#Romance #Slice of Life 

Terlupakan


“Nama yang aneh,” ucapnya sembari sedikit tertawa.

“Bukan pertama kalinya aku mendengar itu.”

Aku tidak mengenal wanita itu—yang bersandar pada dinginnya kayu bangku taman yang sama—dan ini pertama kalinya kami bertemu. Kenyataan kami berada di tempat ini di malam berawan tanpa bulan berkata bahwa kami memiliki keadaan masing-masing. Masalah, keraguan, putus asa. Tidak hak kumiliki tuk mengetahui alasannya, begitu pula sebaliknya.

Wanita itu tidak mengenalku—yang merogoh kantung celana dan menyadari jalan pulangku telah berubah—dan ini pertemuan pertama kami. Melingkar syal merah, menggosok kedua telapak tangan pucatnya tuk mendapatkan sedikit kehangatan tak bermakna. Wanita yang cukup ramah, menyapa dengan senyum kecil dan memberikan diriku yang asing tempat di sebelahnya. Tak lama ia bergumam, berbicara sendiri, menatap langit malam. Kumembalas, “Kalau ingin melakukannya, tunggu sampai aku pergi.”

Dia tertawa, terdengar nyata tanpa sedikitpun paksanaan, walau terlihat sedikit tetes air mata.

Wanita itu itu tidak mengenalku—yang mencuri pandang rambut hitam panjangnya yang tertiup angin malam—karenanya kami bertukar nama. Dua kata untuknya yang diwakili nama bunga dan keluarga yang tak ia inginkan, dua kata untukku yang diwakili sesuatu yang asing dan nama keluarga yang tak pernah ada. Setelah giliranku, matanya yang sedari tadi terlihat sayu mulai membuka, ia kembali bertanya. Kumenghela napas, mengatakan hal yang sama, dan ia tertawa. Apa yang wanita itu lakukan adalah hal yang tidak sopan, namun kumembiarkannya, aku sendiri tidak tahu kenapa.

Aku tidak mengenal wanita itu—tangan kurus miliknya menjutai ke langit tinggi tak tergapai—namun kami telah bertukar nama. Satu kata, dua kata, tiga kata. Mereka yang mewakili kami di tengah-tengah masyarakat, identitas, diri kami sendiri. Aku tidak tahu. Mungkin nama itu ada karena diriku, atau sebaliknya. Apakah wanita itu juga berpikiran hal yang sama? Di malam yang dingin, ia tertawa mendengar namaku yang aneh. Diriku yang aneh. Ah, aku tahu, alasan kenapa aku tidak merasa kesal. Aku sendiri sering menertawakan namaku, menertawakan diriku. Ironis.

“Ah, maafkan aku, aku melakukannya lagi.” terlambat dan aku tidak pernah mengharapkannya.

Kukatakan padanya bahwa aku sendiri terkadang menganggap kata-kata yang terbenam kepadaku lucu. Kami bertukar pandang, samar kudapat melihat cerminan diriku di hijau bola matanya, dan ia tersenyum. Perasaan nostalgia yang kurasakan, sedikit aneh dan memuakkan, namun aku tidak membencinya. Dan aku menyadarinya, bahwa tidak seharusnya perasaan ini ada. Aku tidak mengenalnya, dan begitu juga sebaliknya. Ini pertemuan pertamaku dengannya, dan begitu juga sebaliknya.

Aku tidak mengenalnya, atau itulah yang kucoba tuk percayai.

Kami mulai berbincang—lebih tepatnya gadis itu mulai berbicara dan aku hanya mendengarkan—mengenai sesuatu yang tak seharusnya dikatakan kepada orang asing. Dengan mudah wanita itu menjelaskan apa yang terjadi padanya, perasaannya sekarang, dan apa yang akan ia lakukan. Dengan sama mudahnya aku membongkar masa lalu, mengungkapkan diriku sekarang, dan menjabarkan rencanaku. Aneh, namun semua terasa mengalir begitu saja. Bagai sungai, bagai kehidupan yang terus berjalan. Dia berbicara kepada orang asing, kan? Aku berbicara kepada orang asing, kan? Apa kami benar-benar tidak saling mengenal?

Mungkin.

Ya, itulah seharusnya.

Tidak… aku tidak tahu.

“Apa kamu sudah bisa mengingatnya?” tanyanya tanpa konteks yang jelas.

Kubertanya balik tentang apa yang ia maksud.

Wajahnya membuat ekspresi suram samar, bagai berkata kepada dirinya sendiri “Tentu saja tidak.”. Ia sudah menduganya—sesuatu yang tidak kuketahui, sesuatu yang ia ketahui dengan pasti—diriku yang berbalik bertanya. Terlihat sedih, namun sekejap tercermin berkas cahaya terpantul rapi di antara hijau gelap. Apa yang ia pikirkan? Apa yang ia harapkan? Diriku yang aneh bertanya, tiada jawaban kudapat. Tentu saja.

“Apa kamu tinggal dekat sini?”

Ragu, kepalaku terhenti setengah mengangguk. Tak ada alasan bagiku tuk menjawab pertanyaan seorang asing, begitu pula dengan berdiam diri. Entah karena kebodohan atau campur tangan seseorang, aku pun mengangguk penuh.

“Begitukah, sering ke sini sendiri?”

Kembali aku mengangguk kepada pertanyaan tidak penting yang ia ajukan dengan sebuah senyuman.

Aku mengangguk, aku menyadari bahwa aku mengangguk. Pikiranku buyar, kepalaku terasa sedikit sakit, aku mencoba tuk mengingat sesuatu yang seharusnya terlupakan. Tidak, aku merasa harus mengingatnya—di saat wanita ini berdiri di hadapankan, aku harus mengingatnya. Tetapi, seberapa keras aku mencoba, hanya sakit dan pandangan yang memburam kudapat. Tiada yang terlupa kembali, tiada ingatan kembali, bagai mengambang di tengah lautan. Tidak tenggelam dalam pelukan kegelapan, tidak pula dapat menghirup udara permukaan.

Percuma.

Ini pertama kalinya aku berada di taman ini tengah malam, bertemu dengannya, dan berbicara dengannya. Kami tidak memiliki hubungan, ya, selayaknya orang asing pada umumnya. Seorang wanita yang kutemui tengah malam, seorang wanita aneh yang membolehkanku duduk di sisinya, ya… sekedar itu… bukan? “Kau tahu, aku juga tinggal di dekat sini… dulunya,” kembali ia menatap langit malam, nada bicaranya terdengar parau di akhir.

Wanita itu terlihat sedih, mengasihi ingatannya, berharap hari-hari yang telah terlewat kembali. Ia sudah membaca halaman-halaman terkasih itu, ia ingin membaliknya, ia ingin kembali membacanya. Wanita itu tidak bisa. Karenanya dia sedih, karenanya aku merasakan perasaan aneh ini. Perasaan yang seharusnya miliknya, entah mengapa aku bisa merasakannya. Walau sekedar asing bagiku.

“Aku tahu seharusnya aku tidak melakukan ini…,” kembali tangan kurusnya mencoba tuk menggapai langit, “apa menurutmu aku wanita yang bodoh?”

Kembali wanita itu bertanya sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak kuketahui, sesuatu yang seharusnya ia sudah tahu jawabannya. Tidak kuendahkan, tidak pula ku menyangkal. Hanya diam yang kuberikan, diam yang ia terima, sekedar diam ia terpuaskan.

Ia berdiri dari duduk, melihat pergelangan tangannya, menyadari waktu yang telah terlewat. “Aku harus pergi,” ucapnya sembari berlari kecil menuju arah keluar taman, “mungkin, kita akan bertemu lagi.”

Entah kenapa kakiku mengangkat badan ini berdiri dari duduk, menatap punggungnya yang semakin mengecil, dirinya yang berjalan menjauh. Tak lagi ia berbalik, tak lagi dapat kulihat mata hijau itu, berlambai pisah rambut panjang miliknya.

Aku sendiri.

Bersama dengan perasaan aneh yang mengganjal, aku sendiri.

Bersama dengan pertanyaan yang mungkin tak akan pernah terjawab, aku sendiri.

Tidak seharusnya aku sendiri.