesusahan ini.”