#Romance 

Gardenia


Hari ini aku kembali menemukan setangkai bunga.

Gardenia.

Itulah nama tanaman mungil berkelopak kecil di genggamanku ini.

Di laci mejaku, tanpa pesan penyerta. Aku sudah terbiasa. Aku tidak menganggapnya menganggu, aku senang. Pemuja rahasia? Laki-laki mana yang tidak senang dengan hal semacam itu. Acuh tak acuh bukanlah kepribadianku, setelah menerimanya dua kali dalam seminggu, aku mulai mencari tahu “pemuja rahasia”-ku ini. Sebenarnya mencari identitasnya merupakan pekerjaan sepele, siapapun di sekolah ini bisa segera menaruh duga kepada satu orang—kepada seorang gadis.

Seangkatan denganku, kami belum pernah bertemu hingga sekarang, jika aku mempercayai ingatanku, itu termasuk berpapasan di lorong. Bagiku, sosoknya merupakan hantu, ia mencoba tuk menjadi transparan di hadapanku. Berbalik ketika melihat batang hidungku, hanya sekilas rupanya dapat kulihat. Asal gadis itu menginginkannya, aku tidak masalah. Tetapi, apa ini yang terbaik baginya? Tidak menggunakan suara yang ia miliki, sekedar berpasrah diri kepada setangkai tanaman tuk menyampaikan perasaannya. Aku baik-baik saja dengan itu, tapi aku tidak akan pernah menerimanya. Baik perasaan, atau keberadaannya.

Minggu ketiga, bertambah.

Jika minggu berikutnya aku mendapatkan tiga tangkai, mungkin aku akan menelan ludah sendiri. Aku tidak pernah membuang pemberiannya. Menaruhnya dalam vas kosong di belakang kelas, membawanya pulang saat sore tiba. Walau aku tidak tahu cara merawatnya, tiada satupun kelopak yang gugur dari pemberiaannya minggu lalu. Satu dua tangkai akan muat, tiga dan selebihnya tiada tempat. Apa aku yang harus bertindak duluan? Tidak, ini bukanlah yang aku inginkan—bukan yang terbaik baginya.

Lonceng berbunyi, merangkul tasku, menapaki anak tangga menuju lantai dua dengan sedikit melompat. Lorong ekstrakuliker, itulah sebutan lantai ini. Masing-masing dimiliki oleh ekskul tertentu, dan yang kucari berada di sebelah tangga menuju atap sekolah. Aku sudah bisa menduga apa yang akan kujumpai di balik pintu itu. Gadis itu—yang anehnya bisa kubilang pemuja rahasiaku—adalah satu-satunya anggota ekskul berkebun. Menyiram bunga-bunga indah miliknya di halaman belakang sekolah merupakan aktivitas pertama sosok bisu itu. Bagai mengucap “sampai berjumpa besok”, ia akan memeriksa tanaman tersebut ketika pulang. Gadis itu bisa tersenyum, terkadang aku bisa mendengar tawa kecilnya yang terbaur dengan angin.

Di hadapan bunga-bunga miliknya.

Gadis itu dapat menunjukkan jati dirinya.

Aku tidak menyangkalnya, tindakanku benar-benar tidak sopan. Penguntit, walau belum ada yang memanggilku begitu sampai sekarang. Aku bertekuk lutut di hadapan rasa penasaran, rasa ingin tahu tentang gadis yang selalu melarikan diri dariku itu. Nada bicaranya, ekspresi wajahnya, gerak-gerik tubuhnya, melihat diriku tercermin di kedua bola matanya. Setidaknya, aku ingin ia bisa menyampaikan perasaan itu secara langsung.

Tidak ada. Kosong.

Aku rasa ia memang sudah pulang.

Aku menutup kembali pintu ruangan, berjalan di lorong yang hening, menuruni tangga, berharap hari esok gadis itu sudah mengumpulkan segenap keberanian yang ia butuhkan. Baik dirinya maupun diriku, kami tidak memiliki banyak waktu lagi.

Empat minggu, dan aku masih mendapati Gardenia di mejaku.

Yang berbeda, kali ini tidak lagi di laci.

Sebuah kemajuan? Entahlah, mungkin saja gadis itu terburu-buru pagi ini.

Empat minggu… hanya tersisa dua belas hari lagi.

Entah keberuntungan atau apa, aku tidak sengaja menabraknya di dekat tangga menuju lantai dua. Badannya lebih kecil dari yang kuduga, lebih lemah dari yang kuduga. Ketika aku menawarkan tangan membantunya berdiri, mata miliknya membelalak dan dengan cepat ia mengeluarkan langkah seribu. Wajah pucatnya merona merah padam, bibir mungilnya terbuka dan menutup dengan cepat, sepasang kaki kurus milikya gemetar dengan hebat. Tiada diberi kesempatan aku tuk mengucapkan maaf, aku harap ini bukanlah terakhir kalinya kami bertemu. Akan sangat aneh jika berakhir sekarang, bukan?

Sekali lagi aku pergi ke ruangan itu setelah kelas selesai, percuma. Ketika aku berpikir tuk pulang, nasib seakan-akan mulai turun tangan terhadap kisah kami. Mengurungkan niatanku, perlahan aku mulai menapaki anak tangga menuju atap sekolah. Gardenia, dan gadis yang merawatnya. Alasan aku tidak pernah melihat bunga penyapa pagiku itu di halaman sekolah adalah ini. Aku tidak tahu ia memiliki akses ke atap sekolah.

“Hey, apa aku bisa mengatakannya sebelum kelulusan?”

Menghentikan langkah, aku—walau tidak sopan—berniat tuk mendengarkan monolog gadis itu.

“Lagipula, apa yang kulakukan tidak menganggunya? Tidak, lebih dari itu, apa dia membenciku?”

“Aku harap tidak,” gadis itu memaksakan dirinya tertawa, “aku tidak ingin dia membenciku.”

“Aku penasaran, bagaimana wanita lain bisa mengungkapkan perasaan mereka, ya… apa mereka tidak takut ditolak? Aku rasa tidak, mereka sudah mempersiapkan diri, mungkin. Jika aku mengungkapkan perasaan ini dan ditolak… aku takut akan menangis di depannya dan membuatnya membenciku. Aku tidak ingin itu.”

“Dua minggu lagi, ya…,” untuk sesaat gadis itu berhenti, “setidaknya aku bisa menyapanya, bukan?”

“Aku benar-benar payah….”

Setelah itu, aku tidak lagi mencoba tuk mendekatinya dan menyerahkan semuanya kepada gadis itu. Aku sudah tahu jawabanku. Asal mulutnya bisa menyampaikan segenap perasaan tulus yang telah kudengar, aku akan langsung memberikan jawabanku. Jika tidak, jika ia masih menjadi sosok payah seperti yang ia katakan… mungkin aku akan—tidak, aku sudah menetapkan pemikiranku, aku tidak akan mengubahnya.

Minggu kelima, tidak ada kujumpai bunga di atas mejaku.

Apakah ini jawabannya?

Apakah ini yang benar-benar ia inginkan?

Aku tidak tahu, aku tidak tahu, aku tidak tahu.

Jika benar… aku akan menerimanya.

Satu minggu lagi, kelulusan kami akan diadakan. Hampir tidak mungkin kami akan bertemu lagi setelahnya. Aku akan pergi ke luar kota, menentukan jalan hidupku, begitu pula dengan dirinya. Tuk beberapa saat, jalan kami bersilangan, tetapi hanya itu saja. Gardenia akan tetap ia berikan, sebuah cinta rahasia, cinta yang terbungkam oleh kepayahan dua orang bodoh.

Sorenya, aku langsung berjalan menuju gerbang sekolah.

Di hari kelulusan, aku menyempatkan diri melihat ruang kelasku.

Tidak lagi ada Gardenia di atasnya.

Hanya setangkai anyelir kuning yang tergeletak dengan sebuah pesan bersamanya.

“Maaf”