#Romance 

Melangkah


“Permisi, aku ingin satu yang ini.”

“Ya, saya akan segera menyiapkannya, mohon tunggu sebentar.”

Ia tidak memintaku tuk menunggu di dalam, aku rasa ia kelalahan. Di seberang jalan, dengan sepatu hitam mereka, keduanya berjalan beriringan. Tawa diselingi senyum lebar di wajah gadis berambut pendek, yang satunya menunduk menahan kesal, aku paham perasaan bocah itu. Keduanya memegang selembar kertas, begitukah.

“Yey, kali ini aku menang lagi!”

“Diamlah! Cuma beda tiga aja jangan sombong!”

“Menang tetap menang, mau berapapun selilisihnya,” gadis itu menjulurkan lidahnya sembari menarik bagian bawah matanya.

Kertas yang kupegang sudah remuk sebelum aku menyadarinya, segera aku meluruskannya kembali. Apa yang tertulis di atasnya adalah rentetan angka, nilai hasil ulangan. Didominasi oleh angka sembilan dan delapan, semuanya cukup tinggi dan ada yang mendekati nilai sempurna. Namun aku kesal, tidak ada rasa puas yang memenuhi hatiku. Penyebabnya tidak lain adalah tawa mengejek dari orang di sebelahku. Ia mengibar-ngibarkan kertas hasil ujiannya, memamerkan sejumlah angka seratus kepada seluruh dunia. Ya, aku kalah. Itulah sumber kekesalanku, gadis periang ini, dialah sumber kekesalanku.

“Aku masih tidak percaya kamu belum pernah sekalipun menang dariku.”

“Aku akan mengalahkanmu di tes selanjutnya, pegang ucapanku!”

“Ya, ya, dari pertama kali kamu kalah kalimat itu yang selalu keluar.”

Dia adalah yang mereka sebut jenius, orang berbakat, yang memiliki karunia sejak lahir. Aku tidak pernah melihatnya membuat wajah kesal ketika menghadapi soal sulit, tidak pula melihatnya belajar keras hingga meneteskan keringat. Terkadang tidur, sibuk mencoret-coret halaman belakang bukunya, atau bahkan mencuri kesempatan tuk makan di dalam kelas. Orang seperti dia tidak perlu bekerja keras, berbeda denganku.

Memaksakan diri hingga melupakan tidur, melupakan makan, terus membaca dan menjawab satu pertanyaan setelah pertanyaan lain. Aku bukanlah orang seperti dia, aku tidak memiliki bakat, persetan dengan sesuatu yang ada sejak lahir itu. Aku akan mengalahkannya, seseorang yang disebut sebagai jenius, dengan kedua tanganku.

Kenapa? Karena hanya itu yang kumiliki. Nilai. Nilai. Nilai. Aku tidak memiliki yang lain.

Ada yang mengatakan bahwa rumah adalah tempat berisi orang yang selalu menyayangimu, tempat untuk kembali. Berarti tempat yang kutinggali bukanlah rumah. Aku pulang, menaruh sepatu ke raknya, masuk ke dalam, mengganti pakaian, dan membuat diriku terpaku di atas meja belajar hingga pagi menyingsing apabila aku tidak sadar sendiri. Semua ini kulakukan tuk mendapat secercah ‘kasih sayang’ mereka.

“Apabila nilaiku bagus maka mereka akan menyayangiku,” itulah yang kupahami sejak menduduki bangku sekolah dasar . Suatu hari aku mendapat nilai di bawah rata-rata, apa yang mereka ambil? Tidak ada, karena sedari awal tidak ada pula yang kuterima. Tetapi, waktu di tes berikutnya aku mendapat nilai tertinggi di kelas, wanita itu mengelus rambutku. “Aku sayang kamu,” katanya. Mereka memberiku makanan enak, berbicara kepadaku walau tidak lagi pada esok harinya. Bagiku nilai adalah segalanya, walau sedikit aku dapat membuat tempat itu menjadi ‘rumah’ dengan angka. Karenanya, gadis yang telah merebut segalanya dariku, aku membencinya.

Genap seribu empat ratus enam puluh dua hari sejak pertama kali ia menampakkan diri, dan namaku masih berada di bawahnya. Kebencianku masih belum hilang, namun tidak pula bertambah. Aku selalu menganggapnya rival, tidak kurang dan tidak pula lebih. Sore itu, aku menemukannya, seorang diri di taman yang telah lama kehilangan tawa anak kecil, menatap langit senja di atasnya.

Ia tidak ada waktu pelajaran bola voli tadi pagi, itu bukanlah hal yang tidak normal, setidaknya sejak seratus sebelas hari lalu. Segala hal yang berhubungan dengan fisik, ia tidak ada. Alasannya? “Fisikku gak kuat, aku mungkin bisa pingsan kalau ikut,” jawabnya ketika kubertanya. Walau begitu aku masih tidak bisa mengalahkan gadis ini dalam ujian tertulis, mengingatnya membuat botol mineral yang kupegang sedikit remuk.

“Aku ingin pergi ke bulan,” itu bukanlah gumaman, ia benar-benar mengatakannya padaku.

“Menjadi orang pertama di negeri ini, tidak, wanita pertama di dunia ini yang melangkahkan kaki di sana.”

“Itu mustahil. Butuh waktu bertahun-tahun untuk negeri ini bisa mengirim kapal berawak ke bulan.”

“Apa-apaan sikap pesimis itu, cih,” ia mengambil kue kering yang barusan kubeli dan mengunyahnya dengan tergesa-gesa.

Memang benar apa yang ia katakan belum bisa dilakukan untuk sekarang, aku bukannya mengada-ngada. Sesuatu permintaan yang egois dan di luar akal, itulah yang terkadang keluar dari mulut wanita yang memanjangkan rambutnya itu. Ia kembali menengadahkan kepala, entah apa yang ia perhatikan di antara awan langit jingga itu.

“Kamu akan membantuku, ya, kamu akan membantuku! Kalau begitu maka tidak mustahil!”

“Apa maksudmu? Aku ini rival—”

“Kamu tidak punya hak untuk menolak,” ia melompat dari duduknya, “kecuali kamu bisa mengalahkanku dalam tes.” Dan aku mendapatkan satu lagi alasan untuk memaksakan diri di depan meja belajar, aku tidak ingin mengikuti keegoisan gadis itu. Belajar, belajar, belajar, belajar, belajar, belajar, hanya itulah yang selalu kupikirkan, yang ada di kepalaku, tujuanku tuk hidup. Aku kalah, kalah, kalah, kalah. Hingga di tes terakhir penentu kelulusan, aku menang. Tetapi aku tidak bahagia.

Gadis itu tidak ada. Ia tidak mengikuti ujian. Ia tidak lagi ada.

Sesaat sebelum aku sampai, sebuah pesan membuat smartphone-ku berbunyi. Aku tersenyum, mungkin seperti itulah wajahku sekarang. Kembali aku berjalan untuk sebentar dan berhenti. Aku menaruh apa yang barusan kubeli, hari ini cukup beruntung, untukku dan dirinya.

“Kita berhasil. Kamu akan menjadi orang pertama di negara ini, tidak, wanita pertama di dunia ini yang akan pergi ke bulan.”

Walau membutuhkan lima tahun bagiku untuk membantumu. Kamu tidak mengatakan tenggat waktunya juga, bukan?

“Beberapa ada yang menentangku menamai sebuah kapal dengan namamu, tapi aku tetap bersikeras. Yah, permintaanmu itu sudah merepotkan banyak orang, tahu?”

Kembali aku melihatmu.

Orang yang telah merebut segalanya dariku, meremehkanku, menarikku, dan memberiku alasan tuk hidup setelahnya. Aku masih membencimu, kenyataannya, aku memang masih membencimu. Tidak mengatakan apa-apa.

“Aku rasa aku benar-benar menang kali ini, kan… kan…”