#Romance #Slice of Life 

Kuingin Menjadi Tuhanmu


Makhluk berdaging sepertiku ini ingin menjadi tuhanmu, memberikan apa yang seharusnya milikmu. Diriku yang memiliki napas ini ingin menjadi tuhanmu, menghilangkan sakit dan menaungimu dari dingin. Tuk sesaat, aku ingin menjadi tuhanmu, mengambil tempat yang selalu kosong darimu itu.

Terkutuk diriku yang lemah. Diriku yang tidak punya kuasa.

Terkutuk diriku yang lemah. Yang hanya bisa melihatmu tanpa berbuat apa.

Kusadari diriku yang lemah. Kujadikan dirimu sebagai alasan hidup.

Gadis itu menatap kosong keluar jendela, berwajah rindu tuk sesaat. Genggaman tanganku mengerat, dadaku terasa sesak, namun kuberikan senyum ketika ia menyadari kehadiranku. Memiringkan kepalanya dengan lemah, muncul simpul kecil di wajah pucatnya. Di pangkuannya sebuah buku setengah terbuka, kuharus membeli bunga tuk mengganti yang telah layu itu, kurasa ruangan ini tidak akan bisa penuk akan warna tuk sementara waktu. Setengah badan ia terbaring, menyandarkan punggung kurus itu kepada kasur. Sosok yang malang, gadis yang malang, namun ia masih bisa tersenyum lembut kepadaku layaknya tidak ada apa-apa.

Sudah dua tahun, kau tahu… itu sudah cukup lama, bukan…

Apa kau masih ingat dinginnya tetesan air hujan?

Bagaimana dengan perasaan aneh ketika menginjak rumput telanjang kaki?

Angin musim gugur masih terasa sama menggigilnya ketika berhembus…

Aku tahu kamu senang bermain salju hingga hidungmu merah dan tanganmu menggigil beku.

Musim semi sudah terlewat, musim panas telah menghilang, musim gugur telah jatuh, musim dingin tak lagi terasa. Dan dirimu—seseorang yang seharusnya menikmati setiap detik musim bergulir—hanya bisa menyandarkan tangan kepada jendela, mencoba tuk menggapai secuil perasaan di luar sana.

Karena sepasang kaki yang bagai pajangan, kau terbaring di sini.

Sepasang kaki yang dulunya membawamu berlari melawan angin, keduanya tak lagi berkedut hidup.

Hingga diriku yang telah membuang pena, mengais kembali kertas-kertas kusut dan mencoba menulis. Kau tahu, itu benar-benar perasaan yang buruk ketika kau menelan ludahmu sendiri.

Semua ini hanya demi dirimu. Aku menulis lagu demi dirimu.

“Lagumu memberiku kekuatan,” katamu sembari bertepuk tangan pelan kala itu.

Kau tahu betul aku telah membenci musik yang dulu kugenggam erat, namun sekarang kau berkata bahwa itu yang bisa membuatmu tetap hidup. Tuk menjaga sosok yang kusayangi kuharus melakukan hal yang paling kubenci, ironis, bukan?

Setelah itu kumenulis banyak hal.

Kunyanyikan semi agar kau bisa merasakan lembutnya sentuhan kelopak bunga mekar. Kuutarakan musim panas dengan riang agar kau bisa merasakan kebahagiaannya. Membuatmu mengerti akan kesedihan dari daun yang jatuh di musim gugur. Kusenandungkan irama tenang tuk musim dingin yang membuat jari-jemarimu merah. Melalui lagu, kuingin kamu merasakan apa yang kurasakan. Mencoba menguatkan dirimu tuk melawan apapun itu yang menggerogoti tubuh rapuhmu dari dalam.

Aku ingin dirimu hidup dengan lagu-lagu pengecut ini.

Aku ingin menjadi Tuhanmu.

“Aku tidak tahu kamu sebenarnya cowok yang sesensitif itu,” katamu ketika kubernyanyi tentang cinta tidak terbalaskan.

“Kau tahu, aku sangat sangat, sangat cinta dengan Ibuku,” ucapmu ketika kubernyanyi tentang keluarga.

“Aku akan sembuh, tenang saja. Bagaimana kalau kita makan es krim itu ketika aku keluar nanti? Apa tempat itu masih ada?”

Kenyataan… begitu menyakitkan, bukan? Dadaku terasa tercabik-cabik, aku tidak bisa merasakan apapun, napasku berat dan berderu cepat, pandanganku buram. Ketika aku menaruh bunga terakhir di pemakamanmu…

Aku tidak bisa menjadi Tuhanmu. Laguku tidak bisa membuatmu hidup, yang ada hanya memberikan rasa sakit kepada diri ini yang berharap karenanya.

Ah…

APA GUNANYA ITU SEMUA?! SEMUA LAGU-LAGU PAYAH YANG TELAH KUBUAT MEMANG TIDAK BERGUNA! DIRIKU YANG LEMAH INI TIDAK BERGUNA!

Jika saja aku menjadi Tuhanmu.

Jika saja aku bisa mengisi tempat kosong itu.

Aku ingin melihatmu berlari di atas rerumputan hijau, merasakan perasaan aneh di setiap langkahmu, merasakan terik hangat matahari, sejuknya angin yang berhembus di atas kulitmu. Memberikan apa yang tidak bisa lagu-laguku berikan.

Sekali lagi aku membuang pena, membiarkannya bergelinding menjauh dalam kegelapan. Aku berhenti berharap kepada musik, kepada hal yang bahkan tidak bisa menyelamatkan dirimu.

Karena aku tidak bisa menjadi Tuhanmu.

Aku berhenti.